webnovel

Arisan brondong

~selamat membaca~

Saat ini Aden sudah berada di sebuah cafe Amanda, tempat di mana tante Inggrid akan melakukan arisan. Ia sedang berdiri di tengah-tengah lingkaran. Sebuah lingkaran di mana adalah para wanita-wanita, tidak semuanya cantik, yang sedang duduk di kursi membentuk lingkaran itu.

Dan ternyata, dari sekian banyak orang yang membentuk lingkaran, tidak semuanya berjenis kelamin wanita. Ada juga beberapa orang pria yang juga mengikuti acara arisan berondong tersebut.

Aden berdiri mematung, manik matanya memandang satu demi satu orang-orang yang sedang mengelilinginya. Meski cahaya lampu remang-remang, tapi Aden bisa melihat wajah-wajah mereka yang sedang tersenyum penuh arti ke arahnya.

Sampai saat ini Aden masih belum mengerti, mengapa ia disuruh berdiri di tengah-tengah mereka.

Aden menelan ludahnya susah payah, tubuhnya merinding, dan wajahnya terlihat sangat tegang. Jantung Aden berdebar-debar tidak karuan. Rasanya ia ingin sekali keluar dari tempat itu, tapi bagaimana caranya?

Suasana ruangan terasa sangat tenang, meski banyak orang, tapi tidak ada suara yang keluar dari mulut mereka. Sebelum acara dimulai, para anggota arisan berondong selalu terlebih dahulu menyuruh obyek arisan brondong supaya berdiri di tengah-tengah mereka. Selain itu calon obyek arisan diharuskan melakukan tarian strapless sebelum arisan dibuka. Kemduian setelah diketahui siapa yang mendapat arisan, ia berhak membawa obyek arisan itu masuk ke dalam kamar private yang letaknya tidak jauh dari tempat itu. Setelah itu mereka bebas melakukan apapun, di sana.

Setelah beberapa saat suasana terasa hening, terdengar suara langkah kaki seorang wanita yang memakai sepatu hak tinggi, sedang berjalan mendekati Aden.

Tante Inggrid melipat kedua tangannya di perut, setelah ia berada tepat di hadapan Aden. Senyumnya mengembang, manik matanya mengamati wajah Aden yang terlihat sudah memucat.

Berada di tengah-tengah orang kaya dan tidak dikenal, juga membuat nyali Aden menciut.

"Jangan tegang, santai aja," ucap tante Inggrid dengan lembut. "Mereka nggak akan nyakitin kamu kok."

"Memangnya aku mau diapain tante?" Tanya Aden polos.

Tante Inggrid kembali menyunggingkan senyum, "nanti kamu juga bakalan tau kok. Kamu beruntung Aden, mereka semua suka sama kamu. Biasanya tidak cuma satu yang berdiri di tempat kamu, ada dua atau bahkan tiga. Tapi mereka nggak mau yang lain, mereka cuma pingin kamu, jadi nanti kamu bakal punya banyak duit dari mereka."

Aden mengerutkan kening, ia masih belum paham dengan penjelasan tante Inggrid yang panjang lebar. "Saya nggak ngerti tante," ucapnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Tante Inggrid tidak menjawab kebingungan Aden, kemudian ia melepaskan lipatan tangannya di perut, lalu pandangannya menebar ke arah teman-temannya yang sedang duduk membentuk lingkaran.

"Gimana barang bawaan saya?" Seru tante Inggrid.

Mendengar itu Aden langsung menatap tante Inggrid dengan tatap yang sulit diartikan. "Barang?"  Gumam Aden.

"Aduh say! Itu sih type aku banget, kamu bisa aja nemu barang model begitu!" Seru salah seorang anggota arisan berondong itu.

"Itu tinggal di permak, di make over dikit pasti sempurna deh." Seorang pria kemayu juga ikut berkomentar.

"Ah... nggak usah!" Serga sorang yang duduk di dekat pria kemayu itu. "Biarin begitu aja, lebih natural. Aku lebih suka yang seperti itu. Belum terkontaminasi bahan-bahan kimi. Lebih greget." Imbuh wanita itu sambil menggit bibir bawahnya.

"Dia diem aja udah seksi banget, gimana kalo goyang di atas ranjang, aaaaaahh..."

Berbagai macam komentar terus diberikan oleh para angota arisan brondong itu. Semua komentar yang keluar dari mulut mereka semuanya berbau mesum. Cara mereka menatap Aden juga seperti orang yang haus akan seks. Suara gelak tawa yang juga terkadang keluar dari mulut mereka, ikut menambah suasana menjadi sangat menyeramkan. Bagi Aden.

