webnovel

Salah paham

Malam itu Aden dan Pandu sudah berada di kantor manajemen agency model. Keduanya baru saja sampai di depan pintu ruangan milik Beni.

"Den lu tunggu aja di situ, biar gue yang ngomong sama om Beni." Kata Pandu, sambil menunjuk kursi tunggu yang ada di depan ruangan itu.

Aden mengangguk pelan, sambil berkata, "yaudah."

Beberapa saat kemudian Pandu mulai mengetuk pintu, sedangkan Aden mengikuti perintah Pandu. Duduk di kursi yang letaknya tidak jauh dari ruangan Beni.

"Masuk...!"

Setelah mendengar suara Beni dari dalam sana, Pandu langsung memegang handle pintu, lalu memutarnya sambil sedikit mendorong. Sebelum pintu terbuka lebar, Pandu melihat ke arah Aden yang sudah duduk santai di kursi. "Tunggu ya." Ucapnya.

Aden hanya mengangguk sambil tersenyum simpul. Kemudian Aden menyandarkan punggungnya di sandaran kursi setelah Pandu masuk, dan menutup kembali pintu ruangan Beni. Pandangan Aden menebar di sekitar tempat ia duduk. Wajahnya terlihat harap-harap cemas dan hatinya merasa sangat gelisah.

Yah, Aden benar-benar sangat gelisah, bagaimana tidak? Karena malam itu ia sedang menunggu Pandu yang akan berbicara kepada Beni agar memberikan uang sebesar lima puluh juta. Aden merasa ragu kalau Beni akan memberikan uangnya, karena Pandu sendiri belum  genap satu bulan bergabung ke dalam agency nya.

Sedangkan tante Inggrid sudah mulai menagih janji, karena batas waktu yang diberikan sudah lewat dari beberapa hari.

Tante inggrid juga harus mengundur waktu arisan brondongnya, karena menunggu keputusan dari Aden. Semantara para anggota arisan yang sudah melihat foto Aden, terus-terusan mendesak tante Inggird, supaya cepat-cepat membawa Aden ke hadapan mereka.

Aden membuang napas gusar sambil melipat kedua tangannya di perut, kepalanya ia sandarkan di tembok. Ia memejamkan mata, dan melamun.

Tidak jauh dari Aden duduk, ada beberapa orang wanita-wanita cantik yang sedang berbisik-bisik sambil melihat ke arah Aden. Kalau melihat penampilan para wanita itu, sepertinya mereka juga seorang model yang tergabung dalam manajemennya Beni.

"Eh... eh... lu liat deh, itu cowok yang sering sama Pandu kan?" Ucap salah seorang wanita itu.

"Iya Aden namanya, gue pernah ngobrol sama dia."

"Gue perhatiin tu cowok manis juga ya, lucu. Jadi pingin kenal gue."

"Eh tapi gue curiga deh, jangan-jangan Pandu ama tuh cowok ada sesuatu lagi."

"Sesuatu apaan?"

"Ih kaya nggak tau aja, cowok ama cowok kalo deketkan biasanya ada something. Apalagi mereka lengket banget tuh, kaya perangko, kemana-mana berdua."

"Gue nggak percaya! Liat aja, mereka kan nggak ada tanda-tanda belok."

"Ye... sok tau, emang tanda-tanda cowok belok itu kayak gimana?"

Salah seorang wanita mendekatkan mulutnya di telinga teman yang bertanya barusan. "Kayak om Beni," bisik wanita itu.

Ha... ha... ha...

Suara tawa terdengar menggelegar saat salah seorang dari mereka menyebutkan nama Beni.

Kemudian salah satu dari mereka menghentikan tawanya, lalu tatapan matanya teduh memandang Aden yang masih menyandarkan kepalanya di tembok sambil memejamkan mata. "Tapi dia cowok banget kok, ganteng lagi. Nggak mungkin dia kayak om Beni." Ucapnya.

"Ganteng sih ganteng, tapi kalo pasangannya ganteng juga, sama aja."

"Iya jaman sekarang kan gitu, susah cari cowok ganteng yang tulen. Kadang sedih gue, masak sih harus saingan sama cowok buat dapetin cowok juga."

