Wedden keluar dari penginapan ketika gerimis hujan sihir itu telah reda, hanya meninggalkan kegelapan dan udara yang sangat lembab mengganggu pernapasan orang Vitran itu. Dia berjalan dengan langkah besarnya, dia waswas dengan suatu apapun yang mungkin menghadangnya di tengah kegelapan di depan sana. Dia dengan cekatan berjalan dengan sedikit berjingkat melewati bebatuan di sepanjang anakan sungai Lengh dan semak belukar di hutan-hutan di sepanjang jalan menuju kerajaan Soutra.
Hutan-hutan itu menjadi alternatif tercepat yang dapat digunakannya untuk menuju pusat kota, meskipun dengan keadaan alam yang berkali-kali lipat lebih berbahaya, tetapi Orang Vitran yang keriting ini telah memantapkan niat di setiap langkahnya.
Telah lebih dari dua puluh kilometer berjalan di dalam hutan yang tidak terlalu lebat, akhirnya orang Vitran itu sampai di perbatasan kota di bagian barat, lokasi terdekat dari kerajaan. Si keriting Wedden mempercepat langkahnya saat dia mulai menyadari bahwa kegelapan mulai menghilang dan cahaya samar di timur mulai terlihat, dan pasti saja ini tinggal dua jam sebelum matahari terbit.
Kota masih tenang dan sunyi sepi, hanya suara dengkuran kuda di beberapa rumah warga yang memeliharanya dan suara-suara burung malam yang terdengar lirih di kejauhan. Kota yang tentu saja lebih terang daripada desa tempat tinggalnya ini merupakan kota yang terkenal dengan keramah tamahan penduduknya. Berbeda dengan kota di Selatan, Barat, dan Timur, kota Utara atau lebih tepatnya disebut dengan nama kota Soutra ini memang memiliki penduduk yang sangat banyak dan padat, mereka dalam satu keluarga bisa saja memiliki empat bahkan sampai delapan anak di dalam rumah mereka. Mata pencaharian mereka adalah bertani dan berkebun, banyak juga diantara mereka yang menjadi peternak kuda, ayam, kelinci dan hewan lainnya yang dapat dimakan ataupun di pekerjakan oleh tuannya.
Setelah menapaki jalanan yang sedikit menanjak, akhirnya Wedden berhasil sampai di depan gerbang istana yang nampak gagah karena ukurannya yang sangat tinggi dan tebal. Gerbang ini memiliki ketinggian sekitar lima puluh lima meter dengan tebal lima meter, puncak dari gerbang ini berbentuk runcing dan tajam, maka dari itu kerajaan ini dijadikan tempat berlindung yang paling baik di kota ini.
Kerajaan yang tampak sempit ini bahkan dapat menampung hampir semua warga penduduk Utara di dalam ruang bawah tanah mereka dan beberapa ruang rahasia lainnya yang sengaja dibangun untuk pertahanan kota.
Para pengawal yang tinggi besar tengah berjaga di gerbang istana dengan pedang di pinggang mereka. Mereka awalnya sedikit ragu untuk memberi ijin warga Vitran ini untuk memasuki kawasan kerajaan, tapi setelah Wedden menceritakan apa yang akan dia lakukan di dalam istana, akhirnya mereka mengijinkan orang Vitran yang keriting itu untuk masuk kedalam istana dengan dikawal oleh lima orang pengawal untuk berjaga-jaga kalau saja orang desa ini akan berbuat macam-macam yang akan merugikan pihak istana.
Wedden dibawa menghadap raja oleh para pengawal itu, dia sedikit gugup karena di ruangan raja hanya ada raja seorang tanpa ada pengawal atupun pelayan istana. Wedden mulai berfikir negatif dan uratnya mulai menegang.
"Jangan takut anakku, kemarilah. Tapi jika kau adalah Wedden Arragegs?" Sang Raja Soutra yang bertubuh gagah persis dengan pangeran Ren, kecuali rambut merah muda dengan poninya, menyambut baik kedatangan orang Vitran yang berpakaian kumal dan dekil itu.
"Hamba adalah Wedden Arragegs, yang Mulia." Si keriting Wedden menunduk hormat kepada pria tua berjubah kebesaran kerajaan Soutra itu. "Tapi, bagaimana Yang Mulia bisa mengetahui nama hamba? Lantas, siapa yang ingin bertemu dengan hamba?" tanya Wedden mulai melunak dengan suasana yang masih terasa ganjil.
"Aku." Suara berat seseorang dibarengi dengan suara keras derap pintu yang tertutup membuat orang Vitran yang dekil itu menggidik dan memberanikan diri untuk berbalik. Sosok pria bertubuh besar dan tinggi muncul dari balik bayangan bangunan ruang raja yang megah.
