webnovel

Bukan Pecundang

Dito yang menyaksikan Riko tumbang hanya bisa menatap pasrah. Tiada lagi tenaga dan kekuatan. Tiada lagi yang bisa mereka andalkan saat ini. Permainan ini akan berakhir dengan kekalahan di pihak mereka.

Hal yang tak terduga terjadi. Beni bangkit dari duduknya, berdiri tegak dengan wajah penuh yakin. Kacamata yang selalu berada di wajahnya pun ia enyahkan dengan gagahnya. Setelah menatap satu per satu wajah temannya, ia pun berkata, "Sekarang giliranku. Aku tak ingin terus hidup sebagai pecundang!"

Dito dan Riko memandang bingung, mereka sangat merasa tak yakin dengan keberanian yang Beni tunjukkan saat ini. Tidak hanya tubuhnya yang sedikit gemuk, ia juga bahkan tak pandai berkelahi. Aksi nekad Beni justru membuat Dito dan Riko merasa cemas.

"Jangan, Ben!" ucap Dito sambil menahan perih.

Riko yang merasa takut pun juga memaksakan diri untuk bangkit. Ia melangkah dengan tertatih-tatih sambil memegang erat perutnya. Dengan sisa tenaga akhirnya ia bisa menyentuh pundak Beni.

Tak lagi mampu berbicara karena menahan sakit, Riko menggelengkan kepala dengan tatapan cemas.

"Tenang, Ko. Setidaknya jika aku mati saat ini, itu tanda aku mati dalam kemuliaan sebagai pahlawan. Aku tak ingin mati dengan gelar pecundang. Sudah waktunya aku membalas kebaikan kalian," ucapnya yang kemudian membuka seragam putihnya. Melangkah maju dengan senyuman terbaiknya.

Benar-benar tak pandang buluh, kedua siswa yang menjadi lawan mereka pun mulai maju dan menyerang. Kepalan kuat mereka mulai menerjang bagian pipi, perut dan kaki. Namun, Beni terlihat kuat dan sedikitpun tak goyah. Kejadian ini cukup membuat Riko dan Dito terperangah dengan bibir terbuka.

"Lihatlah!" ucap Dito yang meminta Riko segera melihat ke arah Beni.

"Apa kau yakin dia Beni?" tanya Riko dengan napas terengah-engah.

"Entahlah! Tapi jika dilihat dari tubuhnya, itu Beni si ketua kelas," ucap Dito yang masih terus saja menatap ke arah petarungan.

Ternyata dibalik tubuh gemuk Beni memiliki kekuatan. Kekuatan untuk menangkis pukulan. Lemak-lemak yang dipukul hanya akan gergoyang, bergelimir tanpa memberikan rasa sakit. Itulah mengapa Beni terus mengelak saat ia dipukul pada bagian kepala, karena hanya pada bagian itu tak memiliki lemak.

Beni terlihat lincah, ia bergerak kesana kemari untuk menghindari pukulan dan membiarkan bagian tubuh yang berlemak saja yang kena. Merundukkan badan dan melompat pun ia lakukan. Semua aksi ini semakin membuat Dito dan Riko takjub. Keduanya kini berdiri dengan semangat. Seakan tenaga mereka sudah kembali pulih.

"Aku akan serang bagian kepala dan Lu bagian perut bawah!" ucap Riko dengan tatapan penuh keyakinan.

Dito setuju dan menganggukkan kepala.

Keduanya kembali maju dan memasang kuda-kuda, kedua tangan mengepal seakan siap menghantam lawan. Namun sayang, saat bersamaan lawan mereka berhasil menghantam bagian depan dan belakang kepala Beni secara bersamaan. Sontak saja hal itu membuat Beni tumbang seketika. Tubuhnya terjatuh ke atas dengan keadaan telungkup. Tiada darah, namun Beni juga tak bersuara lagi.

Riko dan Dito yang sedari tadi telah bersemangat kini semakin membara. Tanpa pikir panjang, keduanya mulai menyerang habis poin kedua lawan. Pukulan demi pukulan yang mereka luncurkan terus menuju titik kelemahan lawan. Tepat dipukulan kelima, lawan mereka tumbang.

Kini Riko dan Dito terlihat benar-benar lelah hingga tak lagi mampu berdiri. Tubuh mereka terjatuh lemas, terbaring dengan napas terengah-engah.

"Aku lelah!" ucap Dito sambil tersenyum.

"Aku juga," sambung Riko. Kedua sahabat itu sepertinya kembali berteman. Terlihat dari sikap mereka yang saling mengadukan kepalan tangan. Beginilah cara mereka menyapa satu sama lain.

"Kenapa Lu baru datang sekarang, di saat kami nyaris mati!" ucap Dito masih dalam keadaan terbaring.

"Ceritanya panjang," ucap Riko sambil tersenyum simpul.

Riko pun mulai menceritakan apa yang ia alami. Dimulai dari kedatangannya ke sekolah dan melihat mereka semua berada di dalam ruangan aula dengan posisi duduk di atas kursi aneh dengan banyak tombol dan dilengkapi layar.

"Jadi, maksud Lu ini tidak nyata?" tanya Dito dengan wajah kaget.

Riko mengangguk.

"Kita berada dalam permainan. Seorang wanita bergaun serba hitam yang punya kendali atas ini semua."

