webnovel

Karena Titel jomblo

Hallo semuanya... Semoga semuanya selalu dalam keadaan sehat dan baik-baik saja.

Aku up ceritaku yang selanjutnya.

Bila kalian suka dengan ceritaku ini, silahkan tinggalkan like dan komennya.

Terimakasih... Dan Selamat membaca.

¥¥¥¥¥¥¥

Keesokkan harinya, Yati kakak sulungnya Cempaka yang sudah berkeluarga, dan rumahnya sudah misah itu, pagi-pagi sekali sebelum Cempaka berangkat ke tempat kerjanya. Dia sudah ada di dapur bersama bu Tini, ibunya yang melahirkan nya dan juga melahirkan Cempaka.

"Cempaka!... Mana?" Yati menjulurkan tangannya kepada Cempaka yang baru saja duduk di kursi makan, hendak sarapan sebelum dia berangkat ke tempat kerjanya.

"Apa teh?" Cempaka pura-pura tidak faham dan tidak mengerti dengan apa yang di maksud oleh kakaknya itu.

"Ibu, sudah di kasihin belum surat yang kemarin itu?... Aku kan janji hari ini nganterin surat balasannya" Yati menegur bu Tini.

"Sudah, langsung ibu kasih sa'at itu juga" Sahut bu Tini sambil mengambil piring mau sarapan juga, menemani Cempaka dan juga pak Hamid, suaminya.

"Ooh... Surat itu!" Cempaka datar dan santai menjawabnya.

"Kamu kenapa?... Kok!... Acuh begitu!... Enggak malu sama umur?... Enggak malu sama semua teman-temanmu yang sudah pada nikah dan punya anak?... Kamu itu sudah bukan remaja lagi!... Yang baru berusia belasan tahun!" Yati nampak begitu sewot melihat sikap Cempaka yang biasa saja.

"Aku harus bagaimana teteh?... Mengapa aku harus malu sama umur?...

Mengapa pula aku harus malu sama teman-temanku yang sudah menikah dan punya anak pula?... Aku sadar teteh, aku itu bukan remaja, usiaku bukan belasan tahun lagi. Usiaku sudah

dua puluh delapan tahun. Lalu, aku harus bagaimana?... Kalau jodohku belum datang juga!" Cempaka menjawabnya dengan santai, sambil tetap menyuapkan nasi kuning kesukaannya.

"Ini ada apa sih?... Waktu sarapan kok! ribut-ribut" Pak Hamid menatap ke arah Yati dan Cempaka bergantian.

Sedangkan Seruni adik bungsunya Cempaka, nampak tidak terpengaruh. Dia asyik menghabiskan sarapannya dengan santai.

"Itu, teh Yati!" Cempaka mengerlingkan matanya menunjuk ke arah kakak sulungnya itu. Kontan saja Yati langsung melotot ke arah Cempaka.

"Ini pak, katanya Yati mau menjodohkan Cemara sama seseorang. Ibu juga belum tahu yang mana orangnya. Kemarin sore dia ngasih surat perkenalan itu dan pagi ini Yati sudah minta surat balasannya" Bu Tini mencoba untuk menjelaskan permasalahnya.

"Secepat itu harus memberi balasan?... Apa tidak perlu di pikirkan dulu?" Ucap pak Hamid, dengan bijaksana.

"Sebaiknya enggak usah terlalu banyak mikir-mikir, Dia kan sudah bukan remaja lagi. Sudah dilangkahi lagi oleh Sekar dua tahun yang lalu. Masa, nanti harus di langkahi lagi oleh Seruni?... Apa bapak sama ibu rela punya anak dilangkahi terus oleh adik-adiknya?" Yati seperti yang menceramahi nya.

"Apa mungkin dia sudah merasa betah dengan ke jomblonya itu?" Lanjutnya lagi dengan bibirnya yang setengah mencibir.

"Hus!... Jaga mulutmu itu!... Sama adik sendiri tidak ada sayang- sayangnya!" Pak Hamid menegur anak sulungnya itu.

Teh Yati pun langsung terdiam dan tertunduk. Entah merasa malu atau merasa sungkan oleh orangtuanya atau, entah apalah. Yang jelas dia mendelikkan matanya ke arah Cempaka.

