Arjun menatap nanar gedung di hadapannya yang menjulang tinggi, rasanya bergitu berat bahkan walau hanya melangkahkan kakinya. Di sampingnya, Juwita tambak memeluk dirinya sendiri, udara di sini begitu dingin dan lembab, lengan putihnya kini berbah warna menjadi kemerahan karena gigitan nyamuk.
"Arjun, ayo,"
"Iya," lirih pemuda itu dengan kepala menunduk.
"Ayo, lo bisa kok, Om Alan udah berubah," Lucas merangkul bahu temannya, mencoba memberi semangat.
"Iya gue tau," yang di rangkul mengangguk, segera berjalan mendekati pintu gedung yang terbuat dari kayu, lalu mengetuknya beberapa kali.
Kriett
Pintu terbuka dengan perlahan, jantung mereka berpacu dengan cepat entah karena apa. Seorang remaja tanggung berusia sekitar 12 tahunan berdiri di sana, dengan pakaian lusuh dan compang camping.
"Kalian siapa? Kalian orang jahat itu ya?" tudingnya.
"Bukan, kami bukan orang jahat," Yeri menjawab cepat, menampakkan senyum semanis mungkin, "Apa Profesor Alan ada?" tanyanya kemudian.
"Oh om baik? Om baik ada, kalian mau apa? Kalian mau jahatin om baik lagi?" sungut remaja itu.
"Saya anaknya," Arjun melangkah maju, "Saya ingin bertemu dengan ayah--"
"Siapa yang datang Am--Arjun,"
"Ayah," Arjun mengerjab beberapa saat, mencoba mencerna sebuah fakta bahwa pria paruh baya di hadapannya dengan tubuh kurus penuh luka adalah ayahnya.
"Arjun astaga Nak," Profesor Alan segera menarik Arjun ke dalam pelukannya, "Maafin ayah nak,"
"Enggak, maafin Arjun yah," Arjun balas memeluk sang ayah, "Ayah kenapa bisa jadi kayak gini? Siapa yang lakuin?"
"Udah sekarang mending kalian masuk dulu,"
Semuanya menurut, mengikuti langkah Profesor Alan memasuki gedung.
Juwita terperangah, gedung ini sangatlah besar, ia kira akan berisi alat-alat laboratorium yang menurutnya menyebalkan, dan akan banyak ilmuwan yang berjalan mondar-mandir di sana, namun dugaannya salah, tempat ini mirip seperti sebuah taman bermain dengan anak-anak yang bermain kesana kemari.
"Hanya ini yang bisa saya selamatkan karena keadaan sangat mendesak," Profesor Alan menjawab bahkan disaat semuanya belum sempat bertanya, "Untuk orang-orang kaya dan berpengaruh, mereka sudah mengevakuasi diri sejak jauh-jauh hari,"
Yuki menoleh dengan dahi berkerut, "Papa sama mama juga dong om? Kok aku nggak diajak?"
"Kecuali untuk anak-anak berusia 18-20 tahun, mereka sengaja ditinggalkan untuk menyelamatkan diri sendiri, semacam dia yang hidup adalah dia yang menang,"
"Oh damn," geram Lucas, "Buat apa coba?"
"Ini semua rencana mereka, mereka yang mempengaruhi pemerintah, dengan dalih ingin membantu negara ini,"
"Dasar gila," desis Yeri, "Siapa anak-anak ini?"
"Mereka anak jalanan yang masih sempat saya bantu," jawab pria itu, "Yuki, jika saja kamu tahu bagaimana histerisnya Natta saat mereka memaksa dia pergi,"
"Mama," gadis itu menunduk sedih.
"Profesor Alan, siapa mereka?"
"Ah ini putra saya Arjun, dan teman-temannya, anak-anak perkenalkan beliau rekan saya, Profesor Hardi,"
"Halo anak-anak, panggil aja Kak Hardi, masih muda ini,"
Yuda tertawa renyah, "Halo, saya Yuda,"
"Saya Arjun, ini Juwita, Yuki, Lucas, Bima, Yeri, dan Yuda,"
"Nice to meet you,"
"Nice to meet you too bro," balas Yuda.
"Maaf ya, dia emang rada-rada," Bima tersenyum canggung.
"Santai aja,"
"Nah anak-anak, ini ruangan saya, kalian bisa istirahat dulu di sini," Profesor Alan menggiring mereka memasuki sebuah ruangan.
"Woahh," kagum Yuda, yang bahkan kini tidak bisa mengantupkan bibirnya.