Mendengar itu tubuh Aden bergidig merinding, keringat dingin keluar dari pelipisnya. Dari situ Aden mulai menyadari bahwa dirinya sedang dalam situasi yang tidak baik.

Dengan raut wajah yang tegang Aden mengedarkan pandangannya di lokasi sekitar. Ingin kabur tapi ia di kelilingi oleh orang-orang yang siap menerkamnya. Selain itu di dekat pintu masuk ada dua orang algojo yang sedang menjaga tempat itu. Tubuh Aden terasa lemas, rasa cemas tergambar jelas di raut wajahnya.

"Teteh Aden mau pulang..." lirih Aden di hatinya.

"Eh... tapi ngomong-ngomong itu anak masih perjaka kan?!" Pertanya frontal tiba-tiba keluar dari seroang wanita yang berpenampilan paling seksi.

Kemudian tante Inggrid langsung menoleh ke arah Aden, "kamu udah pernah em el belum Den?" Tanya tante Inggrid tanpa basa-basi.

"Em el itu apa?" Tanya Aden gugup, masih dengan wajah yang tegang.

"Astaga! Itu anak enggak tau em el," serga salah seorang anggota arisan. "Aduh... polos banget sih, makin gemes deh, jadi pingin cepet-cepet praktek ama dia. Sekalian kan ngasih tau sama dia em el itu apa?"

Suara tawa terdengar kembali menggelegar, saat mereka mendengar kalimat itu.

Terlihat tante Inggrid berjalan mendekati Aden, "serius kamu nggak tahu em el? Making love?" Tanya tante Inggrid setelah berada di samping Aden.

Aden hanya mengelengkan kepalanya pelan.

Tante Inggrid membuang napas lembut, ia juga menggeleng-gelengkan kepala sambil berdecak heran. Jari telunjuknya mengaruk pelipisnya yang tidak gatal. Beberpa saat kemudian tante Inggrid mengambil HP di dalam tas jinjingnya, setelah itu ia mencari sesuatu yang ia simpan di dalam HPnya.

"Nih begini," ucap tante Inggrid sambil menunjukkan video porno di layar HPnya kepada Aden.

Aden langsung merundukan kepala saat melihat vidoe itu dengan suara desahan yang keras. Aden tidak ingin melihat, dan ia semakin takut dibuatnya.

Ekspresi Aden membuat tante Inggrid dan yang lainnya tersenyum, dan tertawa. Seolah itu adalah tontonan yang menarik bagi mereka.

"Udah deh kita mulai aja, sudah nggak sabar aku pingin liat dia nari cuma pake celana dalam." Usul salah seorang dari mereka.

Deg!!

Kata-kata itu membuat Aden terkejut, ia sontak melebarkan matanya menatap tajam ke arah tante Inggrid.

"Setuju!" Seru beberapa orang dari mereka.

Terlihat tante Inggrid menyunggingkan senyum manis ke arah Aden, ia melihat Aden sedang menggeleng-gelengkan kepala, tanda penolakan.

"Kamu udah siap Aden?" Tanya tante Inggrid.

"Saya nggak mau tante!" Tolak Aden dengan tegas. "Saya mau pulaaaang!" Imbuhnya berteriak.

Tante Inggrid melipat kedua tangannya di perut, matanya menyipit menatap Aden dengan tatapan yang mengancam.

"Kamu nggak mau kan? Dua penjega di depan itu bikin kamu jadi babak belur? Lakukan dan jangan bikin malu saya."

"Tapi saya nggak mau tante, saya mau pulang," tolak Aden kembali.

Penolakan Aden membuat para anggota arisan brondong saling bersitatap dan berbisik.

"Kamu harus mau! Tidak ada penolakan!" Ucap tante Inggrid.

"Tapi saya nggak bisa tante!" Kata Aden memohon.

Tante Inggrid mendengus kesal, kemudian ia melambaikan tangan memanggil dua penjaga yang sedang berdiri di dekat pintu.

Beberapa saat kemudian, seorang penjaga berbadan besar sudah berdiri tepat di samping Aden.

"Pukul dia kalo dia nggak mau," perintah tante Inggrid, sambil berjalan ke arah teman-temannya, kemudian ikut duduk di sana.

Setelah tante Inggrid duduk di antara anggota arisan brondong, keadaan ruangan menjadi gelap, karena lampu dimatikan oleh penjaga lain. Kemudian menyala cahaya lampu terang yang berbentuk bulat menyorot tepat di tubuh Aden. Sehingga hanya Aden saja yang dapat terlihat di ruangan itu.

