"Bahkan aku yang telah kau anggap sebagai adik mu, apakah tak bisa jadikan pertimbangan?" Suara Bian yang seketika sumbang.
"Kau tau, aku adalah pria berprinsip."
Bian yang menunduk makin dalam, berusaha keras menahan bayangan ketakutan yang nyaris membuatnya terisak. Mike yang mencintai dan mempercayainya sebesar itu, tak bisa di bayangkan jika Devan membongkar kebusukannya lebih cepat.
Terbuang, seorang diri. Apa yang harus di lakukannya tanpa perlindungan Mike? Apakah hidupnya masih berguna? Bahkan kematiannya, apa masih akan ada orang yang berduka?
Memikirkannya di sepanjang jalan, meski pikirannya amat sulit memangkas pertimbangannya yang malah mencabang.
Hachu!
"Sialan! Pernapasan ku rasanya berat sekali."
Memasuki restoran tempatnya kerja, pukul sebelas yang jelas-jelas sudah terlalu terlambat.
Pria dan wanita yang nampak berdebat di sebuah meja, seketika saja terintrupsi oleh kehadiran Bian.
"Ah, itu dia!"
Rupanya Tio, berjalan cepat menghentikan Bian. "Sialan! Aku mencari mu dari kemaren, bodoh!"
"Siapa suruh?"
"Dasar bocah-"
"Telat, akan ku adukan ini sebagai pelanggaran."
Kekesalan Tio di sela oleh ancaman Nadin yang langsung bersendekap penuh ancaman, yang sayangnya tak berpengaruh untuk Bian yang malah memutar bola mata malas sambil berdecih.
"Lakukan sesuka mu."
"Bi, teganya kau mengabaikan kekhawatiran ku." Tio yang masih tak menyerah untuk menunjukkan posisinya yang seolah tersakiti. Mencekal pergelangan kecil Bian untuk meminta perhatian.
Lama-lama Nadin yang makin risih oleh Tio. "Kau, jangan membuat keributan di sini."
"Hei, apa kau tak lihat kalau aku sedang bicara dengan kawan ku?" Suara Tio yang malah meninggi, membuat Nadin bahkan beberapa pelanggan tersentak oleh interaksi heboh ketiganya.
Sementara Bian yang lagi-lagi berdecih, menyentak pegangan Tio dan cepat-cepat berlalu pergi.
"Eh, Bi! Aku belum selesai dengan mu, ya!"
"Apakah barusan aku tak salah dengar? Kau membentak orang yang telah berbaik hati meladeni keresahan mu selama berjam-jam?"
"Eh, maafkan aku nona manis." Tio yang hilang kontrol, memukul kepalanya yang mendadak konslet. Wanita cantik, bagaimana bisa di acuhkannya hanya demi kawan tak tau diri?
"Bagaimana bisa aku membentaknya?" Pikir Tio tak sangka.
"Lupakan! Setelah lebih dari satu jam kau duduk di sini, apa kau tak sedikit pun merasa sungkan? Setidaknya pesan lah minuman."
Gawat! Ini yang di cemaskan Tio sedari tadi. Sambil meringis, menggaruk surai tebal setengah keritingnya. "Apa di sini air gratis?"
"Tentu saja. Mari ku antar kau ke pancuran depan. Sungguh, kau bisa menenggaknya sesuka mu."
"Ehm... Maaf ya, kedatangan ku bukan sebagai pelanggan." Ringis Tio saat mengingat dompetnya yang kosong. Buru-buru melarikan diri sebelum wanita yang baru di kenalnya itu memperkarakan kerusuhannya.
"Dasar! Rupanya mereka sama menyebalkannya."
Sementara Bian sebagai pelayan tanpa aturan, membuat yang lainnya mengernyit kebingungan saat dirinya menyusup ke dapur, menyela tugas beberapa orang yang mempersiapkan bahan.
"Jangan tanya kenapa aku ada di sini."
Berkutat dengan panasnya hawa dapur, di desak untuk berkerja gesit. Cara Devan memang sangat ampuh untuk mengujinya.
Jemarinya sudah tak cantik, bekas pisau yang tandas menggoresnya sampai nampak berwarna hitam dan sulit di hilangkan.
Waktu istirahat benar-benar sangat di nanti, rakus melahap jatah makannya. Ketenangan saat merasakan sejuk angin sepoi-sepoi, pohon-pohon yang meneduhkan. Yang lebih penting, dengan lirikan tajamnya dapat menyingkirkan Nadin dari niatan mengganggunya.
