webnovel

Gelisah

~selamat membaca~

Pagi hari, Aden sedang berada di dalam kamarnya, di rumah kontrakan milik Anis. Setelah diusir sama Pandu, Aden memang memutuskan untuk pulang ke rumah kontrakan kakaknya. Meski ibu Veronica sudah membujuknya agar tetap tinggal, tapi sepertinya Aden cukup tahu diri. Ia tidak mungkin tinggal di rumah seseorang, dimana pemilik rumahnya sendiri tidak mengharapkan keberadaanya di sana.

Oleh sebab itu, dengan terpaksa Aden memilih kembali ketempat asalnya, mengabaikan bujukan ibu Veronica.

Lagi pula percuma juga ia berusaha mati-matian membujuk Pandu supaya mau mendengarkannya. Sementara suasana hati Pandu sendiri masih meradang emosinya. Hasilnya akan sia-sia, justru yang ia dapat malah makian, kata-kata pedas yang keluar dari mulut Pandu.

Aden merasa, jika ia terus membujuk Pandu, justru malah akan semakin memperkeruh keadaan.

Kembali ke tempat asal, dan membiarkan Pandu tenang agar bisa berpikir jernih, adalah keputusan terbaik menurut Aden. Ia hanya bisa berharap, Pandu akan mau mendengarkan, dan mempercayainya, jika ia memang benar sudah sangat menyayangi Pandu. Aden juga sudah sangat yakin, jika ia juga merasakan apa yang Pandu rasakan padanya.

Sekarang Aden sudah tidak perduli lagi, jika yang ia sayangi mempunyai jenis kelamin yang sama dengannya. Mau bagaimana lagi? Aden sudah terlanjur sayang, tidak ada alsan baginya untuk tidak menyayangi Pandu. Meskipun otaknya kadang berkata tidak! tapi perasaannya jauh lebih kuat mengalahkan logikanya.

Nggak ada salahnya kan mengikuti kata hati?

Aden menyandarkan punggungnya di tembok, kaki kiri ia selonjorkan bebas, sedangkan kaki kanannya ia tekuk. Pergelangan tangan kanan ia taruh di atas lutut. Kepalanya mendongak, ikut menempel di tembok, tatapan matanya kosong menatap plafon kamar.

Pikirannya melayang, mengingat masa-masa indah saat bersama Pandu. Bibirnya mengusung senyum miring, kala ia teringat saat Pandu selalu meminta agar ia mencium kening, dan memeluknya saat akan tidur. Namun lambat laun senyumnya memudar, hingga akhirnya senyum itu benar-benar lenyap dari bibirnya, saat ia sadar jika Pandu tidak mungkin akan minta dipeluk lagi.

Aden menarik napas dalam-dalam. Keluarkan. Melakukan itu berulang-berulang untuk menghilangkan rasa sesak di dadanya. Tapi hasilnya nihil, dadanya masih terasa sangat sesak. Apalagi saat Aden teringat waktu pertamakali ia memukul Pandu, rasanya semakin sesak, Aden tidak berhenti merutuki dirinya sendiri akibat kebodohannya saat itu. Aden menyesal, sangat menyasal, ia geram dengan dirinya sendiri hingga jemarinya mengepal kuat, lalu...

Bugh!!

Aden memukul wajahnya untuk menghukum dirinya sendiri akibat kebodohannya karena pernah memukul Pandu. Pukulan yang kuat hingga meninggalkan jejak warna merah di wajahnya. Aden meringis sambil telapak tangannya memegangi wajahnya yang ia pukul barusan, menikmati rasa sakit akibat pukulannya sendiri.

"Den..."

Suara lembut Anis yang baru saja masuk ke dalam kamarnya mengagetkan Aden. Ia buru-buru mengusap bola matanya yang berkaca agar tidak ketahuan jika ia sedang menangis.

"Kamu teh kenapa belum siap-siap?" Tegur Anis ketika ia sudah mendudukan dirinya di tepi kasur, di depan Aden. "Buruan siap-siap nanti kamu telat sekolahnya." Perintah Anis.

"Aden nggak mau sekolah teh," jawab Aden lesu.

"Jangan gitu Aden, tadi teh ibunya Pandu nelpon teteh, nanyain keadaan kamu. Katanya kamu harus tetep fokus sekolah." Ucap Anis, sambil tangannya mengusap lembut puncak kepala adiknya.

"Tapi Aden kesel sama ibunya Pandu, sekarang Pandunya jadi marah-marah sama Aden," ucap Aden sambil menatap serius ke arah Anis. "Aden pingin minta maaf sama Pandu."