Beberapa detik kemudian suara musik DJ mulai terdengar untuk mengiringi Aden yang akan melakukan tarian strapless.

Tidak ada lagi yang bersuara, dan tatapan mereka lurus menatap Aden. Mereka terlihat sangat tidak sabar melihat Aden yang menari hanya dengan memakai celana dalam saja.

Terlihat Aden menelan ludahnya susah payah, wajahnya berkerut, dan kakiknya gemetaran.

"Buka!" Seru salah serang wanita.

"Iya buka dong," yang lainpun mengikutinya.

Hingga akhirnya semua para anggota arisan brondong ikut menerikan kata yang sama.

Buka! Buka...! Buka! Buka...!

Aden menoleh pada seorang penjaga yang sedang berdiri di sampingnya. Tatapan matanya teduh, seperti mengharapkan pertolongan pada penjaga itu. Namun sayang, penjaga berbadan seperti algojo itu palah membulatkan matanya menatap Aden. Membuat nyali Aden semakin menciut.

Sementara suara orang-orang yang meneriakan kata 'buka' masih terus terdengar.

Kemudian dengan sangat terpaksa Aden mulai melepaskan kancing kemeja bagian atas.

"Huuuuu..." ada yang berteriak histeris saat Aden sudah melepas kancing bajunya.

Kemudian dengan kepala merunduk, secara perlahan Aden mulai membuka satu demi satu kancing baju, hingga akhirnya semuanya terlepas. Aden melepaskan bajunya lalu menjatuhkannya kelantai.

Terlihat bola mata Aden sudah mulai berkaca.

Namu tidak ada yang memperdulikan air mata Aden, justru mereka semakin terlihat bersemangat dan memberikan tepuk tangan kepada Aden.

"Celananya dong!" Seru salah satu dari mereka yang kemudian mendapat dukungan dari anggota arisan brindong, dan kembali berteriak.

"Buka...! Buka...! Buka...! Buka...!"

Karena merasa takut dan tertekan oleh ancaman penjaga, akhirnya Aden mengikuti perintah mereka . Aden melepaskan tali pinggangnya, kemudian menurunkan retsletingnya, lalu melepaskan celana jeansnya sampai di atas lutut.

"Oh my god!" Seru salah seroang wanita saat melihat gundukan besar Aden, yang masih terbungkus celana dalam berwarna putih.

"Egh..." ada yang mendesah sambil menjilat bibirnya.

"Ooowh!" Ada yang membulatkan mata sambil menutup mulutnya yang terbuka, ada juga yang tidak berhenti menelan ludah sambil mengusap leher, dengan mendongakan kepala.

Semuanya berdecak kagum melihat tubuh Aden yang terekspose sempurna. Gundukan di bagian selangkan yang besar, bagian bokong yang bulat dan naik ke atas, serta bagian paha dan betis yang berotot. Membuat mereka para pacundu brondong, tidak berhenti mendesah. Di tambah dengan warna kulit Aden yang eksotis, benar-benar membuat semuanya mengeleng-gelengkan kepala.

Aden hanya merunduk, bibirnya meringis menahan tangis supaya tidak memecah. Namun air matanya sudah mengalir membasahi pipi. Ini adalah pengalaman yang paling mengerikan bagi Aden.

Beberapa saat kemudian terlihat seroang wanita berdiri dari duduknya, kemudian ua memberi aba-aba untuk menghentikan suara musik. Wanita itu langsung menjadi pusat perhatian saat suara musik sudah berhenti.

"Aku punya usul," seru wanita itu. "Gimana kalo untuk arisan kali ini tidak ada kocokan?"

"Apa-apaan ini? Tidak bisa begitu dong!" Protes teman-temannya.

"Aku cuma mau kasih ide saja, untuk dia," ucap wanita itu sambil menunjuk Aden yang masih berdiri mematung dengan segala ketakutannya.

"--bagaimana kalo kita lelang saja? Yang berani kasih harga tinggi, malam ini ke perjakaan anak itu jadi miliknya." Lanjut wanita itu.

Terlihat para anggota arisan brondong mulai saling bersitatap dan berbisik.

"Setuju!" Sergah salah seorang dari mereka, sambil berdiri dari duduknya.

Terlihat tante Inggrid juga ikut berdiri, lalu mulai membuka suaranya. "Yaudah kalo gitu kita sepakat, tidak ada kocokan tapi kita lelang dia," ucapnya sambil menunjuk ke arah Aden.

Yang ditunjuk membulatkan mata, sambil menelan ludah yang sudah habis.

