Bianka semakin berani dan sembarangan dalam berucap, dirinya tidak sadar dan asal nerocos saja akibat hatinya yang sungguh bersedih itu, bagaimana tidak? Setelah dirinya kehilangan suaminya juga sekarang telah kehilangan ayahnya, jadi tidak menyadari kalau ucapannya itu sungguh menyakitkan hati dokter Bagaskoro. Padahal dokter Bagaskoro juga pernah kehilangan istri yang amat dicintainya, sampai-sampai anak perempuannya yang belum seberapa dewasa ditinggalkannya untuk selamanya. Akhirnya anak-anaknya kehilangan kasih sayang dari mamanya. Dan sekarang beliau membesarkan anak-anaknya hanya seorang diri.
Makanya ucapan Bianka itu mengingatkan dokter Bagaskoro di waktu saat istrinya menjelang ajalnya. Tidak bisa berbuat apa-apa, padahal dia adalah seorang dokter, itulah kenapa rasanya dokter Bagaskoro ingin mengundurkan diri saja karena ke tidak bergunanya dalam mengatasi istrinya waktu itu, tapi diurungkannya karena beliau mendapatkan surat pesan dari istrinya kalau dokter Bagaskoro harus terus semangat dan berlanjut untuk hidupnya, menitipkan kedua anaknya harus dijaga dengan baik. Dalam isi surat itu bertuliskan tidak ada yang bisa melawan takdir, yang penting sudah berusaha dan ini semua bukan salah siapapun. Makanya dokter Bagaskoro tetap bertahan sampai sekarang ini untuk menjadi dokter, tak perduli hujatan apapun, yang penting dirinya pantang menyerah.
Pertama-tama dokter Bagaskoro menghela nafas panjangnya. Dirinya ingin mencoba menyadarkan Bianka supaya tidak terus berlarut dalam kesedihan, ucapan Bianka yang sedang labil itu tidak dimasukkan ke dalam hati oleh dokter Bagaskoro. Karena beliau sungguh mengerti apa yang Bianka rasakan.
"Biankaaaa. Intinya dalam kehidupan ini selalu berputar, tidak boleh larut dalam kesedihan karena yang meninggalkan kita pastinya akan ikut bersedih setelah melihat kita di atas sana. Kamu salah, Nak. Saya paham betul rasanya kehilangan orang yang amat dicintai, kamu tau? Istri saya sudah pergi untuk selama-lamanya, tinggallah Bisma dan adiknya saja. Memang berat, tapi kita mencoba untuk tegar karena memang hidup tidak untuk terus diratapi melainkan dijalani, pastinya akan ada pelangi setelah badai berlalu," terang dokter Bagaskoro.
Hal itu membuat Bianka sungguh sangat menyesal telah sembarangan dalam berucap. Bianka sungguh malu sekarang, dirinya sampai-sampai tidak bisa berucap apa-apa dan semakin mengeraskan tangisannya.
"Hiks, hiks, Ayaaaah. Semua ini salah Bianka Ayah, salah Biankaaaa. Bianka sungguh bukan anak yang berbakti, Bianka menyesal tidak patuh terhadap, Ayah. Apa yang harus Bianka lakukan, Ayah, apa?!" jerit Bianka. Dokter Bagaskoro yang merasa iba pun semakin mendekat ke arah Bianka dan memeluknya, menganggap seperti putrinya sendiri.
Namun Bisma yang melihat sikap papanya itu, hatinya sedikit memanas, bisa-bisanya Bisma tidak cemburu pada tempatnya dan pada waktu yang tepat. Dia seketika masuk ke dalam ruangan ayah Bianka itu, bermaksud menyusul papanya dan menghentikan perlakuan khusus papanya itu.
Dengan deheman keras Bisma pun melakukannya dan hal itu membuat dokter Bagaskoro terkekeh. Melepaskan pelukannya itu dengan melototkan kedua bola matanya ke arah Bisma.
"Cepat hibur dia! Ini kesempatanmu!" ujar dokter Bagaskoro dengan menggerakkan bibirnya saja, supaya Bianka tidak mendengarnya, jadinya itu adalah sebuah kode untuk putranya. Supaya bertindak dengan tanggap dan cepat.
Bisma pun mengangguk karena mengerti dan kini menggantikan papanya untuk berdiri tepat di samping Bianka. Dokter Bagaskoro lalu berbisik kepada Bisma memberikan pesan-pesan bermoral kepada putranya. "Pokoknya kamu jangan macam-macam! Belum muhrim oke! Harus bertindak sewajarnya."
"Ya, Pa siap!"
"Papa pergi dulu! Ada yang harus diurus!" pamit dokter Bagaskoro. Bisma lalu mengangkat jari jempolnya, melambaikan kedua tangannya ketika papanya sudah berjalan ke arah luar.