Teman-teman yang lain menatap iba kepada wanita yang baru saja mengatakan itu. Miris sekali rasanya.

"Tapi gue nggak yakin kalo dia begitu, kali aja dia salah satu spesies cowok ganteng tulen yang masih tersisa dunia ini. Gue mau deketin ah, kesempatan langka, soalnya cowok ganteng tapi tulen kan udah hampir punah sekarang." Ucapnya. Kemudian wanita yang dari tadi memandang Aden berdiri dari duduknya, lalu berjalan melenggang ke arah Aden.

"Gue ikut.." ucap salah satu dari wanita itu, dan ikut menyusul temennya.

Beberapa saat kemudian ke tiga wanita yang lainnya pun ikut menyusul kedua temannya yang sudah lebih dulu berjalan mendekat ke arah Aden.

Sementara itu, di dalam ruangan, Pandu sudah duduk di kursi, berhadapan dengan Beni. Ada meja besar melengkung, berbentuk huruf 'U' yang menghalangi mereka.

"Tumben kamu sendirian Ndu?" Tanya Beni setelah beberapa saat mereka terdiam, karena Beni baru saja menyelesaikan pekerjaannya. "Temen kamu yang manis itu mana?"

"Aden?" Pandu menegaskan kata manis yang dimaksud Beni itu adalah 'Aden'.

"Iya siapa lagi? kan cuma dia yang sering sama kamu." Ujar Beni.

"Ada tuh di depan. Nggak mau masuk katanya." Jawab Pandu berbohong. Soalnyakan Pandu yang menyuruh Aden supaya menunggu di depan. Pandu suka malas kalau melihat Beni sedang curi-curi pandang sama Aden.

"Oh.." jawab Beni singkat.

"Trus gimna om yang tadi aku WA." Ucap Pandu berusaha mengalihkan pembicaraan. Ia ingin langsung ke inti.

Beni membuang napas berat, kemudian ia menarik laci mejanya dan mengambil amplop berwarna coklat. "Ini aku bisa kasih chas 20jt, sebenarnya perusahaan yang mengontrak kamu belum menyelesaikan pembayaran. harusnya aku belum bisa kasih ke kamu Ndu." Beni meletakan amplop berisi uang itu tepat di hadapan Pandu.

Pandu menatap amplop itu, wajahnya terlihat kecewa karena nominal uang itu tidak sesuai dengan keinginannya.

"Trus sisahnya? Aku kan mau pinjem om. Tenang aja aku nggak bakal kabur. Lagian aku juga udah taken kontrak kan?"

Menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya Beni hembuskan secara perlahan. "Pandu... Pandu... baru kali ini aku nemu model kayak kamu. Belum juga satu bulan gabung, tapi udah minta honor lebih." Keluh Beni.

"Plis lah om... bantu aku." Ucap Pandu memohon.

"Emang buat apa sih uang sebanyak itu?" Tanya Beni.

"Pokoknya aku butuh banget om." Ujar Pandu tanpa memberitahu alasannya.

Beni diam sambil berpikir, kemudian ia membuang napas kasar sebelum akhirnya memutuskan. "Yaudah besok lusa om transfer deh, nggak ada uang chas kalo sebanyak itu."

Akhirnya Pandu bisa bernapas dengan lega, ternyata tidak sesulit yang Pandu bayangkan. Terlihat bibirnya langsung mengembangkan senyum kebahagiaan.

"Trimakasih om." Ucap Pandu girang.

"Hem..." gumam Beni.

"Ini karena kamu temennya Alex ya." Imbuh Beni berujar.

"Iya deh om, kalo gitu aku pamit ya." Pandu mengambil amplop berisi uang, lalu memasukannya kedalam saku di balik jaketnya.

"Eh... Ndu!" Panggil Beni.

"Ya... om?" Ucap Pandu saat ia baru saja berdiri dari duduknya.

"Kali-kali mainlah ke rumah om, ajak temen kamu itu si Aden." Ucap Beni.