"Oke siapa yang mau buka harga pertama?!" Lanjut tante Inggird.

"Sepuluh juta!"

Tante Inggrid memutar bola matanya malas, seraya berkata. "Miskin sekali kamu, sepuluh juta buat aku ke salon masih kurang. Kamu tidak liat ukuran punya anak itu?"

"Lima belas juta."

"Dua puluh juta."

"Tiga puluh juta."

"Enam puluh juta..."

Beberapa saat kemudian, saat pelelangan sedang terjadi tiba-tiba mereka berhenti karena mendengar kegaduhan dari arah pintu.

"LEPASKAN SAYA, SAYA MAU MASUK!!"

Semua mata langsung tertuju pada sumber suara itu, dan mereka tampak terlihat heran dengan kehadiran orang tersebut.

Terlihat Aden langsung menarik kembali celana jeansnya yang sudah turun sampai di bawah lutut. Setelah itu ia buru-buru memakai kembali kemejanya sambil mengusap air matanya mengunakan punggung tangan.

"Maaf kan saya, wanita ini memaksa masuk kedalam," ucap seorang penjaga tersebut.

"Hem... Veronica, ngapain dia ke sini? Tau dari mana dia tau tempat ini?" Desis tante Inggrid sambil melipat kedua tangannya di perut.

"Biarkan dia masuk, dia temanku. Mungkin dia mau ikut bergabung bersama kami." Ucap tante Inggrid yang langsung dituruti oleh penjaga itu.

Ibu Veronica langsung berjalan cepat mendekati tante Inggrid. Dan semua mata tertuju ke arah ibu Veronica.

"Ah Veronica, kalo kamu mau ikut kenapa nggak kabarin aku saja?" Kata tante Inggrid setelah ibu Veronica sudah berada tepat di hadapannya.

Ibu Veronica hanya menanggapinya dengan senyum sinis. Kemudian ia membuka tas tangannya dan mengambil sesuatu dari dalam tasnya.

"Ini tujuh puluh lima juta buat ganti baju kamu itu," ucap Ibu Veronica sambil melempar amplop berwarna coklat yang berisi uang senilai tujuh puluh lima juta ke wajah tante Inggrid. "Urusanmu sama anak itu selesai, jadi biarkan dia pulang bersama saya."

Terlihat ibu Veronica berjalan mendekati Aden, setelah dekat dengan Aden, ia langsung menarik pergelangan Aden seraya berkata. "Ikut ibu pulang."

"Tunggu! Apa-apaan kamu ini Veronica?" Ucap tante Inggrid Sambil berjalan ke arah Aden dan ibu Veronica.

Ibu Veronica dan Aden memberhentikan langkahnya, dan menatap ke arah tante Inggrid yang sudah berdiri tepat di hadapan ibu Veronica.

"Apa-apaan bagaimana? Aku sudah kasih uang buat ganti baju kamu, tunggu apa lagi?"

"Aku tidak butuh uangmu, jangan ganggu kesenanganku." Ucap tante Ingrid dengan nada ketus.

"Aku tidak perduli!" Tegas ibu Veronica. Kemudian ia kembali berjalan sambil menarik tangan Aden. "Uang yang kamu minta sudah aku kasih, jadi Aden bebas dari kamu."

Aden hanya bisa diam dan mengikuti ibu Veronica. Wajahnya masih terlihat sangat tegang, dan bola matanya berkaca.

"Oh... jadi kamu mau pake anak itu sendirian? Aku nggak nyangka ternyata kamu haus juga ya. Apa karena suami mu lama pulang dari luar negeri, trus kamu kurang belaian? Kamu sadar Veronica dia itu temen anakmu, masak mau kamu pake juga!"

Kata-kata pedas dari tante Inggrid membuat ibu Veronica menghentikan perjalanannya. Lalu matanya melebar, dan menatap tajam tante Inggrid.

"Jangan samakan aku seperti kamu, tante girang!"

Mendengar ejekan ibu Veronica, tante Inggrid hanya tersenyum sinis sambil melipat tangannya di perut.

"Kamu enggak akan bisa bawa anak itu keluar dari sini, ohiya untung kamu temenku, kalo bukan anakmu yang ganteng itu bakal aku ajak kemari juga."

Tente Inggrid semakin membuat Ibu Veronica meradang, kemudian ia semakin mendekat ke tante Inggrid, lalu....

Plaaak!!! Tamparan keras dari ibu Veronica mendarat di pipi mulus tante Inggrid. "Mulai hari ini kamu bukan temanku!" Tegas ibu Veronica.

