Sudah larut malam, Kardiman baru kembali ke rumahnya uwa Karmi. Karena semua pintu keluar sudah dikunci. Kardiman menggedor jendela kamar yang di pake tidur oleh Cempaka dan Kardiman.
Waktu itu jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah dua dini hari. Di mana orang lagi enak-enaknya tidur dengan lelap, di buai mimpinya masing-masing. Bersembunyi dari hembusan angin malam yang dingin, di balik selimut tebalnya.
Tapi tidak dengan Kardiman, dia baru pulang habis kelayapan bersama teman-temannya, menghamburkan uang hasil memperdaya istrinya sendiri.
Begitu pula dengan Cempaka, diapun sama belum memejamkan bola matanya. Dia kepikiran terus dengan perkataan Kardiman pagi tadi waktu di tempat kerjanya.
Karena hatinya lagi kesal, dia pura-pura tidak mendengar gedoran pada jendela kamarnya. Dia pura-pura memejamkan matanya, tidur.
"Gedubrak!" suara sesuatu yang di paksa di dobrak.
Ternyata Kardiman mendobrak jendela
kamarnya secara paksa, hingga slot yang menguncinya terlepas.
Cempaka diam saja, pura-pura tidak mendengarnya.
Sedikitpun Cempaka tidak menduganya,
tangannya Kardiman dengan sangat kasarnya menjambak rambutnya Cempaka. Yang kebetulan kepalanya berada tepat di bawah jendela kamarnya.
" Heeh!..., bangun! Bukain pintu! Tidur kayak kebo" ujarnya kasar.
"Astaghfirulahaladziiim..., kok! Kasar gitu sih? Kenapa baru pulang? Sudah jangan pulang sekalian! Ganggu orang tidur saja" Cempaka tak kalah sewotnya. Dia hanya bergeser tidurnya,
dia tidak beranjak dari tempatnya.
u
"Cempakaaaa!... Bangun!" Teriak Kardiman lagi! Tangannya meraba-raba mencari-cari tubuhnya Cempaka yang telah pindah posisi tidurnya.
Teriakkan Kardiman membangunkan tidurnya uwa Karmi, membuyarkan mimpi indahnya.
"Astaghfirulahaladziiim..., Kardiman! Suaranya Kardiman, dia baru pulang dini hari begini! Ya Allah..., itu anak enggak ada sopan santunnya sama sekali, tidak bisa berubah kelakuannya. Dasar!..., belum pernah saya hajar tuh anak!" Uwa Karmi yang pensiunan kowad itu, menyibakkan selimutnya.
Dia turun dari tempat tidurnya, dan bergegas keluar dari kamarnya. Dia segera membuka pintu samping yang berdekatan dengan jendela kamarnya Cempaka.
Dia segera keluar dan menghampiri Kardiman yang tengah teriak-teriak membangunkan Cempaka yang pura-pura sedang tidur nyenyak.
"Heh!... Jam segini baru pulang! Gangguin orang tidur saja!" Uwa Karmi menjewer telinganya Kardiman.
"Uwa!... Uwa!..., lepasin uwa, sakit!" teriaknya kesakitan.
Cempaka tersenyum kegirangan mendengar Kardiman menjerit kesakitan.
"Pantas saja Cempaka tidak mau bukain pintu buat kamu! Pulang dini hari, mulut bau alkohol. Kamu jangan masuk ke dalam rumahku!... Malam ini kamu tidur di sini saja!" Uwa Karmi menarik telinganya Kardiman ke halaman belakang. Di sana ada bale-bale yang suka di pakai buat istirahat oleh uwa Karmi.
Setelah menyeret Kardiman ke halaman belakang, dia segera menutup pintunya dan menguncinya.
"Uwa!... Uwa!... Bukain pintunya. Masa saya tidur di luar, banyak nyamuk uwa. Neng! Bukain pintunya!" Kardiman berteriak-teriak di halaman belakang.
"Neng! Biarin saja jangan di bukain pintunya. Biar dia tahu rasa! Kebiasaan
jelek dari dulu enggak berubah-ubah. Ayo neng, kita tidur lagi." Uwa Karmi melarang Cempaka membukakan pintu belakang.
"Oke Uwaa..., terimakasih sudah belain aku." Ucap Cempaka dengan wajah berbinar. Dia lalu masuk kembali ke dalam kamarnya, dia tak peduli dengan teriakkannya Kardiman yang memanggil-manggil namanya dari halaman belakang rumah.
