webnovel

Crying For Nothing

Aku, dengan segala keegoisan, tak ingin terlibat atas perseteruan yang terjadi antara kedua orang ini. Ada rasa marah dan kesal yang manghinggapi hatiku. Aku bukan seorang perebut, tak akan pernah ada dalam kamusku merebut suami wanita lain. Lalu ini?

Kepalaku berdenyut mendengar apa pun yang sedang mereka perdebatkan dan untuk apa masih di sini? Berharap Ryan memperkenalkanku pada istrinya itu? Sebagai apa? Sungguh hal yang memalukan. Terlebih dengan kondisi seperti ini—buruk, bahkan sangat buruk, dan harus bersaing dengan wanita yang ... ah! Bodohnya kau, Jenna!

Aku beranjak mengambil barang milikku yang telah dihempaskan oleh wanita itu, berserakan. Obat milikku tercecer tak karuan. Menyedihkan. Bahkan dengan kondisi antara hidup dan mati pun masih bisa mengusik kebahagiaan orang lain, begitu yang wanita itu katakan-yang kemudian membuat Ryan naik pitam. Dan kini mereka bertengkar hebat.

Jangan ditanya bagaimana perasaanku, tak ingin lebih lama di sini hanya untuk mendengar keributan antara mereka. Akan lebih baik jika pulang dan membenamkan diri dalam bak mandi lalu mati.

"Apa yang kau lihat darinya, Ryan? Apakah wanita seperti itu menggairahkan bagimu? Wanita sekurus dan selayu itu? Meski ia lebih muda dariku apakah yang seperti itu yang kau sukai? Ada apa denganmu, Ryan? Apakah kau sangat berhasrat hingga memilih sembarangan? Katakan saja padaku maka akan kusilangkan kakiku di pinggangmu saat ini juga!"

Wanita itu sengaja mengatakan isi hatinya, terlalu keras hingga bisa terdengar dari tempatku berada, disusul suara tamparan.

Ayolah, Jenna, apa yang kau lakukan dan harapkan dengan berlama-lama di sini?

Benar, apa yang kuharapkan? Aku melangkahkan kaki perlahan, lagi-lagi terdengar kalimat tidak menyenangkan dari wanita itu. Aku hanya mendengkus tak percaya.

"Kau tidak tahu apa pun, jangan asal mengatakan hal buruk tentangnya, Hellen!"

"Oh, kau membelanya. Kau membela jalang itu, Ryan, luar biasa!"

"Tutup mulutmu! Pastikan kau sudah memberi apa yang kubutuhkan sebelum mengatakan hal buruk tentangnya."

"Apa yang kau butuhkan? Permainan ranjang yang menggairahkan? Aku bisa berikan padamu dan kau tahu itu, kan?"

Aku menggeleng cepat. Kenapa sejak tadi aku justru mematung dan tak segera meninggalkan tempat ini?

Kali ini aku melangkah mantap. Mungkin ini terakhir kali menginjakkan kaki di rumah ini, terakhir kali mengakui Ryan sebagai kekasihku. Karena kenyataannya, bukan. Ia bukan kekasihku. Ia suami wanita lain. Dan entah sejak kapan bulir hangat ini menetes di pipiku.

Sebuah lengan menarik dan menghalangi kepergianku. Disusul dengan ketukan hak sepatu yang mendekat, lalu keributan lain terjadi. Apa-apaan ini?

"Biarkan saja dia pergi, Ryan! Seharusnya kau berusaha memperbaiki segalanya denganku, bukan malah menahan langkah wanita penggoda itu." Wanita itu kembali menyerang. Aku, tanpa kata berusaha melepaskan cengkeraman Ryan—maaf, maksudku dokter Karl.

"Jenna, kumohon jangan pergi," pintanya.

Aku tak sanggup dan tak ingin menatapnya. Aku merasa dibohongi saat ini. Selama ini mengira pria ini seorang yang masih sendiri, dan ketika mengetahui kenyataan, entah apa yang harus kulakukan.

Dengan tangan yang lain, kusingkirkan tangan dokter Karl dan segera melangkah pergi dari rumahnya. Apa pun tentangnya harus kulubur dalam-dalam. Aku tidak ingin merebut milik siapa pun.