Terlihat pipi mulus tente Inggrid memerah, ia meringis kesakitan sambil memegangi pipinya yang perih. Kemudian ia menoleh kepada penjaga yang masih berdiri mematung, lalu berbicara dengan sangat keras. "Apa-apan ini kenapa diam saja! Usir perempuan ini, dan jangan biarkan anak ini dibawa dia."

"BERHENTI DI SITU!!" Teriak ibu Veronica yang membuat penjaga itu langsung berhenti. "Kalau sampai dalam lima menit aku dan anak ini enggak keluar dari tempat ini, polisi bakal menggrebek tempat ini. Muka-muka kalian bakal beredar di media, kalian mau?"

Ancaman ibu Veronica membuat semua menelan ludah karena takut. Lalu dengan terpaksa mereka membiarkan ibu Veronica keluar dari tempat maksiat itu, sambil menarik pergelangan Aden.

Terlihat Aden hanya pasrah mengikuti ibu Veronica sambil mengusap air matanya menggunakan punggung tangan.

~♡♡♡~

Aden dan ibu Veronica sudah berada di sebuah restoran. Sudah hampir dua jam mereka berada di tempat itu, sejak ibu Veronica berhasil membawa kabur Aden dari mangsa para orang-orang yang haus akan perjaka muda atau brondong.

Selama dua jam itu pula belum ada kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Ibu Veronica sengaja tidak banyak bertanya dulu, karena melihat keadaan Aden yang masih terlihat shock.

Ibu Veronica yang sedang di korsi sofa, menoleh ke arah Aden yag duduk di kursi berbeda di sampingnya. Terlihat ibu Veronica mengambil teh hangat yang baru saja ia pesan, karena pesanan pertamanya sudah habis ia minum. Setelah menyeruput teh hangatnya, ibu Veronica kembali meletakan gelasnya di atas meja, seraya berkata, "gimana apa kamu udah mendingan?" Tanya ibu Veronica setelah melihat keadaan Aden sudah lebih baik.

Aden hanya menganggukan kepala.

"Mau tambah lagi makanannya?"

Aden menggelengkan kepalanya pelan, karena makanan yang sudah tersaji tidak ia habiskan. Aden tidak nafsu makan.

"Jangan takut, di sini kamu aman. Ini restoran juga punya ibu." Ibu Veronica mencoba menenangkan Aden.

Terlihat Aden menatap teduh wajah ibu Veronica, kemudian bibirnya tersenyum simpul. "Kenapa ibu mau nolongin saya?"

"Karena kamu anak yang baik," jawab ibu Veronica yang membuat Aden kembali menerbitkan tersenyum.

"Kok ibu tau kalo saya ada di tempat itu?"

"Ibu nyuruh sopir Pandu buat ngawasin kamu. Maaf, sebenarnya ibu denger kamu waktu lagi ngobrol sama Inggrid lewat telfon, dari situ ibu sudah curiga. Makanya ibu nyuruh Parmin buat ngikutin kamu." Jelas ibu Veronica.

"Trima kasih ya bu," ucap Aden dengan suara yang datar.

Ibu Veronica membalasnya hanya dengan senyum keibuan.

Aden merundukan kepala, dan wajahnya kembali murung, "maafin saya udah mukul Pandu." Aden merasa jika ibu Veronica melihat kejadian saat Pandu menciumnya. Maka dari itu ia meminta maaf.

Terlihat ibu Veronica mengkerjap-kerjapkan mata karena ia sedang berusaha supaya bola matanya tidak berkaca. "Tidak apa-apa, ibu paham kok. Maafin Pandu ya udah berbuat kurang ajar sama kamu. Ibu juga minta maaf, tadinya ibu kira kamu mau manfaatkan Pandu. Tapi setelah ibu lihat dan ibu denger, ternyata ibu salah paham sama kamu."

Aden hanya tersenyum saja, entahlah aura keibuan Ibu Veronica membuat ia merasakan nyamanan. Sangat berbeda saat ia bersama tante Inggrid.

"Tapi Pandu baik-baik aja kan bu? apa Pandu udah balik kerumah?" Tanya Aden. Tiba-tiba saja ia cemas dengan keadaan Pandu.

"Pandu baik_" ibu Veronica menjedah kalimatnya untuk membuang napas lembut sebul akhirnya ia kembali berbicara. "Pandu juga udah di rumah."

"Syukur deh," akhirnya Aden bisa bernapas dengan lega. Senyum ceriapun terbit dari mulutnya. "Saya udah anggep Pandu sahabat."

"Iya... ibu tau."

