webnovel

Pertemuan Bibi dengan Max

Aroma alkohol, berbagai jenis wewangian yang dipakai wanita dan pria, aroma rokok, vape, suara musik, ciuman di berbagai tempat, dan orang-orang berbicara dengan gesture tubuh intim satu sama lain adalah pemandangan sehari-hari di Bawah Tanah. Max berjalan melewati mereka, melewati area VVIP, turun tangga dan mengambil arah kiri. Max mendorong sebuah pintu yang lebarnya hanya setengah meter. Dari pintu tak seberapa itu Max masuk ke ruang kerjanya sendiri.

Tempat itu seperti berada di lokasi yang berbeda karena sangat tenang. Memasuki pintu, bukanlah ruang sempit yang akan ditemukan, melainkan sebuah ruangan dengan panjang 7 meter kali lebar 4 meter. Ada sebuah jendela besar yang Max bisa mengamati pemandangan kota yang dipenuhi dengan asap berwarna kelabu. Tak ada korden penghalang cahaya yang akan menghalangi retina mata melihat keluar ruangan. Semuanya terkesan serba terbuka dari dalam. Sebaliknya, lingkungan dalam tak bisa dilihat oleh lingkungan luar. Max mengamati sebentar pemandangan di luar baru melepas jaketnya, mecantelkannya, dan mengendurkan dasi yang mengekang lehernya. Dia menyisir poninya ke belakang.

Max menghampiri rak pendingin. Dia meraih sebotol wine putih dan sebuah gelas dari rak gelas kemudian duduk bersandar di kursi santai yang selalu menunggunya di tempat yang sama. Kursi itu berwarna cokelat tua selaras dengan keseluruhan desain interior ruangan yang berwarna kayu jati.

Max menggoyang gelas wine setelah menuangkan wine putih ke dalamnya. Sambil menikmati minumannya, dia memikirkan kembali tawaran James, pengelola Montis. Bisnisnya berkisar tentang layanan khusus pembunuhan, pemburuan, mata-mata, dan lain sebagainya, satu yang tidak mereka kerjakan yaitu memastikan diri menjadi orang baik. James menjamin anggotanya bisa menjaga rahasia dan akan melakukan tugas sampai tuntas.

"Aku akan mempertemukanmu dengan seseorang yang cocok untuk pekerjaan ini. Dia bisa menyusup ke Bawah Tanah dengan menjadi salah satu pekerja di sana. Seharusnya sebentar lagi dia sudah menyelesaikan misinya. Bagaimana?"

Bawah Tanah adalah grub bisnis buatan Max, bermula dari sebuah bar. Saat ini ada suatu isu khusus yang mengganggunya.

"Misi apa yang sedang dilakukannya?"

"Berburu. Ada seorang anak manusia bodoh yang mengira bisa mendapatkan ilmu kekebalan tubuh dengan memperkosa dan membunuh perempuan, kami mendapatkan surat khusus dari Jaksa untuk menghabisi orang ini. Bibi menjadi orang terpilih untuk melakukannya," James bicara dengan nada yang tak menyombongkan kecakapan organisasi dan anggotanya.

"Namanya Bibi?"

"Itu julukan. Dia sendiri yang memilih, kami tidak menggunakan nama atau identitas asli."

"James, kau harus benar-benar mengirim seseorang yang tepat," ujar Max dengan nada mengancam.

"Tenang saja. Ah, itulah kenapa aku akan mempertemukanmu dengan Bibi lebih dulu, supaya kau bisa melihat sendiri dia cocok atau tidak."

"Bagaimana kemampuan bela dirinya?"

"Tak perlu diragukan, dia seorang pemburu dan pembunuh pro. Seperti biasa aku tidak akan bertanya tugas apa yang kau berikan padanya, tapi karena kau bilang ini tentang berburu, maka aku rekomendasikan pekerjaan baru ini padanya," James menggerakkan jari yang mengapit rokok. Dia menatap Max sambil mengisap rokoknya. Satu isapan membuat pipinya terlihat kempot.

"Tidak biasanya kau minta seseorang yang bisa berburu bahkan sampai ada catatan menghabisi jika perlu," James menatap Max dengan pandangan menyelidik. "Sepertinya ada seseorang yang mengancam bisnismu?"