Riko kembali melanjutkan ceritanya. Ia tertangkap dengan posisi Riki masih bersembunyi di luar dinding gedung. Riko bertemu dengan ketua yayasan dan terikat di ruangan yang sama. Namun, Riko lebih dulu sadar. Sambil terus berjaga ia mencoba membuka sepatu untuk meraih silet yang ia simpan di sana. Lalu, dengan sedikit kerja keras ia pun mulai membuka ikatan tangannya. Tali yang tebal cukup membuat Riko kesulitan hingga membutuhkan banyak waktu.

Tetapi, usahanya tidak sia-sia. Ia berhasil membuka tali yang mengikat di tangannya dan dengan mudah membuka ikatan tali di mulut dan kakinya. Ia juga sempat membangunkan ketua yayasan, namun sepertinya ia begitu lelap setelah diberi obat bius.

Riko dengan keahliannya mencoba menguping pembicaraan. Terdengar suara gadis itu tengah berbicara dengan seseorang.

"Saya cukup puas dengan karyamu. Ini sungguh menyenangkan dan menegangkan. Terasa begitu nyata. Saya bisa lihat reaksi yang sama antara wajah yang ada di layar dengan wajah mereka secara nyata. Ini permainan yang keren," puji wanita itu.

"Jika uji coba ini berhasil, maka permainan ini akan disahkan dan dicetak dalam jumlah banyak. Serta dijual khusus untuk mereka yang punya uang," ucap Wanita itu kembali, sambil tertawa kecil. Sepertinya ia sudah membayangkan keuntungan yang mungkin ia dapat jika permainan ini dipasarkan.

"Oh ya, bagaimana akhir permainan ini? Seperti apa peraturannya?" sambung wanita itu kembali setelah melihat layar berisi para siswa yang nyaris mati tenggelam. Ternyata saat itu, saat dimana Dito, Beni, Jessy dan Andin nyaris tenggelam.

"Ini bukan seperti permainan lain. Tidak ada peraturan, yang ada hanya pertarungan. Bertahan dia menang," jelas orang dengan suara tak asing di telinga Riko.

"Lihat! Mereka semua sekarat dan nyaris tenggelam. Jika mereka semua mati, apa yang akan terjadi?" tanya wanita itu, sepertinya ia begitu antusias akan jalan permainannya saat ini.

"Jika tak ada seorang pun yang selamat. Maka semua akan mati."

Seakan ditampar keras, Riko merasa sangat berang. Ia tak ingin teman-temannya mati karena uji coba alat ini. Namun, belum lagi dia melangkah maju. Percakapan mereka kembali terdengar.

"Oh ya, apa efek samping jika mereka kalah dalam permainan?"

Sepertinya lawan bicaranya hanya tersenyum, karena wanita itu kembali berkata, "Mengapa kau tersenyum? Apakah tidak ada efek samping, atau justru gangguan syaraf dan kematian," sambung wanita itu sambil tertawa kecil seakan tak perduli. Baginya nyawa para siswa tidak ada harganya sama sekali.

Riko yang sangat kesal pun melangkahkan kaki memasuki aula. Ia nekad berlari kencang menuju pintu yang terbuka, meskipun ada banyak penjaga bersenjata di sana. Namun, ia dengan sangat yakin harus menerobos masuk demi menyelamatkan teman-temannya.

Usaha Riko tak sia-sia. Ia berhasil masuk, meskipun ada banyak penjaga yang tengah bersiap mengarahkan senjata ke arahnya.

"Tunggu!" ucap wanita itu dengan anggunnya. Ia melangkah mendekati Riko yang kini berdiri dengan posisi tersudut. "Kau ..."

Ucapan wanita itu terhenti, ia menatap tajam wajah Riko cukup lama dengan dahi mengernyit. Kemudian dengan santainya wanita itu kembali berkata, "Apa yang kau inginkan di sini?"

"Aku ingin ikut main!" ucap Riko dengan amarah yang membara.

"Ikut?" tanya wanita itu kembali diikuti tawa kecil yang mengejek. "Kau yakin?"

"Ya, aku tak akan membiarkan mereka semua mati," ucap Riko dengan tatapan tajam penuh keyakinan.

Sebuah layar laptop menunjukkan video keadaan Dito, Beni, Jessy dan Andin. Wajah yang mereka tampilkan pada layar, sama persis dengan wajah yang Riko lihat saat ini. wajah pucat Jessy dan Andin, wajah gelagepan yang ditunjukkan Dito. Wajah putus asa yang ditunjukkan Beni. Semua wajah ini membuat Riko semakin nekad untuk ikut dalam permainan.

"Oh, kau ingin menjadi pahlawan? Silakan!" ucap wanita itu yang kemudian menunjuk satu kursi kosong yang ada tepat di depannya.

"Duduklah di sini!"

Riko menurut, perasaannya begitu membara. Niat untuk menolong teman-temannya begitu kuat. Hingga tak ada lagi rasa takut di dalam hatinya.

"Gua enggak tahu, jika Lu enggak ada, Ko!" ucap Dito dengan wajah penuh syukur.

"Tapi aku enggak yakin ini pertarungan terakhir kita," ungkap Riko dengan cemas.

"Tidak mengapa, selama ada Lu. Gua yakin kita pasti bisa hadapi. Yang paling penting Gua tahu, kita ini berada di dunia virtual bukan dunia nyata. Setidaknya, Gua masih ada harapan bisa melihat teman-teman yang sudah kalah dalam permainan ini," ucap Dito dengan tatapan optimis.

Riko mengangguk dengan senyum percaya dirinya.

Lelah belum hilang, tenaga belum kembali, tapi lagi-lagi terjadi guncangan dahsyat yang membuat ruangan itu seakan hendak rubuh menimpah mereka semua.

Next chapter