Anis menghela napas sebelum akhirnya ia menjawab, "teteh ngerti, gimana juga ibunya Pandu teh udah baik sama kamu, kamu nggak boleh marah sama dia. Makanya kamu harus sekolah, biar bisa ketemu Pandu terus minta maaf." Anis berusaha membujuk Aden. "Tadinya teteh mah enggak setuju sama rencana ibu Veronica, kasihan sama Pandunya, udah sakit tapi masih dibohongin. Sekarang yang teteh takutin beneran kejadian." Ujar Anis dengan wajah yang murung.

Setelah pulang dari rumah Pandu, Aden memang sudah menceritakan semuanya kepada kakaknya. Oleh sebab itu Anis bisa tahu kejadian yang menimpa adiknya. Tapi Aden belum cerita kalau sekarang ia mulai merasakan apa yang dirasakan sama Pandu padanya.

Menurut Aden, waktunya belum tepat, bisa-bisa keadaan akan semakin runyam.

"Tapi Aden nggak yakin Pandu mau sekolah apa enggak." Ujar Aden putus asa.

"Pandu sekolah," potong Anis yakin,"Tadi ibunya Pandu juga bilang kalo Pandu hari ini sekolah, cuma katanya enggak mau ngomong apa-apa sama ibunya, sama ayahnya juga diem aja." Jelas Anis mengkopi paste kalimat ibu Veronica yang ia dengar melaui telfon.

"Kira-kira Pandu mau dengerin Aden nggak ya teh?" Tanya Aden ragu-ragu.

"Dicoba dulu, teteh yakin dia mau dengerin kamu. Sekrang buruan siap-siap, berangkat bareng teteh. Soalnya a'a udah berangkat duluan, dikiranya teh kamu mau sekolah, jadi teteh disuruh berangkat ke kantin bareng sama kamu." Ujar Aden.

Meski dengan wajah yang murung, akhirnya Aden mengangguk pelan, sebagai tanda jika ia bersedia bersekolah hari ini.

Anis menghela napas lega, walaupun tidak ada senyum di bibir adiknya, tapi setidaknya Aden bersedia berangkat ke sekolah supaya bisa bertemu dengan Pandu, lalu meminta maaf.

~♡♡♡~

Aden berdiri mematung di ambang pintu kelas, sorot matanya lurus menatap ke arah bangkunya. Hatinya berdebar-debar saat ia melihat Pandu ternyata sudah duduk di sana.

Namun saat Pandu melihat keberadaan Aden, ia langsung bertukar tempat duduk dengan Lukman. Fix! Pandu masih marah padanya. Tapi ada sedikit rasa lega di hati Aden, karena melihat Pandu berada di sekolah. Dengan begitu ia jadi bisa berusaha agar bisa menjelaskan semuanya kepada Pandu.

Ragu-ragu Aden mengayunkan kakinya, berjalan ke arah tempat duduknya. Saat sedang berjalan, tatapan mata Aden tidak berpaling dari wajah Pandu. Ekspresi wajah Pandu masih sama, penuh kemarahan, terlihat sangat menyeramkan.

Lukman menggeser kursinya, memangkas jarak supaya bisa lebih dekat dengan Aden yang baru saja menempelkan pantat di bangkunya. "Pandu kenapa lagi?" Tanya Lukman dengan suara berbisik. Ia tidak ingin Pandu mendengarnya.

Aden menjawabnya hanya dengan menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. Wajahnya datar, tatapan matanya kosong ke arah papan tulis.

"Kalian berantem?" Tanya Lukman kepo.

Aden memutar kepalanya, menoleh ke arah Lukman, "enggak," jawab Aden datar.

Lukman mendengkus kesal, lantaran tidak dapat informasi apapun dari Aden. Sebelum Aden tiba di kelasnya, Lukman juga sudah memberondong Pandu dengan pertanyaan. Lukman heran dengan ekspresi wajah Pandu yang menampilkan wajah marah saat baru tiba di kelas. Lalu pada saat Aden masuk kelas tiba-tiba saja Pandu memaksanya untuk bertukar tempat duduk. Ditambah ekspresi wajah Aden yang terlihat murung. Hal itu tentu saja memperkuat keyakinannya jika antara Pandu dan Aden pasti sedang terjadi sesuatu.

Sebagai temen, Lukman cuma ingin membantu, jika mereka benar sedang ada masalah.

"Yaudah kalo lu nggak mau cerita," kesal Lukman, kemudian ia menarik kembali kursinya ke tempat semula.

"Bukan nggak mau cerita, tapi belum. Nanti kapan-kapan aku kasih tau." Ujar Aden. Ia mencoba membuat Lukman agar tidak salah paham padanya. Tangan berotot Aden memukul pelan pundak Lukman, "maaf ya... aku pasti cerita kok."

