webnovel

"Sialan! Lancang sekali Bian memerintah orang kaya!"

Bian menjerit, membuat heboh dapur hanya karena di tugaskan di depan kompor. Letupan minyak yang telah panas membuatnya ketakutan terpecik.

Celingak-celinguk, mengganggu kesibukan semua orang dengan permintaan paksanya yang tak tau diri.

"Hei, sialan! Apa kalian semua mendadak tuli? Aku butuh bantuan!"

"Memangnya kau siapa?"

Membuat semua pekerja malah mencibir, tak sedikit pun tergerak untuk mengirimkan bantuan. Uap yang mengepul dari wajan besar berisi minyak itu seolah sama sekali tak jadi pertimbangan. Lebih baik terkena ledakan di bandingkan menunduk jadi babu seorang rendahan, pikir mereka serentak.

"Kau hanya pekerja disini, jangan belagak!"

"Mulut mu lancang sekali, ya!" Bian balas pakai urat.

"Kau yang lancang, berani sekali berkata tak sopan pada kami yang lebih senior."

"Bangsat! Kalian coba melawan ku?!" Bian yang makin melotot.

Perdebatan yang malah membuat situasi tersulut makin panas. Bian yang di serbu kebencian sedikit pun tak gentar. Malah ide psiko nya mulai berputar di kepala, menyaduk minyak panas dan mencekoki satu per satu mulut lancang yang berani bersuara keras padanya.

"Kau pikir kami takut dengan mu?"

Posisi Bian yang terus di pukul mundur, membuat sekujur tubuhnya bergejolak penuh emosi. Benar-benar berang saat merasa di injak-injak. "Sepertinya kalian bosan hidup tenang, ya?"

"Firasat ku benar. Terlalu cepat untuk mu akrab dengan mereka." Sampai sebuah suara hadir dan mengintrupsi dua kubu tak seimbang itu. "Diskusi yang sangat intens?" Di tambah nada suara yang menyindir.

Rupanya Devan, membuat para pegawai kocar-kacir untuk kembali pada pekerjaan masing-masing. Bukan karena takut, melainkan terlalu hormat pada boss muda yang terlalu baik hati itu. Lihat saja, Devan bahkan sampai tanpa ragu mengatasi keteledoran Bian, mengecilkan kompor dan mulai bantu menggoreng.

Kebaikan yang malah di balas sinis oleh Bian. "Apa yang kau lakukan di sini!"

"Mengintip pekerjaan mu?"

"...."

"Dan, ya... Sedikit kecewa karena fokus mu terlalu gampang terusik. Itu fatal."

Satu gorengan pertama berhasil, dengan cekatan Devan meniriskan hasilnya yang sudah begitu cantik. Mengkode Bian untuk menirunya.

"Hahah... Percikan kecil minyak tak akan merusak kulit mulus mu, Bi... Tenang saja."

"Rasanya aku tak butuh komentator." Cicit Bian, sembari matanya yang melirik tajam pada mereka yang mengawasi dengan desis umpatan. Ia yang di anggap terlalu lancang.

Ingin cepat-cepat selesai, Bian mundur beberapa langkah dari kompor. Penuh perhitungan, lantas melemparkan adonan yang di rampasnya ke dalam kubangan minyak.

Cara terbodoh yang membuat Devan terbahak. "Hahah... Kau pikir sedang lempar lembing, apa?"

"Berisik!"

"Minyaknya akan tumpah kemana-mana kalau kau melakukannya seperti itu."

Devan yang makin berisik, membuat kepanikan dan frustasi Bian makin menumpuk.

"Diam." Bentakan yang seketika membuat seisi dapur hening. "Atau aku tak akan segan melemparkan mu untuk bergabung dengan ikan-ikan mengenaskan itu!"

Peringat Bian yang seperti tak mempan.

"Itu sudah waktunya di balik." Devan yang masih di posisi rupanya terus mengawasi. "Ku rasa itu sudah hampir gosong."

"Sabar, aku sedang berusaha membaliknya."

"Ku rasa pelanggan ku akan kabur jika tukang masaknya seperti mu. Dasar lelet!"

Prang

Melemparkan spatula. Raut wajah Bian berkerut kaku, menggertakkan gigi dengan mulut terkatup rapat. Olokan Devan benar-benar tak bisa di terimanya.

"Kau atau aku yang pergi?"

Senyum tipis Devan dengan kedua tangan terangkat. Penyerahan pria itu, seolah memposisikan Bian sebagai peran yang paling antagonis tanpa pertimbangan.

"Bangsat! Apa yang dia katakan?!"

