Setelah makan, Mbah Uti memerintahku untuk mencuci semua piring yang ada di meja makan. Aku pun membawa piring-piring itu ke samping rumah untuk mencucinya. Tiba-tiba ada mbak santri yang melihatku mencuci piring.
"Biar dalem mawon (saya saja) Ning," ucap Mbak Uswatun. Beliau adalah salah satu santriwati di Pesantren Abah.
Aku pun menolaknya karena dari jauh, aku di awasi dengan Mbah Uti"
"Mboten Mbak, biar Kayla saja," ucapku padanya.
Dengan hati yang tak tega Mbak Uswa pun meninggalkanku karena Ia di larang untuk membantuku walaupun hanya isyarat Mbah Uti yang memandang tajam ke arah mbak Uswa.
Dari belakang tiba-tiba Lek Ali mengagetkanku dan piringku hampir terjatuh dan hampir saja pecah. Untungnya Abah belum mengganti alas yang kuinjak dengan keramik. Jika sudah tamatlah riwayatku jika piring itu pecah.
"Tak bantuin sini," ucap Lek Ali kepadaku dan duduk di sampingku dengan menyikap sarungnya. Ia pun membantuku untuk mencuci piring-piring yang kotor itu.
Tiba-tiba ulah Lek Ali memercikan air ke wajahku dan aku pun melakukan hal yang sama dan akhirnya kerudungku setengah basah.
Baju kokonya pun basah karena aku perciki air. Selalu saja berulah, tak mengertikah sekarang aku sedang di hukum. Tapi aku bahagia Lek Ali selalu ada ketika aku dalam situasi seperti ini.
Tak lama kemudian hukumanku selesai dan kami masuk ke dalam rumah dan terkena semprotan lagi dari Mbah Uti.
"Ya Allah, ngumbah piring malah dolanan banyu (mencuci piring, lah kok main air),"Suara itu seperti hentakan petir yang terlintas di mataku.
"Ngapunten Mbah Uti, ampun dukani Dek Kayla, Ali yang salah," ucap Lek Ali membelaku di depan Mbah Uti.
"Podo salahe, wes ganti klambi kono (sana)!" perintah Mbah Uti.
Kami pun masuk ke kamar masing-masing untuk mengganti pakaian kami. Walaupun mengganti pakaian juga jenis baju itu juga yang kami pakai. Tak terpisahkan dengan selembar kain yang menjadi ciri khas santri dan Pesantren yaitu setelan sarung.
Aku masih penasaran dengan makna syi'ir Lir-ilir, ku lihat di kamarnya Lek Ali sudah tak ada. Kemana lagi dia? Selalu saja hilang bagai tamu yang tak di undang jika tak di harapkan datang.
Ku dengar pujian sholat Ashar di Masjid Pesantren. Ya, nampaknya itu suaranya. Suara khas Lek Ali yang merdu dengan pujian sholawat burdah lagi. Kapan ganti sholawatnya. Dia akan bisa pakai sholawat Lir-ilir atau sholawat Nariyah,Selalu Burdah.
Nampaknya syair burdah sangat disukai Lek Ali. Sampai pujian Burdah selalu terlantunkan dari mikrofon Pesantren.
Pesantren Abah adalah pesantren tradisional yang kental dengan ajaran pesantren yang mengacu pada kitab kuning karangan ulama dan Al-Qur'an.
Aku pun mengambil wudhu dan memakai rukuh atau biasa disebut mukena. Mukena terusan yang khas dengan mbak-mbak santri di pesantren Abah. Kata Umi tak afdhol jika tak memakai mukena terusan karena jika pakai mukena potongan. Di takutkan aurat akan tersingkap dan sholat tidak sah.
Aku berjalan menuju Masjid dan mbak-mbak santri mengikutiku dari samping belakang kiri dan kanan. Kami pun masuk shaf perempuan. Aku melangkahkan kakiku ku shaf depan karena Umi ada disana. Sebal sekali di sebelah Umi ada Mbah Uti. Otomatis aku akan bersebelahan dengan beliau.
Umi lalu memelukku. Mataku masih menyorot ke arah Mbah Uti. "Mboten pareng ngoten (gak boleh begitu)" Aku pun mengalihkan pandanganku ke Abah yang sedang menjadi Imam.
Tak lama kemudian sholat Ashar pun di mulai. Abah melantunkan surah Al-Insyirah dan At-tin. Suara Abah memang bagus. Seperti suara anaknya ini hehe. Abah adalah salah satu alumni dari salah satu pesantren di jawa timur.