Pandu terdiam, ia menatap Beni dengan tatapan penuh selidik. Beberapa saat kemudian bibirnya tersenyum, namun senyum yang dipaksakan. "Ya... kapan-kapan aku main, thank's ya om."

Pandu berlalu dari hadapan Beni sambil memutar bola matanya malas. Pandu dapat melihat ada tampang predator pada raut wajah laki-laki berusia tiga puluhan itu.

Sementara Beni hanya menyunggingkan senyum penuh arti, sambil memandang punggung Pandu yang sedang membuka pintu ruangannya.

~♡♡♡~

Setelah berada di luar ruangan, Pandu menutup pintu sambil matanya tidak berkedip saat mendapati Aden yang sedang dikerumuni wanita-wanita cantik.

Kekesalan Pandu makin bertambah, setelah menangkap aroma tidak mengenakan dari Beni karena terlihat seperti menyukai Aden. Dan kali ini ia harus melihat senyum Aden ditebarkan kepada wanita-wanita cantik yang sedang menggoda Aden. Selain itu ke kekecewaannya sama Lukman juga belum hilang, teman yang ia anggap paling deket namun ternyata mempunyai tujuan yang tidak bagus padanya.

Lengkap sudah rasa kekesalan Pandu hari itu.

Wajah Pandu bertambah masam, hatinya tidak bisa berbohong kalau ia benar-benar cemburu melihat teman-teman sesama model sedang menempel di tubuh Aden.

Ada yang pegang-pegang paha, ada yang meletakan tangan di pundak Aden, bahkan ada yang berani mencolek hidung mancung Aden.

Melihat itu, hati Pandu benar-benar terbakar. Kemudian dengan wajah yang ditekuk, Pandu melipat tangannya di dada sambil menyandarkan punggung di tembok dekat pintu. Ia sengaja tidak menegur Aden. Malas sekali rasanya mendekati Aden yang dari tadi senyum-senyum tidak jelas menanggapi teman-teman sesama modelnya.

Sedangkan Aden hanya manusia biasa, wajar kalau ia menjadi gede rasa dikerumuni wanita-wanita cantik. Lagipula Aden menanggapi mereka hanya dengan senyuman saja. Aden juga tidak tahu kalau ternyata ada yang sedang dibakar api cemburu karena hal itu.

Beberapa saat kemudian Aden menoleh ke arah Pandu. Ia baru sadar kalau ternyata Pandu sudah keluar dari ruangan Beni. Entah sejak kapan Aden tidak tahu.

Senyum Aden yang mengembang ia berikan kepada Pandu seraya berkata. "Eh... Ndu kamu udah selesai?"

Secara reflek wanita-wanita yang sedang menggoda Aden ikut menoleh ke arah Pandu.

"Hai Ndu... temen lu jomblo kan? Buat gue dong. Habis lu nya cuek banget sih ama gue." Ucap salah seorang wanita itu. Namun pandu sama sekali tidak merespon, justru Pandu semakin kesal dibuatnya.

Pandu melepaskan lipatan tangannya, wajahnya masih ditekuk. "Udah," jawabnya malas. "Yuk ah..." ajaknya sambil berlalu tanpa memperdulikan teman-teman wanitanya.

"Sorry ya aku pamit duluan..." pamit Aden kepada para wanita itu. Kemudian ia bangkit dari duduknya untuk mengejar Pandu yang sudah berjalan lebih dulu.

"Gila dingin banget sih Pandu," komentar salah satu wanita itu sambil menatap punggung Pandu dan Aden yang sudah semakin jauh.

"Jangan-jangan tebakan gue bener lagi, kalo mereka ada something."

Kata-kata itu membuat wajah mereka yang baru saja menggoda Aden berubah menjadi berkerut. Wajah mereka terlihat sangat memprihatinkan. Miris.

Aden mempercepat langkahnya, berusaha mengimbangi langkah Pandu supaya bisa berjalan beriringan.

"Gimana om Beni?" Tanya Aden setelah ia berada di samping Pandu.

"Udah," ketus Pandu.

Bibir Aden menyunggingkan senyum sambil membuang napas lembut, "oh... syukur deh." Ucapnya. Hembusan napas lega keluar dari mulutnya. Ternyata tidak seperti yang Aden khawatirkan, justru terasa sangat mudah sekali.