"Sekarang selesaikan dulu sarapannya!"

Pak Hamid menenangkan.

"Ayo sarapan dulu!" Tambah bu Tini.

"Aku duluan" Ujar Cempaka.

Selesai sarapan, Cempaka langsung beranjak kembali ke kamarnya sepertinya hendak mengambil sesuatu.

Tak berapa lama diapun sudah kembali lagi dengan menyampirkan tas berbentuk ransel di bahunya. Dan... Dia memegang sesuatu di tangan kanannya. Sebuah amplop berwarna putih bersih.

Cempaka langsung menghampiri kakak sulungnya, dan segera memberikan sebuah amplop putih yang di pegangnya itu kepada kakaknya.

"Ini teh" Ujarnya.

Lalu dia menghampiri bu Tini dan pak Hamid untuk berpamitan dan mencium tangan kedua Orangtuanya.

"Bu, Pak, aku pergi kerja dulu ya. Semuanya aku berangkat dulu" Cempaka melambaikan tangan kanannya, dan berlalu ke arah pintu keluar.

"Dia pake tas ransel kerjanya?" Yati bertanya keheranan.

Tangannya memainkan amplop putih dari Cempaka.

"Iya!... Memangnya kenapa gitu teh?" Seruni merasa heran.

"Enggak apa-apa, cuma... Rasanya kurang pantas saja nampaknya. Harusnya pake tas selempang" Ucap Yati.

"Ini apa ya isinya?... Apa dia menerima perkenalan itu atau enggak ya?" Yati menebak-nebak isi dari amplop putih yang di pegangnya itu.

Rasa penasaran jelas terpancar di wajahnya.

"Dasar perempuan, tas ransel saja di bahas. Kayak enggak ada kerjaan lain saja" Ujar pak Hamid sambil beranjak dari ruang makan, menuju ke kamarnya siap-siap mau berangkat kerja juga.

"Biasa... Perempuan!" Bu Tini ikut nimbrung.

Mungkin Yati merasa penasaran dengan isi amplop itu. Diapun lalu membukanya perlahan.

Ketika itu Seruni sudah beranjak dari ruang makan itu, dia hendak bersiap-siap untuk pergi ke Sekolahnya.

"Haah!... Apa?... Cuma satu kata buat balasannya?... Apa-apaan ini?" Yati terkejut setengah mati. Dia setengah berteriak hingga ibunya yang berada tak jauh darinya menolehnya.

"Cempaka-Cempaka" Yati menepuk jidatnya sendiri merasa tak mengerti dengan maksudnya Cempaka.

"Aku keluar dulu bu!" Ucapnya hendak mengejar Cempaka yang masih memakai kaos kaki dan sepatu boots kesayangannya.

"Cempaka!... Ini apa?... Kok!... Cuma satu kata?" Tegur Teh Yati dengan raut wajah yang kecewa.

"Memangnya harus berapa kata?" Cempaka segera memakai sepatunya dan bersiap untuk berangkat kerja.

"Ya... Beberapa kalimat lah. Kamu kan sekolah tinggi, masa jawabannya cuma ya!... Ini perbaiki dulu" Yati mencoba mengembalikan lagi amplop itu kepada Cempaka supaya di perbaiki nya.

"Teteh... Aku mau kerja. Sudah hampir kesiangan nih!... Sudah itu saja berikan kepada si Kardiman. Ayo teh!... Assalamualaikum" Cempakapun segera beranjak tak menghiraukan kakaknya.

"Macam-macam saja kakakku itu. Belum tentu juga dia atau aku suka dengan perjodohan ini" Gumamnya sambil terus berjalan menyusuri gang yang menuju ke jalan raya.

Kurang dari setengah jam Cempakapun sudah sampai di tempat kerjanya.

Dan, masalah dengan kakaknya tadi sudah hilang dari ingatannya.

Di tempat inilah Cempaka merasa betah dan sangat nyaman. Tidak ada yang mencibirnya ataupun menghinanya.

*

Sore harinya sepulang dari tempat kerja. Yati, kakak sulungnya itu sudah menunggunya di rumah ibunya. Tepatnya di ruang keluarga.