"Rasain Kardiman!... Sepertinya kamu ini enggak ada kapok-kapoknya sama sekali!" Ujar Uwa Karmi sambil masuk lagi ke dalam kamarnya, dia menarik
selimutnya dan melanjutkan tidurnya kembali. Dia tidak memperdulikan Kardiman sama sekali.
"Aduuuh! Sial! Sial! Malam ini harus tidur di luar" Kardiman ngedumel terus.
Akhirnya dengan berat hati dia rebahkan tubuhnya di atas bale-bale itu, tanpa kasur dan selimut.
Dia terpaksa tidur di kerubuti nyamuk.
Keesokkan harinya, sebelum Adzan subuh berkumandang. Uwa Karmi sudah membangunkan Kardiman.
"Bangun! Kardiman bangun!" Teriaknya.
Sudah biasa, uwa Karmi dan Cempaka suka bangun sebelum adzan subuh berkumandang di Masjid.
Kardiman nampak lelap tidurnya, tidak sedikitpun bergeming, apalagi terbangun.
"Kardiman, bangun!" Uwa Karmi menyiramkan segayung air ke wajahnya Kardiman, sampai wajahnya basah kuyup.
"Aduuuh!..., apa ini?" Kardiman terbangun dan terperanjat kaget. Dia meronta dan menepis air yang mengguyur wajahnya.
"Uwa? Apa-apaan ini uwa?" Teriak Kardiman sambil menepis- nepiskan air yang masih tersisa di wajahnya.
"Makanya, biasakan bangun pagi! Sana! Mandi dulu! Setelah mandi berangkat ke Masjid! Biar otak kamu encer, tidak di bekukan lagi oleh alkohol" Bentak uwa Karmi, memecah kesunyian subuh hari.
"Sudah di kasih istri yang baik, masiiih saja begitu kelakuannya. Heran! Kapan otaknya itu normal? Kasihan Cempaka, dia telah terpedaya" Gumamnya.
Uwa Karmi tidak menyadari kalau Cempaka tengah berada di dapur, dia sedang memasak air buat ngisi termos.
"Haah! Alkohol? Berarti... Kardiman itu suka minuman beralkohol! Dan..., aku sudah terpedaya. Apa maksudnya ya dengan kata-kata itu?" Cempaka membathin.
"Uwa, boleh aku bertanya?" seru Cempaka dari pintu dapur.
"Tentang apa neng?" Uwa Karmi sedikit terperanjat, dia merasa kalau semua perkataannya tadi pasti sudah di dengar oleh Cempaka.
Uwa Karmi lalu menghampiri Cempaka, dan duduk di bale-bale yang semalam di pake tidur oleh Kardiman.
"Ada apa neng?" Uwa Karmi pura-pura tidak mengerti dengan apa yang akan di tanyakan oleh Cempaka.
"Tadi uwa terdengar mengatakan alkohol dan bahwa aku ini sudah terpedaya. Itu, apa maksudnya uwa?"
Cempaka harap-harap cemas dengan jawabannya.
"Oooh itu, nanti juga kamu tahu sendiri. Sudah ah, kita bicarakan nanti saja ya! Tuh! Kardiman sudah keluar dari kamar mandi, ayo siapkan perlengkapan buat shalat berjamaahnya." uwa Karmi malah menyuruh Cempaka untuk menyiapkan perlengkapannya Kardiman untuk pergi shalat subuh berjamaah di masjid.
"Iya uwa, kalau begitu aku ke kamar dulu" Cempaka mengikuti langkah suaminya menuju ke dalam kamarnya.
"Kamu, bukannya bukain pintu. Malah tidur!" dengan nada kesal Kardiman ngedumel.
"Kamu sendiri, kenapa pulang dini hari? Gangguin orang lagi tidur saja" Ujar Cempaka. Dia segera keluar dari dalam kamarnya, setelah mengambilkan perlengkapan untuk shalat subuh Kardiman berjamaah di masjid.
Setelah Kardiman berangkat ke Masjid, Cempaka segera mandi dan berwudhu untuk melaksanakan shalat subuh.
Selesai sarapan, uwa Karmi tidak pergi ke sawah atau ke ladang seperti biasanya. Tapi, dia pergi ke kebun belakang rumahnya.