Dalam perjalanan menuju parkiran, manik mata Aden melirik ka arah Pandu. Senyum Aden langsung memudar saat ia melihat wajah Pandu yang sedang tidak bersahabat, dan tidak ada senyum sama sekali tersungging di bibir Pandu.

Wajah Aden berubah datar, keningnya berkerut, dan perasaannya tiba-tiba berubah menjadi tidak nyaman.

"Pandu kenapa?" Bisik Aden.

~♡♡♡~

Pagi-pagi sekali Aden sudah berada di tempat biasa, tempat dimana ia menjual ciloknya. Meski ada perasaan lega karena akhirnya ia akan bisa mengganti rugi baju tante Inggrid, namun ada rasa gelisah di hatinya karena perubahan sikap Pandu tadi malam. Sampai saat ini Aden masih belum mengerti apa yang membuat Pandu bersikap seperti demikian.

Sejak pulang dari kantor Beni, dan selama perjalanan pulang ke kosan, Pandu hanya diam. Karena tidak ingin membuat Pandu bertambah kesal, sehingga Aden lebih memilih diam dan tidak banyak bicara.

Setelah selesai mempersiapkan ciloknya, Aden duduk di kursi plastik nya sambil menunggu pembeli. Kalau biasanya Aden kembali lagi ke kosan untuk menjemput Pandu, tapi kali ini ia tidak seperti biasanya, karena Pandu ingin berangkat ke sekolah menggunakan ojek online.

Berulangkali Aden menghela napas untuk melegakan hatinya, wajahnya juga terlihat murung, dan pikirannya melayang memikirkan Pandu. Setelah beberapa saat terdiam, terlihat Aden merogoh kantong celana jeans untuk mengambil HP. Setelah HP ia keluarkan, terlihat jari-jari Aden sedang mengetik sebuah pesan untuk Pandu.

Ndu..kok km diem aj.

Km knp sh? Klo aq pnya slh, tlong ksh tau aq y. Soalnya klo km diem kek gni aqnya jd bngung. Tlong km kash tau kslahn aq biar aq bsa bnrein. Skli lg aq mnta mf klo aq pny slah.

Setelah selesai mengetik dan mengirim pesan untuk Pandu, Aden memasukan kembali HPnya sambil menarik napas panjang.

Aden menebarkan pandangan di sekitaran. Masih sepi. Karena Aden memang berangkat lebih awal dari biasanya. Tapi sebelum berangkat Aden tidak pernah lupa menyiapkan segala keperluan Pandu. Seragam yang sudah disetrika, sepatu dan tidak lupa dengan sarapannya.

Beberapa menit berlalu, anak-anak berseragam identitas sekolah itu sudah mulai berdatangan. Aden juga mulai sibuk melayani anak-anak sekolah yang membeli ciloknya.

"Den."

Suara seroang remaja putra menghentikan sejenak aktivitas Aden yang sedang melayani pembeli. Aden mengangkat kepala dan melihat si pemilik suara yang sudah berdiri di depannya. Di dekat gerobak ciloknya.

"Eh Lukman," balas Aden menyapa.

"Lu sibuk ya?"

"Biasa," jawab Aden santai. "Emangnya ada apa?"

"Ada yang pingin gue omongin, gue boleh minta waktu lu bentar nggak?" Kata Lukman.

Wajah Aden datar menatap menatap Lukman, ia diam dan sambil berpikir sejenak. "Bentar ya abis ini," ucap Aden sambil menunjukan kesibukannya kepada Lukman. "Kamu duduk aja dulu di situ." Imbuhnya sambil menunjuk kursi plastik miliknya.

Lukman tersenyum, memamerkan deretan giginya yang rapih. "Thank's ya," ucapnya, lalu ia berjalan mendekati kursi yang ditunjuk sama Aden, kemudian menempelkan pantatnya di sana.

Sedangkan Aden hanya tersenyum sambil melanjutkan aktivitasnya.