"Ohiya, ibu jangan khawatir ya, saya mau pindah kok jualan ciloknya. Biar Pandu enggak liat saya lagi." Kata Aden polos.

Kata-kata Aden membuat ibu Veronica mengerutkan kening. Ia merasa heran di jaman se moderen ini kenapa masih ada remaja sepolos Aden.

"Aden... sebenarnya ibu mau ngomong sama kamu."

"Ngomong apa bu?"

Menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya ibu Veronica hembuskan secara perlahan. Kemudian ia meraih tangan Aden lalu mengsuap-usap punggung tangan Aden.

Perlakuan itu tentu saja membuat Aden bingung, hingga keningnya sampai berkerut. "Ibu mau ngomong apa?" Ulang Aden.

Ibu Veronica terdiam sambil berpikir, kemudian ia menatap Aden dengan tatapan yang teduh dan penuh harap. "Eum..." ibu Veronica masih nampak ragu ingin menyampaikan niatnya, membuat Aden semakin bingung dibuatnya.

"Bu...!" Tegur Aden. "Ibu mau ngomong apa?" Ulang Aden kembali.

Senyum keibuan terbit dari bibir ibu Veronica, sebelum akhirnya ia menjawab pertanyaan Aden. "Kamu mau ya jadi pacarnya Pandu."

"Hah?" Permintaan ibu Veronica membuat mata Aden melebar, dan mulutnya terbuka. Aden bengong dan diam seribua bahasa.

~♡♡♡~

Pandu baru saja sampai di dekat pintu gerbang bersama mobil Alphardnya. Sudah dua hari ini ia berangkat sekolah diantar oleh sopir pribadinya, kaadaannya kembali seperti sedia kala setelah ia sudah tidak tinggal satu kos lagi bersama Aden.

Sejujurnya Pandu lebih menikmati saat ia tinggal berdua bersama Aden. Hari-harinya seakan penuh warna, meski kepanasan karena naik motor, tapi justru ia terlihat sangat senang. Ternyata emang benar kalau cinta sudah melanda, gula jawa rasanya seperti cokelat. Naik motor butut berasa seperti naik jet pribadi.

Jika kemaren Pandu sempat kecewa karena tidak melihat Aden berjualan cilok seperti biasa. Hari ini ia sangat berharap semoga Aden akan kembali berjualan seperti biasanya. Karena dua hari tidak bertemu sama Aden, rasanya menyiksa banget. Meski Aden hanya menganggapnya teman, tapi dengan melihat wajah Aden itu bisa membuat ia kembali tersenyum.

Setelah membuka pintu mobil, pandangan Pandu langsung tertuju pada tempat di mana Aden biasa menjual ciloknya. Tapi sayang hari ini, ia harus kecewa lagi karena tidak melihat sosok Aden berada di sana.

Dengan rasa malas Pandu turun dari mobil, kemudian ia berjalan menuju pintu gerbang namun pandangannya tidak lepas dari tempat itu. Tempat Aden berjualan. Sesampainya di depan pintu gerbang, Pandu melamun, ia masih terus menatap tempat itu, dan mengingat masa-masa saat ia dan Aden berdua di sana. Rasanya sangat sesak sekali.

"Woi, nglamun..."

Suara Jonathan membuat Pandu tersentak. Ia menoleh ke arah Jonathan lalu memberikan senyum yang dipaksakan.

Jonathan mengalungkan tangannya di pundak Pandu, seraya berkata, "yuk ah masuk."

Akhirnya dengan rasa yang malas Pandupun berjalan memasuki pintu gerbang, dirangkul sama Jonathan. Tapi sebelum itu ia sempet menoleh dulu ke arah tempat di mana Aden suka berjualan.

Pandu dan Jonathan jalan beriringan menelusuri koridor menuju kelas mereka masing-masing.

"Eh tu anak-anak," ucap Jonathan saat ia melihat Aldo, Roby, Alex san ada Tristant di sana sedang berkumpul di depan kantin. Sepertinya mereka sudah berangkat lebih dulu. "Yuk kesana...!" Jonathan menarik tangan Pandu.

Meski sedang malas, tapi Pandu pasrah saja mengikuti Jonathan.

"Woe.. udah kumpul aja," Tegor Jonathan setelah sampai di dekat teman-temannya. Lalu Ia duduk di tempat duduk yang terbuat dari semen yang ada di depan kantin, diikuti Pandu juga duduk di sebelahnya.

Aldo headset yang menyumpal di sebelah kupingnya, lalu menoleh ke arah Pandu. "Lukman mana Ndu? Belum berangkat?" Ia cuma sedang ngetes Pandu apa masih marah sama Lukman atau tidak.