"Jadi, kau sudah membuat keputusan?"
Rupanya pertahanannya sedikit jebol, sampai-sampai yang paling penting untuk di hindari malah begitu mudahnya duduk di hadapannya.
"Ku kira kau tipe pengecut yang akan melarikan diri meski Mike yang jadi pertaruhan. Tak ku sangka, kau memang sangat menyayanginya, ya?"
"Ku harap kau tak cemburu mendengarnya. Tapi, ya... Begitulah adanya, aku sangat menyayanginya dan dia pun lebih menyayangi ku."
"Lalu... Katakan, kenapa kau tak abaikan saja penawaran ku? Hidup liar sesuka mu, apakah mendadak kau tak sepercaya diri itu untuk di belanya?"
Tak
Sendok garpunya yang di hempaskan, Bian tak napsu makan saat bertubi-tubi Devan menyerangnya. Mampu membuatnya diam?
"Aku hanya tak ingin membuat mu kecewa, bukankah sulit untuk orang seperti mu merencanakan kejahilan semacam ini?"
... Kau tau, walau bagaimana pun kau adalah seseorang yang di cintai kakak ku dan aku tak bisa membangkang. Bukan karena takut pada mu, aku hanya terlalu menghormati kakak ku."
"Hahahah... Benarkah?"
"Dan sepertinya kau memang butuh pewarna untuk menghiasi hidup mu yang membosankan. Hiburan di mana aku yang menjadi boneka menyedihkan yang kau permainkan. Tak ada masalah untuk ku, segalanya akan ku lakukan untuk kakak kesayangan ku."
Bian pergi, meninggalkan makanannya sisanya begitu saja. Tatapan Devan yang terus mengawasi dengan senyum lebar.
Sementara di kejauhan, dengan wanita yang mengernyit terlalu ingin tau segalanya.
"Sejak awal, aku sama sekali tak bisa memahami hubungan Bian dan boss."
.
.
.
"Sial!"
Entah untuk keberapa kalinya umpatan lolos dari bibir mungilnya. Mengemut jari kiri telunjuknya yang lagi-lagi mengeluarkan darah, lidahnya sampai terasa tandas karena terlalu sering merasakan perpaduan anyir dan langu dari umbi lapis itu. Entah ribuan biji bawang-bawangan yang telah di kupas, rasanya memang ia tak akan pernah ahli menggunakan pisau dengan benar.
Mengguyurkan air pada jarinya yang mengerikan dengan sayatan-sayatan baru yang terus menimpa. Miris mendapati jari lentiknya yang kini berubah buruk rupa, terasa sangat kasar dan tak terawat. Meski pun di satu sisi ia merasa sangat bersyukur, telinganya terselamatkan dari suara berisik Nadin yang membuatnya pengang.
"Bahan baku, cepat-cepat!"
Belum sempat meratapi kesedihan atas nasibnya yang malang, teriakan dari kepala bagian menyentaknya untuk segera bergegas bersama dengan yang lain.
Akhir pekan yang menjadi ancaman mengerikan, pasukan pelanggan seperti tak henti-hentinya datang. Tubuh letih yang terus-terusan di forsir tanpa henti. "Bereskan dapur sampai kinclong!" Bahkan waktu istirahat pun harus di jejali tugas tambahan yang makin berat.
"Sialan! Berapa banyak mereka menggunakan perkakas, eh?" Dengusnya saat membayangkan luka goresan di tangannya akan semakin parah jika terlalu lama terkena air, apalagi itu kotor. Bulu kuduknya sampai merinding karena terlalu jijik. Beberapa saat membuatnya mematung di depan cucian. Sisa makanan yang tertinggal membuatnya mual. "Tinggal tunggu saja aku di kerubungi lalat."
"Awas-awas, air panas!"
Prangg
"Ouchh!"
Sampai suara teriakan membuatnya reflek berjengkit, yang malah membuatnya sial dengan menabrak seseorang dari arah belakangnya. Adu fisik, yang lebih buruknya saat ia yang tak menyadari serangan di sampingnya lebih cepat. Cairan yang terasa begitu panas mengguyur sedikit dari bagian pahanya, celana jins panjang yang digunakannya seperti tak berguna, kulitnya terasa melepuh.
"Ouch! Ini sakit!"
"Dasar! Bukankah sudah ku peringati untuk kau menyingkir?"