***

Baru kali ini aku merasakan tidak memiliki tempat untuk pulang. Bahkan sendiri yang biasanya terasa nyaman, tak lagi bisa melindungiku. Tak ada yang mengejarku, baik Ryan terlebih wanita itu. Lagipula demi apa ia mengejarku?

Namun, rasanya seperti ada sesuatu yang menghantuiku.

Aku membanting pintu dengan keras, seolah sakitku akan hilang dengan melakukan segala hal di luar kendali. Perasaan cinta yang membuncah kini berganti sakit dan kemarahan yang tak terbendung. Kulempar tas ke sembarang tempat hingga obat-obatan yang tersisa berserakan entah ke mana.

Perlahan mendekat pada benda berbetuk tabung yang sudah memuntahkan separuh isinya ke lantai. Melorot di dekat beda itu dengan tatapan nanar, memungut satu per satu, memasukkannya ke dalam wadah yang telah retak.

Ada nyeri yang tak terperi melihat semua yang ada di depan mata saat ini. Air mataku tak mampu kubendung lagi. Dadaku sesak.

Aku menggenggam erat tanganku sendiri. Sangat erat dan semakin erat. Membiarkan kuku jariku menancap dan menimbulkan perih di sana, lalu melemparkan benda yang ada di tanganku.

"AAARRRRGGHH!!!" Aku tak mampu lagi menahan sakit yang mengiris-iris hatiku saat ini.

Ini kali pertama terasa begitu menyakitkan. Aku pernah disakiti oleh Blake beberapa kali, tetapi tidak pernah sesakit ini. Aku menangis merintih, merengek layaknya anak kecil yang kehilangan boneka kesayangannya.

Membanting tubuhku ke lantai, meringkuk layaknya bayi dalam kandungan, mengharap rasa aman. Namun, tak seorang pun ada di sini. Aku seorang diri. Hanya seorang diri.

***

Ponselku berdering berulang kali. Aku sedang tidak ingin menerima panggilan siapa pun terlebih Ryan. Dan memang benar, Ryan seperti sudah menghubungi ratusan kali tetapi tak kuhiraukan. Apa lagi yang ingin ia bicarakan?

Meski ia mengatakan bahwa hanya aku yang dicintainya, berkali-kali pun, tak akan membuatku merubah keputusan. Aku akan tetap pergi dari kehidupannya.

Panggilan terakhir membuatku tenang. Aku tidak sendiri, dan masih memiliki rumah tempatku bisa melarikan diri kapan pun aku ingin.

"Halo, ayah," sapaku, saat melihat nama siapa yang tertera di layar. Ayah mendesah lega.

"Mendengar suaramu rasanya lega sekali. Aku cemas sesuatu terjadi padamu, perasaanku tidak tenang beberapa hari ini. Apakah kau baik-baik saja, sayang?" Dari suaranya aku dapat membaca kegelisahan dan perasaan cemas yang ayah rasakan.

"Ehm, aku baik, yah." Air mataku kembali menetes.

Oh, Jenna, apa yang sudah kau lakukan? Ayahmu tak pernah membela sikapmu, dan ibumu tak pernah mengajarimu merebut kekasih atau suami wanita lain.

"Syukurlah .... Ibumu pasti akn tenang mendengar cerita ayah. Jika kau sempat, pulanglah, Nak. Kami merindukanmu."

Oke, kali ini air mata tak hanya menetes melainkan pecah menjadi tangis. Terdengar suara ayah yang tiba-tiba berubah menjadi panik mendengarku terisak dan sesenggukan.

"Pulanglah, sayang .... Rumah ini akan selalu menjadi tempatmu. Kau bisa bersembunyi dari apa pun, kau akan aman di sini."

Aku makin tergugu mendengar perkataan ayah. Tentu saja aku akan pulang. Mereka akan selalu menjadi tempatku pulang. Namun, bagaimana jika mereka bertanya tentang perubahanku? Aku tak siap untuk menghancurkan hati mereka menyaksikan diriku yang telah berbeda seperti sekarang.

Apa yang harus kukatakan pada mereka? Haruskah kukataan tentang penyakitku dan membuat mereka makin bersedih?

"I-iya, Ayah ... katakan pada Ibu, aku akan pulang secepatnya."

Ayah menutup panggilan dan kesempatan bagiku untuk melanjutkan tanggisan agar aku bisa mendapatkan kembali kekuatan untuk bekal saat pulang nanti.

***

Next chapter