~♡♡♡~

Pandu sedang dalam perjalanan berangkat menuju ke sekolah dengan mengunakan jasa ojek online. Terlihat tangannya merogoh saku seragam sekolah untuk mengambil HP karena ada bunyi pesan masuk.

Setelah menyalakan HP, ia melihat di layar HPnya yang ternyata pesan itu dari Aden. Dalam hitungan detik, Pandu langsung membuka pesan itu.

Satu pesan dari Mamang Cilok.

Ndu..kok km diem aj.

Km knp sh? Klo aq pnya slh, tlong ksh tau aq y. Soalnya klo km diem kek gni aqnya jd bngung. Tlong km kash tau kslahn aq biar aq bsa bnrein. Skli lg aq mnta mf klo aq pny slah.

Pandu terdiam, ia tertegun membaca pesan yang dikirimkan dari Aden. Berulangkali Pandu membaca ulang untuk mencermati isi pesan itu. Kemudian Pandu menarik napas panjang sambil memasukan kembali HPnya kedalam saku seragamnya.

Pandu sengaja tidak membalas pesan dari Aden. Bukannya Pandu masih kesal sama Aden, Pandu cuma ingin berbicara langsung dengan Aden. Toh sebentar lagi mereka juga akan bertemu di sekolah, jadi sekalian Pandu juga ingin meminta maaf kepada Aden.

Setelah membaca pesan dari Aden, Pandu jadi merasa bersalah. Karena dari kata-kata Aden terlihat jelas kalau Aden sedang kepikiran karena sikapnya. Pandu juga jadi bisa berpikir jernih, kalau sebenarnya Aden sama sekali tidak bersalah, Aden biasa saja, dan bersikap sewajarnya. Semua itu hanya karena rasa cemburunya yang terlalu berlebihan.

Lagipula Pandu juga belum memberi tahu perasaannya yang sebenarnya kepada Aden, sehingga Pandu merasa jika sikapnya itu terlalu berlebihan. Pandu merutuki dirinya sendiri karena sudah membuat mamang cilok kesayangannya menjadi kepikiran.

Sepanjang perjalanan menuju ke sekolah Pandu tersenyum simpul, karena sudah bisa berpikir jernih.

"Sorry ya Den," gumam Pandu. "Gue juga pingin lu tau perasaan gue sebenarnya, gue pingin lu tau gimana gue."

Menurut Pandu hari ini juga waktu yang tepat untuk memberitahu kepada Aden tentang perasaannya. Pertama, karena urusannya dengan tante Inggrid sudah hampir selesai, kedua Pandu tidak ingin terlalu lama memendam perasaannya. Ia ingin semua jelas, tidak perduli bagaimana reaksi Aden nantinya.

Pandu hanya ingin kembali ke prinsipnya, jika cinta memang harus diperjuangkan. Tidak perduli meski jatuh pada orang yang salah, karena cinta tidak pernah salah.

~♡♡♡~

Setelah selesai melayani pembeli, Aden berjalan santai mendekati Lukman yang sedang duduk di kursinya. Kemudian Aden menjatuhkan pantatnya di atas rumput di dekat Lukman.

Terlihat Lukman berdiri dari duduknya, lalu ikut duduk di atas rumput, di samping Aden.

"Udah di kursi aja, ngapain ikut duduk di tanah," ucap Aden.

"Nggak papa, kalo gini kan gue enak ngomongnya." Ujar Lukman.

Aden mengangguk-anggukan kepala, "kamu mau ngomong apa?" Tanya Aden sambil menoleh ke arah Lukman.

Tatapan Lukman menatap lurus kedepan, wajahnya terlihat sangat kusut seperti sedang banyak pikiran. Kemudian ia memutar kepalanya 90 derajat ke arah Aden. "Gue mau minta maaf sama elu." Ucapnya.

"Hah!?" Aden tersentak. "Maaf?" Keningnya terlihat bergelombang karena merasa heran. Karena menurutnya Lukman sama sekali tidak pernah berbuat salah padanya.