Pria itu berambut gondrong bergelombang, matanya hitam pekat dan menatap mata pucat Wedden dengan tajam, jubah merah darah yang memiliki kerah lebar dan seperti gaun menambah kesan aneh sekaligus menyeramkan sosok pria itu. Wedden nyaris tidak berkedip ketika sosok pria tinggi itu mendekatinya, pria itu langsung saja menempelkan telapak tangannya ke dahi kurus Wedden yang mematung di hadapannya.
Pria itu tiba-tiba tersentak, dia seperti terkagetkan oleh sesuatu yang menyetrum telapak tangannya. "Itu kau. Memang benar, kaulah orangnya," ujar pria yang berpenampilan seperti seorang penyihir tua tanpa tongkat itu seraya memandang wajah kurus Wedden lekat-lekat.
"Ini mustahil, tapi ini nyata." Raja Soutra turun dan menghampiri Wedden. "Kau dalam masalah besar, Nak," sambungnya dengan menepuk pelan bahu Wedden.
"Bukan masalah." Pria berjubah merah itu memandang sang raja. "Tapi misi. Kau sedang dalam sebuah misi besar, Nak." Pria itu juga menepuk bahu Wedden perlahan, membuat si keriting dari Vitran itu semakin tidak mengerti dengan situasi ini.
"Misi apa? Masalah apa? Ada apa ini sebenarnya? Kau, kenapa kau memegang dahiku? Aku sehat, aku tidak demam," protes si keriting tidak ingin terus kebingungan.
"Aku memegang dahimu bukan karena kau demam, tapi kau adalah peri," ujar si pria dengan mata hitam pekat itu dengan nada suara yang menggetarkan telinga si pemilik penginapan tua.
"Peri? Maksudmu, aku punya sayap? Aku dapat terbang?" Wedden bertingkah konyol dengan meraba-raba punggungnya dan mencari, -di mana sayapku?
Raja Soutra tertawa terbahak melihat tingkah bodoh orang desa itu. "Bukan peri yang seperti itu, tapi peri petarung, peri penguasa," kata sang Raja sedikit menjelaskan.
"Jadi, aku seorang peri? Aku peri seperti Onned, prajurit dari kerrajaan Rapher?" Wedden bertampang bodoh membuat pria dengan jubah merah itu ingin menggigit lehernya, tapi dia tidak bisa.
"Bukan!" teriak pria berjubah merah kesal dengan tingkah bodoh Wedden yang sangat susah untuk memahami suatu hal. "Kau adalah keturunan raja, sang raja Elf! Bukan keturunan prajurit Elf!" tambahnya dengan suara beratnya yang nyaring sampai membuat bulu kuduk Wedden berdiri tegak.
Wedden melengoh, matanya membulat seperti kelinci yang mengantuk. "Ahhhhhh, itu tidak mungkin. Aku seorang manusia, aku Wedden Arragegs, bukan Wedden Rapherson," celotehnya menggelikan, membuat sang raja Soutra sedikit menggaruk tengkuknya.
"Apa kedua orang tuamu tidak pernah bercerita?" nada suara pria berjubah merah mulai melemah, dia hanya mendapati sosok kurus orang Vitran itu menggeleng lemah dengaan kepolosan dan kebodohan yang terpancar dari kedua matanya.
"Kau adalah anak dari keturunan Rapher sang Raja Elf, kau terlahir di negeri Selatan, kau di asingkan ke Utara dengan tujuan melindungimu dari serangan Kimanh dan anak buahnya yang mulai menguatkan sihir mereka, kau ditemukan oleh sepasang suami istri yang tidak memiliki keturunan dan kau dirawat oleh mereka dan dibesarkan oleh mereka. Mereka adalah, Morge dan Jonnah Arragegs." Pria berjubah merah itu mendekatkan wajahnya ke wajah Wedden yang sedang memutar otaknya.
Dia mengingat dulu pernah kedua orangtuanya bercerita kalau dia bukan anak kandung mereka. Hanya saja, mereka tidak bilang dari mana mereka mendapatkan Wedden bayi dan siapa sebenarnya bayi yang terasingkan itu.
Pria berjubah merah menoleh kearah jendela yang mulai memperlihatkan cahaya di timur, dia segera berpamitan dengan raja Soutra dan mengatakan kepada Wedden bahwa dia harus mengalahkan Kimanh dan seluruh anak buahnya, dan dia juga harus mengembalikan kedamaian hidup di empat negeri bagian Persei ini. Wedden belum sempat bertanya lebih lanjut ketika pria berjubah merah itu melesat dan menghilang diballik pintu ruang raja.
***