Walaupun pesantren kami terbangun dari kayu tapi untuk Masjid tidak. Karena tak mungkin jika terbuat dari kayu bisa menampung banyak santri.
Setelah sholat ashar Aku menuju ndalem. Tiba-tiba Lek Ali memanggilku dan aku pun menoleh ke arahnya. Lek Ali menghampiriku.
"Mau tak lanjut ndak maknanya?"
"Mau Lek"
Lek Ali menarik tanganku ke gubuk santri yang biasa di gunakan santri untuk setoran hafalan, murajaah dan bersantai. Nampak dua mbak santri duduk disana. Setelah melihat kedatangan kami, merekapun pergi.
Yah itulah seorang keluarga ndalem, sangat di hormati dan disegani dengan santri-santrinya. Lek Ali pun meneruskan ceritanya.
"Tadi sampai mana?"
"Temanten Anyar"
"Ok. Cah angon tegese anak gembala berarti manusia yang mampu memimpin dirinya menuju perbaikan, setelah itu memimpin bangsa dan negerinya, seperti gembala menggiring/mengangon ternaknya.
Daya Angon adalah daya atau kesanggupan untuk memimpin dirinya, bangsanya dan negaranya. Manusia yang mampu memimpin dirinya adalah mereka yg mampu mencegah dirinya mengikuti hawa nafsunya/keinginannya yang merugikan makhluk lain, nafsu seperti ini adalah sumber kejahatan.
Penekno blimbing kui tegese panjatlah blimbing itu.Pertanyaannya adalah kenapa Belimbing?? Kenapa dari sekian banyak buah kanjeng sunan memilih belimbing?
Jawabannya ada pada bentuk buah tersebut yang memiliki 5 sisi atau bila kita belah belimbing memiliki 5 sisi seperti bintang, karenanya dalam bahasa Inggris buah belimbing ini disebut dengan "Star Fruit".
Angka 5 dalam akidah Islam memiliki banyak makna, kewajiban sebagai seorang muslim yang harus dilaksanakan dan di yakini, yaitu kewajiban sholat 5 kali dalam sehari dan rukun Islam yang terbagi atas 5 perkara yang menjadi pegangan setiap muslim.
Namun sholat dan rukun Islam adalah perbuatan yang bila tidak memiliki 'ruh' ibadah tidak akan mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan munkar, dengan kata lain sholat dilakukan namun perbuatan yang merugikan orang lain dan merugikan diri sendiri tetap dilakukan juga.
Lunyu-lunyu penekno. Tegese walaupun licin tetap panjat. Panjat dengan ikhtiar, usaha menjauhi larangan-Nya mematuhi perintah-Nya. Mencari ilmu, mengkaji kebenaran sampai kita dapat meraih belimbing kui.
Kanggo mbasuh dodotiro yang berarti pakaianmu/kain panjangmu, dodot adalah kain panjang yg digunakan utk menutupi bagian bawah tubuh, bagian bawah tubuh bawah kita baik laki-laki atau wanita adalah aurat atau harga diri kita sebagai manusia. Bila aurat dibiarkan terbuka tanpa penutup dan dipamerkan kepada setiap manusia tak ada lagi yang menjadi pembeda antara manusia dengan hewan.
Aku pun sampai tertidur mendengarkan makna syiir itu.
"Dek, dek Kayla" ucap Lek Ali membangunkanku.
"Sampun badho nggih Lek?"
"Dereng, mata sampean merah dek. Sampean bubuk riyen gih" ujarnya padaku.
Aku pun menuju rumah ndalem dan tidur di kamarku. Kupandangi mahkota buatan Lek Ali yang tergantung di dinding kamarku.
Anganku menghayal tak tentu arah. Apa yang ku fikirkan? Masih bau kencur juga sudah memikirkan suatu hal yang seharusnya di pikirkan oleh orang dewasa.
Adzan maghrib menggema di telingaku. Kenapa tak ada yang membangunkanku? Umi selalu bilang kalau tidur sore itu tidak baik. Bisa membuat orang menjadi gila. Entah apa yang akan menjadi gila.
Aku pun bangkit dari tidurku dan mengambil wudhu setelah itu sholat di dalam kamarku. Dengan mendengar aba-aba Abah dari jauh aku mengikutinya seolah aku bermakmum pada beliau.
Setelah melaksanakan sholat dengan mufrod. Kubuka mushaf yang ada di depanku. Ku baca walau aku tak mengerti artinya. Terkadang seorang hafidz Qur'an tak mengerti apa yang Ia baca termasuk aku.