Sedangkan Kardiman berangkat ke kantor kembali bekerja seperti biasanya.
"Cempaka bantuin ya uwa" Dia mendekati uwa Karmi sambil membawa kored buat nyiangi rumputnya.
"Bener kamu mau bantuin uwa?" Uwa Karmi tersenyum menatap Cempaka.
"Iya uwa... Aku serius mau bantuin uwa"
Cempaka meyakinkan.
"Kita sekarang mau panen, jadi enggak usah nyiangi rumputnya" Ujar uwa Karmi.
"Ini kesempatan buat aku nanya-nanya tentang perkataannya uwa Karmi kemarin." Gumamnya kegirangan.
"Aku panen sebelah sini ya uwa?" Cempaka menyimpan keranjang bambu untuk tempat hasil panennya.
Tanah yang gembur membuat panennya begitu mudah.
Kored yang biasa di gunakan untuk menyiangi rumput, kini di gunakan Cempaka untuk menggali tanah yang ubinya sudah mulai bisa di panen.
"Ubinya besar-besar ya uwa, tanahnya gembur jadi mudah memanennya" Cempaka membuka percakapan.
"Iya Neng, nanti agak siangan atau sore,
mang Karim kesini ngambil ubi hasil panen kita." Uwa Karmi nampak semangat sekali.
"Ooh..., jadi uwa tinggal nungguin saja ya uwa."
"Iya"
Setelah kira-kira dua jam lebih kami memanen ubi, semua ubi sudah pindah ke dalam empat buah keranjang bambu yang besar. Siap di angkut ke pasar oleh mang Karim.
"Banyak juga hasil panennya ya uwa." Cempaka mengumpulkan pohon ubi yang berserakan.
Setelah semua pohon ubi yang menjalar ke sana ke mari itu sudah terkumpul di pojok kebun. Barulah mereka beristirahat sambil selonjoran kaki di bawah pohon jambu air besar yang tumbuh di sana.
"Kita makan dulu yu, uwa sudah lapar nih " Uwa Karmi menyenderkan tubuhnya di pohon jambu melepas penat.
Cempaka sudah tak sabar ingin segera mengetahui apa jawaban dari pertanyaannya kemarin.
Karena itu, dia segera menyediakan makanan untuk di makan mereka berdua.
"Pandai kamu masak ikan ini, masakan apa namanya ini Neng?" Uwa Karmi mengambil lagi ikan lempah kuning yang di masak Cempaka.
"Ini lempah kuning uwa"
"Enak sekali, pasti Kardiman suka"
"Iya uwa, dia sangat suka sekali"
" Tapi sayang, suamimu itu tidak tahu berterima kasih. Punya istri sudah cantik, berpendidikan tinggi, rajin ibadah , pintar masak lagi. Masiiih saja kelakuannya seperti itu" Uwa Karmi geleng-geleng kepala.
"Iya uwa, aku juga heran..., laki-laki itu kalau di baiki malah kurang ajar. Bukannya berbalik sayang sama istri"
Cempaka senang dengan perkataannya uwa Karmi.
"Uwa..., kalau boleh tahu, aku ingin jawaban yang kemarin itu. Apa maksudnya uwa?" Cempaka penasaran.
"Emh... Iya menurut uwa sih, kamu ini telah terpedaya dengan rayuannya Kardiman. Uwa heran, kenapa kamu mau di nikahi olehnya? Mana segala biaya di tanggung oleh keluargamu lagi.
Itu maksudnya" Uwa Karmi menatap wajahnya Cempaka.
"Aku juga tidak tahu uwa, yang ku tahu waktu itu aku di rayu oleh kakakku, dan juga aku ingin melepas titel jombloku. Jadi, sepertinya otakku tidak berpikir positif waktu itu" Cempaka menyesal.
"Semoga saja Kardiman bisa berubah, dan... Nanti kamu akan tahu segalanya"
"Tentang apa uwa?"
"Tentang Kardiman, tapi ma'af uwa enggak bisa mengatakannya. Karena, ini harus dari orang yang bersangkutan.
Kamu tunggu saja" perkataan Uwa Karmi menimbulkan teka-teki bagi Cempaka.
Namun, dia tidak mau bertanya lagi. Lebih baik aku tunggu saja orang yang bersangkutan tersebut. Yang akan membukakan segalanya.