Lukman menarik ujung bibirnya, tersenyum tipis. "Yaudah, pokonya lu nggak usah sungkan ama gue. Kalo lu minta bantuan, gue pasti siap."

"Iya makasih," ucap Aden, setelah itu ia tersenyum nyengir.

"Good morning guy's...!!"

Suara guru Bahasa Inggris yang super gaul membuat Aden dan Lukman harus menoleh ke arah depan, dimana sudah ada pak Tora, nama guru Bahasa Inggris mereka sudah berdiri di sana. Pak Tora memang guru paling supel, dan paling gaul, ia menganggap murid-muridnya sebagai teman. Ia jarang menyebut siswanya dengan kata anak-anak, atau student. Pak Tora lebih suka menyebut siswa-siswanya dengan sebutan 'guys'. Menurutnya supaya lebih simpel, efektif, praktis, dan terlihat lebih akrab tentunya. Meskipun usianya sudah memasuki lima puluh tahun, dan warna rambutnya sudah semuanya putih. Tapi jiwanya muda.

"Morning bro....!"

Balas serempak para siswa. Guru bahasa inggris itu memang tidak mau dipanggil dengan sebutan 'pak'. Ia lebih suka dipanggil bro.

Aden dan Lukman mengambil buku mata pelajaran di dalam tasnya masing-masing.

Aden berusaha untuk fokus mengikuti mata pelajaran yang sedang berlangsung, menyingkirkan sejenak masalahnya dengan Pandu. Namun sayang rasanya sangat sulit sekali. Tidak ada satupun mata pelajaran yang diterangkan sama guru, berhasil masuk ke otaknya.

Apalagi saat Aden melihat ekspresi Pandu yang selalu sinis, dari jam pelajaran pertama dimulai, hingga waktu istirahat. Aden semakin tidak bisa berkonsentrasi.

~♡♡♡~

"Ndu..."

Pandu menghentikan perjalanannya yang sedang menelusuri koridor sekolah. Ia memutar tubuhnya 180 derajat, hingga berhadapan dengan sang pemanggil. Ia langsung memasang Ekspresi wajah marah, kala melihat Aden yang sedang berjalan mendekatinya, bersama Lukman.

"Aku mau ngomong sama kamu," ucap Aden saat ia sudah berada tepat di hadapan Pandu.

Pandu menenggelamkan kedua telapak tangannya ke kantung celana abu-abunya. Manik matanya sekilas melirik ke arah Lukman, lalu kembali fokus menatap wajah Aden. "Ada apa?" Ketus Pandu. Ia mencoba menahan emosinya, lantaran masih berada di tempat umum. Selain itu masih ada Lukman di dekat Aden, ia tidak mungkin mengumpat saat itu juga.

"Ada yang mau aku jelasin sama kamu, tapi nggak di sini." Jelas Aden.

"Gue nggak ada waktu, dan nggak ada yang perlu dijelasin lagi. Semua udah jelas kan?" Sinis Pandu.

"Kalo lagi ada masalah mending dibicarakan baik-baik Ndu, jangan marah-marahan kayak gini, nggak enak diliatnya." Serga Lukman memberi saran.

"Lu nggak tau apa-apa Luk, mending Lu diem... dan lu juga musti hati-hati sama dia," ketus Pandu sambil melirik ke arah Aden. "Jangan ketipu sama muka polosnya, dia itu busuk!"

Lukman terbungkam, kalau Pandu sudah bicara seperti itu, diam adalah pilihan yang tepat baginya.

"Tapi kamu salah paham Ndu, tolong kasih aku waktu buat jelasin semua." Ucap Aden memohon.

Kata-kata Aden membuat Pandu mendesis, ia menatap Aden dengan tatapan yang sinis. "Gue nggak budeg, gue juga nggak bego. Gue lihat, dan gue denger semua." Ketus Pandu, setelah itu ia memutar kembali tubuhnya, berniat meninggalkan Aden dan Lukman.

"Ndu..." Langkah Pandu terhenti lantaran Aden menahan dengan mencekal lengan Pandu sambil memutar tubuh Pandu, hingga membuat Pandu kembali berhadapan dengan Aden.

"LO ITU BUDEG YA?!" murka Pandu sambil dengan kasar menyingkirkan tangan Aden dari lengannya, dan otomatis membuat Aden tersentak. Tidak hanya Aden, Lukman dan beberapa siswa yang sedang berada di dekat mereka juga ikut terkejut.