"Tanya gue!" Jawab Pandu ketus.

Fixs! Pandu masih marah, pikir Aldo.

Jonathan, Roby, dan Alex menoel lengan Aldo. Isyarat supaya jangan menyebut nama Lukman di depan Pandu.

"Sorry." Ucap Aldo berbisik.

"Eh bulan depan anak kelas 12 ngajakin tanding basket buat acara perpisahan," Alex mencoba mencairkan suasana yang sempat tegang.

"Berarti harus sering latihan dong," ucap Jonathan.

"Yaialah, lagian udah lama juga kita nggak main basket. Latihannya di rumah lu aja ya Ndu." Usul Roby.

"Terserah, tapi kalo ada Lukman gue nggak bisa." Kata Pandu ketus.

"Lha... kok gitu?" Ucap Aldo.

"Lu masih marah sama Lukman?" Pertanyaan Alex membuat mood Pandu kembali jelek.

"Kalo mau latihan di rumah gue nggak papa, tapi kalo Lukman masih gabung mending di tempat lain aja. Tapi gue nggak ikut. Keluar dari team basket." Tegas Pandu.

Keputusan Pandu membuat teman-temannya saling berpandangan dan menatap heran Pandu.

Sedangkan Tristant hanya menyimak saja obrolan mereka, ia juga masih kesal dan belum bisa memaafkan Lukman, setelah ia melihat Lukman bersama Aden.

"Harus gitu ya Ndu?" Tanya Jonathan.

"Itu keputusan gue! Terserah kalian suka apa enggak. Gue nggak keberatan kalo lu masih mau ngajakin Lukman. Tapi jangan paksa gue buat gabung lagi!" Tegas Pandu.

"Apa gue nggak pantes nerima maaf dari lu Ndu?"

Suara Lukman yang tiba-tiba langsung mengalihkan perhatian mereka. Dan kehadiran Lukman membuat mood Pandu menjadi semakin buruk. Entahlah, Pandu masih sangat malas melihat sosok Lukman.

"Sorry, gue ke kelas," Pandu beranjak dari duduknya, berjalan meninggalkan Lukman dan yang lainnya.

Sementara Lukman hanya mematung, sambil menatap punggung Pandu dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Eh kak, gue juga kelas." Tristant juga masih belum mau melihat Lukman. Oleh sebab itu ia mengikuti apa yang dilakukan Pandu. Menjauh dari Lukman dan yang lainnya.

Kepergian Tristant membuat  wajah Lukman menjadi berkerut, dan terlihat sangat memprihatinkan. Dan yang semakin membuat Lukman sedih, tiba-tiba ia juga melihat Aldo beranjak dari duduknya setelah Lukman menempelkan bokongnya di dekat Aldo.

"Anjir, Aldo lu ikut-ikutan kabur."  Teriak Jonathan.

"Sorry, gue mules mau ke toilet entar gue balik lagi."

"Huft." Akhirnya Lukman bisa menghembuskan napas lega. Soalnya ia mengira kalau Aldo ikut-ikutan mara kepadanya. Ternyata cuma karena pingin ke toilet. Lukman menatap satu-persatu Jonathan, Alex, dan Roby, yang masih duduk di tempatnya.

"Kalian nggak bisa bantu gue apa?"

Belum sempat Jonathan dan yang lain menjawab pertanyaan Lukman, tiba-tiba seroang remaja putri mendekati Lukman, sambul menarik pergelangan Lukman.

"Ikit gue, gue mau ngomong!" Ucap Salsa setelah ia berhasil membuat Lukman berdiri dan berhadapan dengannya.

"Sory, gue lagi sibuk," ketus Lukman sambil berusaha melepaskan tangan Salsa. "Ngomong di sini aja!"

"Lu yakin gue ngomong di sini ja?" Ucap Salsa.

"Hem," Lukman hanya bergumam.

"Oke, gue cuma mau kasih tau lu, gue pingin kita putus!!!" Salsa sudah jera sama sikap Lukman terhadapnya. Soalnya Lukman terlalu cuek, tidak pernah lagi perhatian padanya, dan membatalkan janji seenaknya.

Tapi anehnya, keputusan Salsa membuat hati Lukman menjadi tenang.

"Oh, yaudah," jawab Lukman santai.

Jawaban Lukman membuat Salsa terbongong, mulanya ia mengira kalau Lukman akan seperti biasanya, merayu dan merengek untuk meminta maaf. Tapi ternyata di luar dugaan.

"Apa? Gitu aja?" Tanya Salsa heran.