Ruangan itu sangat besar dengan sebuah ranjang king size dan beberapa peralatan laboratorium di sana sini.
"Nggak, ayah harus jelasin semuanya," Arjun menatap ayahnya kesal.
"Kalian nggak capek? Jalan dari desa ke sini?" Profesor Hardi menyahut.
"Kita naik mobil Kak, mana capek," jawab Yeri cepat.
"Okeoke, saya jelaskan, untuk awalnya kalian pasti sudah tau," ayah Arjun itu menghela napas, "Satu jam setelah zombie pertama di lepas, saya segera menuju kota, dan membantu beberapa anak untuk di evakuasi, dan pulang ke rumah untuk memberi kalian perunjuk,"
"Oh jadi yang nutup gorden lantai 2 itu om," guman Yuki.
"Iya, setelah itu, kami sibuk meyakinkan pemerintah tentang mereka, hingga tidak sempat membantu kalian,"
"Mereka? Kuda?"
"Iya, the horse," jawab Peofesor Alan, "Mereka menyerang kami secara terang-terangan, dan sekarang mereka sedang mencoba menyebar luaskan virus itu keluar kota,"
"Nah berarti kemaren virus yang di desa itu ulah mereka dong," seru Lucas.
"Iya, karena kalian menghalangi para zombie, mereka berniat untuk membalas dendam dengan upaya membunuh kalian,"
"Mereka turun tangan langsung?"
"Mereka biasa melakukan semuanya sendiri tanpa campur tangan orang lain, kecuali dalam keadaan tertentu, untuk menghindari penghianatan,"
"Pantesan mereka noob banget kalo nembak," gerutu Yuki.
"Salah satu warga desa ada yang berkhianat, dia adalah orang yang gagal menjabat menjadi kepala desa, dan berniat balas dendam,"
"Bokapnya Manda," sahut Bima diangguki teman-temannya, "Lalu pemerintah? Bagaimana?"
"Hingga beberapa hari yang lalu pemerintah akhirnya memepercayai ucapan kami, dan hendak menangkap the horse, namun pergerakan mereka seperti belut, sangat licin dan lincah," jawab Profesor Alan, "Maka dari itu pemerintah sedikit kesulitan menangkap inti dari organisasi itu,"
"Astaga," Yeri menutup mulutnya, "Tapi tadi kami melihat mereka di sekitar sini,"
"Ya, namun hanya sebagian kecil dari mereka, mungkin sebentar lagi tertangkap,"
"Jumlah mereka banyak banget dong,"
"Iya, namun sebagian besar sudah tertangkap, hanya inti organisasi yang masih berkeliaran,"
"Pusing," keluh Yuki.
"Nah, lebih baik sekarang kalian istirahat saja dulu,"
"Baik,"
"Mau nangis, ribet banget masalahnya," Yuda mengerang, "Hadeh,"
"Gitu aja pusing, di kasih soal osn fisika nasional nggak pusing lo," cibir Bima.
"Itu udah beda konsep bro, ibaratnya nih, fisika itu bini gue yang harus gue cintai,"
"Geli banget eww," Juwita bergidik, "Gara tidurin aja Ki, nggak pegel lo?"
"Ntar takutnya nangis kalo gue tidurin,"
"Nggak akan, pules gitu kok," Yuda meyakinkan.
Gadis itu mengangguk kecil, lalu segera menidurkan sang adik diatas kasur milik Profesor Alan. Bayi itu sedikit menggeliat namun kembali tertidur pulas tak lama kemudian.
"Apa gue bilang," Yuda berujar bangga.
"Dih gitu aja sombong," sinis Bima.
"Lo tuh sirik banget sih sama gue Bim,"
"Ya lo sirikable sih,"
"Cogan sabar, cogan tabah,"
"Cogan katanya," Yeri mencibir.
"Emang, nggak liat lo muka gue mirip Tom Holland?"
"Sembarangan," Yuki memekik tak terima, "Peter cakep gue di samain sama lo,"
"Lah emang kenyataan gue cakep macem spiderman,"
"Tom Holland nangis disamain sama lo Yud," sahut Juwita, "Untung bukan Manu--"
"Yaudah gue mirip Manurios,"
"Belum kelar juga gue ngomong," Juwita mendengus, "Kasian Manu di mirip-miripin lo,"
"Yaudah gue mirip Shwan--"
"Di tampil Mba Camila yang ada lo," Yeri melotot sebal, "Lagian halu mulu lo, udah sadar muka cem papan cucian jangan suka kepedean,"
"Astagfirullah Yeri mulutnya," Yuda memegangi dadanya dramatis.