"Bukannya malah terbantu, kepindahan mu ke mari malah membuat situasi dapur makin repot."

Dan orang-orang yang akan kembali menggunjing. Demi kewarasannya, Bian memutuskan bungkam. Juga hengkang dari tugasnya lebih cepat tanpa pertanggungjawaban.

"Hei! Lalu siapa yang melanjutkan tugas mu!?"

"Masa bodoh!"

Butuh udara segar, Bian kemudian melemparkan apronnya ke meja dapur begitu saja. Melarikan diri, bermaksud ke taman belakang jika saja panggilan mendadak dari Tio membuatnya berubah pikiran.

Pria yang nangkring di parkiran motor. Bergaya dengan perpaduan asap rokok dan debu polusi. Tunggangan roda dua yang di rasa paling jantan menambah beratus kali lipat tingkat kepercayaan diri.

Meski Tio yang seperti di persaingkan dengan tukang parkir itu sama sekali tak layak untuk mengkoreksi.

"Wajah mu cemberut sekali, orang-orang akan menyangka kalau lubang mu tak cukup puas di tusuk."

Plakk

Tak membutuhkan pertimbangan, pukulan tangan Bian sudah mampir ke kepala Tio.

"Ouch! Sumpah, aku hanya mencoba membuat mu tertawa, tau!"

"Apa aku harus mengucapkan terimakasih?" Sengit Bian, sembari merampas batang rokok milik Tio dan menginjak sampai bara api di ujungnya padam.

Berdekap, mengabaikan tatapan miris Tio pada batang rokok terakhirnya yang telah menyatu dengan tanah.

"Lupakan. Sekarang aku ingin tau apa masalah mu."

"Perkara Devan, dia selalu bisa memancing amarah ku."

"Ishh.... Jadi benar? Kau begitu terobsesi untuk merenggut Mike dari istri prianya?" Pikir Tio, menyambung pada perbincangan mereka malam kemarin.

"Ku pikir aku sedang tidak mengizinkan mu untuk berspekulasi."

"Ckck! Sewot sekali."

"Katakan pada ku, apa yang kau lakukan di sini?"

"Jika ku katakan aku merindukan mu, apa kau percaya?"

"Apa kau mau sepatu bot ku ini menampar mu?" Tawar Bian sambil menendang udara.

Ketar-ketir sepatu tebal itu menyambangi wajahnya. Tio geleng-geleng dengan bibir yang sudah pucat. "Tidak-tidak. Sadis sekali."

"Aku tak punya banyak waktu, sekarang katakan mau mu."

"Bi, bisakah kita makan siang bersama? Pasti di tempat mu di beri makan siang, kan? Ambil kan satu saja untuk ku, bisakan?"

Plakk

"Ouch!"

Lagi-lagi geplakan tangan Bian menyambangi tempurung kepala yang tak ada harkatnya.

"Kau pikir ini tempat amal apa?!"

"Bi... Bian...! Aku benar-benar serius memintanya...!"

Bian tuli, makin mempercepat langkahnya untuk meninggalkan kawan tak tau dirinya itu. Suasana hatinya yang buruk, makin tak karuan saat ucapan Tio secara tak langsung mengingatkan atas posisinya yang sama sekali tak berharga. Usaha kerja kerasnya yang berakhir dengan meminta imbalan pada musuh terbesarnya.

"Dasar. Bagaimana aku bisa begitu betah bersama dengan orang tempramen seperti dia?"

Sementara Tio yang masih tak menemukan jawaban sedikit pun dari pertanyaan 6 tahun lalu.

"Ini untuk mu."

Lamunannya terusik, seorang pria mungil yang begitu menawan menghampirinya. Jelas bukan Bian meski perawakan keduanya begitu mirip.

Meski terkesan atas sambutan senyum cerah setelah wajah masam di dapatkan sebelumnya, Tio yang celingukan tak habis pikir atas kedatangan makhluk Tuhan yang begitu indah itu di buat makin mengernyit. Kedatangan pria mungil itu untuknya?

"...."

Sampai sebuah bungkusan plastik di terimanya dengan bibir megap-megap tanpa suara.

"Bian yang menyuruh ku untuk memberikannya pada mu."

Pria asing yang kemudian pergi begitu saja, sebelum sempat Tio menanyakan maksud pemberian itu atau sekedar mengucapkan terimakasih.

Pandangannya yang terus mengikuti, meski kaki terasa begitu kaku untuk mengejar. Satu petunjuk yang di dapatkan sebelum pria itu benar-benar pergi dengan mobil mewah yang sudah menunggu.

"Sialan! Lancang sekali Bian memerintah orang kaya!"

Next chapter