"Lu minta kita kita putus, yaudah putus. Apa lagi?" Jawab Lukman enteng.

"Lu tu bener-bener tai ya," Salsa berjalan merapat ke tubuh Lukman, kemudian...

Beg!!

Salsa menggunakan lututnya untuk menendang selangkangan Lukman, dan tepat pada sasarannya, mengenai alat kelelakian Lukman.

"Auww!" Lukman mengaduh, sambil memegangi alat vitalnya.

"Lu berengsek!" Umpat Salsa. Tidak puas sampai di situ lalu..

Plaak! Salsa menambahkan tamparan di pipi Lukman, sebelum ia berlalu meninggalkan Lukman yang masih meringis menahan sakit yang berlipat ganda.

Terliaht Jonathan, Roby, dan Alex juga ikut-ikutan meringis saat melihat Lukman. Mereka tahu seperti apa rasanya jika alat vital mereka mendapat tendangan yang keras. Belum lagi dengan tamparan yang pedas, membuat Jonathan, Roby, dan Alex merasa prihatin melihat Lukman.

~♡♡♡~

Jam pelajaran pertama dimulai sejak tiga puluh menit yang lalu. Semua keadaan ruang kelas di sekolah itu terlihat sangat tenang. Semua murid nampak sedang fokus mendengarkan guru yang sedang menjelaskan mata pelajaran. Mereka para murid juga masih terlihat segar dan semangat mengerjakan tugas. Masih pagi.

Pandu menoleh ke belakang, keningnya berkerut karena tidak melihat Lukman duduk di bangkunya. Padahal tadi jelas-jelas ia melihat Lukman. Tapi anehnya sejak bel masuk, hingga jam pelajaran dimulai, Lukman belum masuk ke kelas.

"Kemana tu anak?" Tanya Pandu kepada teman sebangku Lukman.

"Entah," jawab Fatur, teman sebangku Lukman.

Pandu menoleh lagi ke depan, dan menyimak guru penjelasan guru yang sedang menerangkan mata pelajaran pagi itu.

"SEMUANYA, GUE MINTA PERHATIAN!"

Suara yang berasal dari sound sitem kecil yang di pasang di tiap sudut ruang kelas, membuat guru menghentikan penjelasannya. Perhatian guru dan semua murid langsung tertuju pada sound sitem tersebut.

Sound sitem itu tidak hanya di pasang di kelas Pandu saja. Tapi semua kelas, baik sekolah SD, SMP, dan SMA. Sehingga suara itu bergema di semua reuang kelas yang ada di sekolah yayasan itu.

"Gue Lukman!"

Pandu mengerutkan kening saat mendengar nama Lukman.

Dan keadaan semua kelas menjadi hening.

"Gue cuma mau minta maaf, terutama sahabat gue Pandu, dan yang lain. Gue cuma mau mengakui semua kesalahan gue sama Pandu. Gue tau gue salah sama Pandu, tapi apa gue nggak boleh berubah dan memperbaiki semua kesalahan gue. Gue cuma nggak mau kehilangan temen. Gue nyesel. Plis kasih gue kesempatan buat berubah, jangan jauhin gue. Kalo Pandu nggak mau maafin gue, nggak papa. Tapi gue tetep mau berubah, dan nggak akan iri lagi_" Lukman menjedah kalimatnya, terdengar suara helaan napas dari mulutnya.

Dan secara perlahan, bibir Pandu mulai menyunggingkan senyum.

"-dan buat yang udah pernah gue saikitin, Salsa, Bella, Alexa, Seli, Faradaiba dan buat lu yang udah nemuin buku catetan gue," Lukman tidak mungkin menyebut nama Tristant. Tentu saja ia tidak ingin semuanya tahu tentang ia dan Tristant.

Dan Ttistant juga pasti mengerti, karena itu adalah privasi. Karena di kelasnya juga Tristant terlihat sudah mulai tersenyum simpul.

"-plis maafin gue, karena udah nyakitin elu. Dan sekali lagi buat elu yang udah nemu catetan gue, gue beneran sayang sama lu dan..." terdengar Lukman kembali menarik napas dalam-dalam lalu ia hembuskan secara perlahan.

"-dan I Love you," Lanjut Lukman mengakhiri kalimatnya.

Kalo sudah seperti itu, Ttistant sudah tidak bisa ber kata-kata lagi, wajahnya juga tetlihat berseri-seri, dan senyumnya mengembang.

Tidak ada pilihan lain buat Tristant, selain harus berkata, "love u too kak," ucapnya dalam hati.

Next chapter