Tapi tidak dengan Lukman, meski ia belum melakukan apa-apa kepada Aden, tapi ia pernah memasukan nama Aden kedalam buku catatan korban tikungnya. Bahkan ia pernah berencana untuk menyekolahkan Aden hanya ingin nantinya Aden bisa dekat dengannya, supaya apapun yang disukai atau yang menyukai Pandu bisa ia miliki. Namun kali ini Lukman benar-benar ingin memperbaiki semua kesalahannya, di mulai dari Aden.

"Kamu kan nggak punya salah," lanjut Aden. "Kenapa minta maaf?" Aden semakin heran dibuatnya.

Lukman menarik napas dalam-dalam, lalu ia hembuskan secara kasar. "Intinya gue mau minta maaf. Punya salah apa enggak gue sama elu, pokoknya gue minta maaf."

Lukman sengaja tidak memberitahu alsannya, menurutnya tidak semuanya harus dijelaskan dengan detail. Yang terpenting baginya ia tulus meminta maaf. Lagipula niatnya belum sempat ia lakukan.

"Gimana? Lu mau kan maafin gue?" Ucap Lukman. Wajahnya terlihat memohon.

Tingkah Lukman tentu saja membuat Aden bingung, ia diam seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Gimana?" Ulang Lukman yang membuat Aden sedikit tersentak.

"Ya.. aku bingung, kamu kan nggak punya salah. Tapi kalo kamu minta maaf ya.. aku maafin." Ucap Aden masih dengan wajah yang terlihat bingung.

"Huuft," akhirnya Lukman bisa membuang napas lega. "Thank's ya..." ucapnya kemudian ia mengembangkan senyum.

Aden hanya menganggukkan kepala sambil memandang heran Lukman.

"Ohiya lu masih jadi temen gue kan?"

Pertanyaan Lukman lagi-lagi semakin membuat Aden bingung. Ia sama sekali tidak tahu apa maksud dari remaja berseragam SMA ini. Tiba-tiba saja Aden ingat pesan Pandu yang melarangnya agar tidak dekat-dekat dengan Lukman. Aden menjadi bimbang, sebenarnya apa yang sedang terjadi.

"Lu mau kan jadi temen gue?" Ulang Lukman.

Aden masih diam, ia benar-benar bingung. Tapi karena melihat Lukman yang begitu tulus, akhirnya Aden pun memutuskan. "Iya mau, aku juga seneng jadi temen kamu."

Untuk kedua kalinya Lukman menghela napas lega, dan senyumnya makin terlihat mengembang. Kemudian tangan kiri Lukman memegang pergelangan Aden, sedangkan tangan kanannya mengalung di pundak Aden.

"Makasih ya, gue seneng banget." Ucap Lukman.

Terlihat Aden mulai menerbitkan senyum untuk Lukman, lalu ia juga mengikuti Lukman, mengalungkan tangannya di pundak Lukman.

Senyum persahabatan terbit dari mulut Aden dan Lukman. Keduanya terlihat sangat akrab dan saling melemparkan senyum ciri khasnya masing-masing.

Berbeda dengan Tristant yang secara tidak sengaja melihat adegan saling rangkul dan senyum yang dilakukan oleh Aden dengan Lukman. Melihat itu kebencian Tristant kepada Lukman semakin bertambah. Apalagi ia juga pernah membaca ada nama mamang cilok yang ditulis di buku catatan korban milik Lukman.

Karena itu Tristant menjadi yakin kalau Lukman memang tidak pantas disebut teman. Semua kata-kata Lukman yang pernah ia dengar ternyata hanya modus belaka.

"Dasar TAI lu, busuk!" Umpat Tristant sambil berjalan masuk ke halaman sekolah.

Yang dirasakan Tristant sama persis dengan yang dirasakan oleh Pandu. Bahakan lebih. Setelah turun dari ojek motor, senyum Pandu memudar, sorot matanya tajam, lurus memandang Lukman dan Aden yang sedang saling rangkul. Melihat itu darah Pandu mendidih dan emosinya meluap-luap.

Pandu megertukan giginya hingga rahangnya mengeras. Telapak tangannya mengepal, dan ia menatap Lukman dengan tatapan yang membunuh.

"Brengsek lu, Anjing!" Umpat Pandu sambil berjalan cepat mendekati Lukman dan Aden.

Next chapter