"Assalamualaikum... Aku pulang bu" Ucap Cempaka seperti biasanya.

"Waalaikumsalam.... Yang di tunggu akhirnya datang juga" Suara teh Yati, kakak sulungnya itu yang menyahut.

"Ibu dimana bu?" Cempaka masuk lewat pintu samping sambil menenteng sepatunya.

"Ini, ibu lagi nonton TV" Bu Tini tengah asyik nonton film India kesayangannya.

"Dia ingin bertemu sama kamu, mau kenal lebih jauh katanya" Tiba-tiba Teh Yati berucap begitu sambil tersenyum penuh arti.

"Apa?... Tidak salah dengar nih!... Apa yang membuatnya ingin kenal lebih dekat lagi dengan aku?... Teh Yati ini ada-ada saja" Cempaka menyimpan sepatutnya lalu ke kamar mandi, mencuci tangan dan kaki sebelum dia masuk ke kamarnya.

"Itu orangnya sudah nungguin kamu dari tadi. Tuh... Di ruang tamu" Teh Yati memberitahu Cempaka bahwa orangnya sudah ada di ruang tamu.

"Astaghfirulahaladziiim... Teteh!" Cempaka nampak kesal di buatnya.

"Ayo temui dia!... Kasihan" Yati setengah mendorong tubuhnya Cempaka ke arah ruang tamu.

"Ya Allah... Teteh, aku cape, baru pulang kerja teh. Apa tidak ada hari esok?" Cempaka menahan kakinya biar tidak terdorong oleh kakaknya.

"Ingat!... Usia kamu sudah dua puluh delapan tahun!... Sudah di langkahi oleh adikmu!" Teh Yati menarik tangannya Cempaka, dan membawanya ke ruang tamu. Dimana di sana sudah ada Kardiman sedang menunggunya.

"Ini adik saya Cempaka" Teh Yati mengenalkan Cempaka kepada Kardiman.

Pria itu langsung bangkit dari tempat duduknya, dan mengulurkan tangannya mengajak bersalaman kepada Cempaka.

"Saya Kardiman" Ucapnya.

"Cempaka" Ucap Cempaka pelan dan datar. Sedikitpun tidak ada ketertarikan pada pria jangkung yang kini ada di hadapannya.

"Kalau boleh tahu, kenapa neng belum mau punya suami?" Tanyanya langsung pada intinya. Setelah sebelumnya berbasa-basi.

"Belum ada jodohnya" Masih datar jawaban dari Cempaka.

Ni orang, baru kenal sok akrab! bathinnya agak kesal juga.

"Kalau tiba-tiba ada jodohnya, pasti mau ya?" Tanya Kardiman lagi, norak banget.

"Bagaimana nanti saja" Sahut Cempaka.

Dari penampilannya, Sepertinya pria ini sudah punya isteri, bathin Cempaka.

"Neng Cempaka kan baru pulang kerja, pasti cape ya?... Kalau begitu saya pulang dulu ya, nanti besok saya ke sini lagi. Besok kan neng pasti libur ya?" Ucapnya pamitan, membuat hati Cempaka bersorak kegirangan.

"Iya... Silahkan" Karena perasaan hati yang merasa senang , Cempakapun tersenyum. Tapi, dia cemberut lagi ketika ingat pada ujung ucapan tamunya itu, bahwa besok akan ke sini lagi. Oalaaah.

Setelah Kardiman pergi. Kakak sulungnya langsung menghampirinya.

"Bagaimana, kamu suka kan sama mas Kardiman itu?..." Cercar Yati sambil senyam-senyum.

"Siapa yang suka?... Baru juga kenal" Cempaka tak suka.

" Sudahlah!... Lepaskan atribut Jomblomu itu!... Ingat!... Usiamu!... Teman-temanmu sudah nikah semua!... Kamu sudah di langkahi oleh adikmu. Dan adikmu yang bungsu sudah kelas tiga SMA, sebentar lagi dia pasti bawa calon tunangannya" Teh Yati nyerocos bak petasan sumbu.

Cempaka merasa sedih dengan titel Jomblonya. Dia tak menghiraukan perkataan kakaknya, dia pun masuk ke kamarnya.

Next chapter