Sementara Bianka yang tidak tau kalau dokter Bagaskoro sudah pergi, dia yang sangat terpukul dan masih ingin berbagi kepada dokter Bagaskoro dan menganggap dokter Bagaskoro adalah sesosok ayahnya, menaruh kepalanya kembali ke pundak yang menurutnya itu adalah pundak dokter Bagaskoro. Bisma tersenyum dan hatinya semakin bergetar hebat, dia tidak menyangka kalau Bianka melakukan itu kepadanya. Bisma tidak menyadari kalau dirinya hanya dianggap oleh Bianka sebagai dokter Bagaskoro.
"Terimakasih dok, atas bantuannya dan pesannya. Maafkan ucapanku yang lancang tadi, saya tidak bermaksud untuk melukai perasaan dokter. Sekali lagi terimakasih, ternyata dokter orangnya sungguh baik. Pastinya banyak orang yang sangat menyukai dokter. Istri dokter dan anak-anak dokter pasti sangat beruntung memiliki dokter yang sungguh baik ini."
Kini akhirnya Bisma tau maksud Bianka yang melakukan itu kepadanya, Bisma pun membatin. 'Ohh ternyata aku dikira papa. Pantas saja Bianka bersikap seperti ini kepadaku, aku sungguh GR tadi haha. Tapi lumayan untung juga kalau seperti ini. Tidak berdosa kan aku? Aku kan berniat untuk menghiburnya, yang pasti ini bukan keinginanku dan bukan karena unsur kesengajaan, tapi kalau papa melihatnya bisa dimarahin aku hehe, biarlah terlebih dahulu, barangkali kalau sudah selesai Bianka akan lega.'
"Emmm bolehkah saya menganggap dokter sesosok ayah? Karena kehangatan dokter mengingatkan saya kepada ayah," tambah Bianka yang tidak ditanggapi oleh Bisma. Memang Bisma sengaja diam, kalau tidak seperti itu jelasnya Bianka akan tau kalau itu dirinya, karena suaranya yang pasti berbeda dengan papanya dan yang pasti Bianka bisa mengenalinya.
Namun Bianka yang sudah cukup tenang itu mulai menarik kepalanya, tapi tidak diizinkan oleh Bisma, Bisma malah semakin memeluk Bianka. Sehingga membuat Bianka menaruh curiga kepadanya.
"Heeey kaliaaan! Apa-apaan iniiii! Di depan tubuh ayah melakukan perbuatan yang tidak senonoh, belum muhrim juga! Apa kalian mau berzina hah!"
Bianka terjingkat saat mendengar suara teriakan menggelegar dari luar yang sungguh menyesakkan dada itu, yang suaranya itu sangat dikenali oleh Bianka. Sehingga langsung menarik kepalanya dari pundak Bisma dan menatapi Bisma dengan mata yang terbelalak. Lalu menoleh ke arah seseorang itu yang ternyata adalah ibunya.
"Ehhh, Ibu? Ini salah paham!" Bianka sungguh kebingungan hingga menatapi Bisma lagi dengan mata yang melotot sembari menuding ke arahnya.
"Apa?! Kenapa kamu?! Lancang!" tambah Bianka mengoceh sebal dan mengotot. Sampai-sampai urat di lehernya sungguh kentara.
Plak! Satu tamparan dari Bianka mendarat dengan sempurna di pipi Bisma dan hal itu membuat Bisma memegangi pipinya sekarang.
"Kenapa kamu menamparku, Bianka? Bukankah? Kamu yang ..." Hampir saja Bisma keceplosan, untungnya dia bisa mengerem ucapannya. Kalau tidak Bianka akan semakin terpojokkan dan dimarahi oleh ibunya itu.
"Cepat katakan! Apa yang kalian lakukan! Hah!" teriak ibu Bihana lagi karena tidak mendapatkan balasan dari Bianka maupun Bisma. Beliau tidak menyangka dengan apa yang dilihatnya. Menurut beliau perbuatan mereka salah, tanpa mengerti kejadian yang sebenarnya. Pikirannya sudah tidak bisa jernih lagi jadi langsung semakin berjalan ke arah Bianka dan menampar putrinya itu. Jadi saling tampar menampar dalam hal ini.
Menjadikan Bisma bersalah sekarang, karena dirinya tidak sejak awal menolak Bianka, sehingga menjadi salah paham seperti ini. Bisma pun mencoba menjelaskannya. Namun, ibu Bihana tidak memberi kesempatan sama sekali. Menurut beliau biar Bianka yang menjelaskannya, orang lain tidak boleh ikut campur.
"Cepat jelaskan!"