Hal itu tentu saja mengundang perhatian siswa-siswa lainnya. Semua pasang mata jadi menatap heran ke arah Pandu dan juga Aden.

"Gue nggak ada waktu buat dengerin drama elu! Atau lu mau gue kasih tau ke mereka siapa lu yang sebenarnya?" Ancam Pandu dengan raut wajah yang sinis.

Menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya Aden hembuskan dengan perlahan. Aden terdiam, otaknya berpikir, sorot matanya lurus menatap Pandu yang sedang menatap tajam matanya. Aden maju satu langkah, memangkas jarak supaya bisa lebih dekat dengan Pandu, hingga jarak mereka kini tidak lebih dari dua jengkal.

"Terserah," ucap Aden dengan nada suara yang terdengar putus asa. "TERSERAH KALO ITU BISA BIKIN KAMU PUAS!!" Aden terpaksa harus menaikan nada suaranya lantaran ia sudah tidak punya pilihan lagi.

Dengan cara lembut sepertinya susah untuk menaklukan Pandu. Oleh sebab itu Aden mencoba menggunakan cara yang bar-bar. Mencoba mengimbangi Pandu. Dan teriakan Aden sukses membuat Pandu terbelalak, ia menjadi ragu jika yang sedang berada di depannya itu adalah Aden.

Lukman dan yang lain juga ikut bengong, tidak percaya dengan apa yang dilakukan sama Aden barusan. Suasana koridor sekolah mendadak ramai.

"AKU CUMA MAU NGOMONG SAMA KAMU, AKU MAU JELASIN SEMUANYA!!" Aden kembali berbicara dengan intonasi yang lebih keras. Punggungnya naik turun, dan napasnya mulai memburu. Aden juga terpaksa harus memasang wajah marah, karena ia sudah kehilangan cara, agar bisa membujuk Pandu.

Pandu masih bengong, matanya melebar sambil menelan ludahnya susah payah.

Ternyata benar ya? marahnya orang yang paling mengerikan, adalah marahnya orang pendiam. Orang pendiam kalau sudah marah ternyata bisa membungkam. Terbukti, anak-anak yang melihat Aden marah semuanya terdiam. Termasuk Pandu dan juga Lukman mereka sampai terbengong-bengong mendengar Aden berbicara sangat keras.

"Kalo kamu mau kita bahas di sini, yaudah aku omongin semuanya di sini biar semua tau! Aku nggak peduli, AKU CAPEK!!"

Aden cuma menggertak saja sih, ia cuma sudah tidak sabar pingin menjelaskan semuanya. Tapi kalau Pandu masih menolak diajak ngomong empat mata, Aden terpaksa membongkar semua di situ.

Hasilnya, gertakan Aden sukses membuat Pandu celingukan, wajahnya terlihat gugup saat melihat keadaan sudah semakin ramai. Pandu masih punya malu, ia tidak mungkin se nekat itu.

Tapi, Pandu tetap lah Pandu, sifatnya keras, ia tidak mau terlihat lemah di hadapan teman-temannya. Oleh sebab itu Pandu hanya bisa menghindari Aden dengan memutar tubuhnya lalu melenggang menjauh dari Aden.

Tentu saja Aden tidak akan membiarkan Pandu pergi begitu saja, semuanya sudah terlanjur, ia ingin semuanya selesai hari itu juga. Jadi, terpaksa Aden mencekal kembali lengan Pandu, lalu memutar tubuhnya hingga Pandun kembali berhadapan dengannya. Tenaga Aden sangat kuat, jadi pada saat Aden mencengkeram lengan Pandu, Pandu sempat meringis merasakan sakit.

"Aku mau ngomong," ucap Aden kembali sambil menyeret tubuh Pandu, membawanya pergi menjauh dari hadapan Lukman dan murid-murid yang lainnya.

Meski pendiam dan kalem, tapi tenaga Aden sangat kuat, maklum anak kampung biasa bekerja keras. Jadi Aden bisa dengan mudah menyeret Pandu supaya mengikuti nya.

"Gue bisa jalan sendiri, lepas." Ketus Pandu sambil mengibaskan  tangan Aden yang masih mencengkeramnya.

Lukman dan murid-murid yang lain hanya bisa bengong menatap punggung Pandu dan Aden yang sudah semakin menjauh.

"Kenapa mereka?" Tanya Aldo kepada Lukman yang baru saja sampai di dekat Lukman.

"Nggak tau gue," jawab Lukman.

Alex mendekatkan mulutnya di dekat telinga Aldo, kemudian ia membisikkan sesuatu di sana. "Biasa, urusan rumah tangga kali, udah jangan ikut campur."

Next chapter