"Kurang lebih," jawab Max dengan nada penuh kerahasiaan.

Max berdecak, salah satunya karena wine di mulutnya terasa tidak pas dengan suasana hatinya. Ada banyak hal yang terasa tidak pas akhir-akhir ini, keluhnya dalam hati.

Seseorang mendorong pintu masuk. Max tidak segera menoleh.

"Saya melihat Anda datang, lama tidak berjumpa, Tuan Muda Matsyendra," kata seseorang di belakangnya. Suaranya dipenuhi kerinduan, tapi bukan kerinduan seorang wanita pada laki-laki pujaannya, melainkan kerinduan seorang pria yang setia pada pria lainnya atas nama kesetiaan.

"Halo Palasara, bagaimana kabarmu?" sambut Max sambil memutar tubuhnya dan melihat Palasara. Dia menyelipkan sebelah telapak tangannya ke saku celananya. Dia nampak puas melihat Valoran tersenyum padanya di bawah cahaya lampur berwana kuning keemasan.

"Saya baik. Bisnis juga berjalan dengan baik. Tapi mengenai desas-desus itu, saya belum bisa memastikannya," suara dalam Palasara mengubah suasana hati Max.

"Rambutmu sudah lebih panjang, kau suka gaya rambut itu?" Max menunjuk dengan jarinya yang bebas dari memegangi kaki gelas wine. "Kau sangat cocok dengan gaya rambut itu. Warna perak itu juga akan cocok dengan Pegunungan Sakral."

"Anda tak perlu seperti itu. Saya tidak menyesal mengikuti Anda sampai di sini," Palasara sengaja mengatakannya saat itu karena merasa perlu saja.

Max menghela nafas, "Ah, sudah ribuan kali aku bilang, panggil saja aku Max. Di sini agak canggung rasanya jika dipanggil dengan nama itu, dan tak perlu berbahasa formal."

Kerling kesedihan di kedua mata Max tertangkap oleh Valoran.

"Tentang desas desus itu, aku akan mengirim seseorang yang bisa membantu kita. Akan aneh jika kita sendiri yang mengendus ke sana kemari. Itu bisa membuat para penghianat melarikan diri. Teruslah berpura-pura tidak mendengarnya," ungkap Max.

Palasara mengangguk.

"Mau minum?" Max menawari sambil mengangkat botol wiski.

Palasara terus menerus terpesona dengan semua gerakan Max. Dia mengangguk lalu berjalan mendekat setelah mengambil gelas dari rak. Mereka kemudian menikmati wine bersama sambil menatap kota yang berkerlip.

Dua hari kemudian, Max mendapat kabar dari James. Mereka janjian ketemuan di tempat yang cukup jauh dari kota untuk pembicaraan rahasia itu. James dan seorang perempuan sudah menunggu di cafe berpemandangan kebun teh hijau dan langit biru.

Perempuan itu pasti bibi, pikir Max. Dia berjalan mendekat sambil melepaskan kacamata hitam yang menempel di wajahnya. Dia memakainya saat berkendara motor dari rumah ke lokasi.

"Kenapa harus jauh-jauh?" James protes.

"Karena aku butuh lokasi yang netral. Aku juga ingin melihat pegawaiku bekerja."

"Haish! sial! kau menyombongkan diri? mereka tidak tahu kalau kau pemilknya!" seru James.

"Itulah sisi menyenangkan dari mengamati taman milikmu di saat orang-orang tidak tahu bahwa tempat itu milikmu."

James tertawa, "Dasar aneh." Dia lalu menepuk pundak perempuan di depannya. "Dialah Bibi yang kuceritakan padamu. Bagaimana?"

Max mengamati sudut mata Bibi, garis tengkorak kepalanya, dan bahu. Tak hanya itu, dia juga mengamati jari-jari Bibi. Max juga melihat suatu bayangan totem khusus di dadanya yang setengah terbuka.

"Dia baru saja menyelesaikan misinya. Dia sudah istirahat dua hari dan saat kukatakan tentang misi baru, dia tertarik, jadi ini waktu yang tepat untuk membicarakan detail misi yang kau inginkan."

"Kau tak sabaran," sergah Max.

"Begitulah aku bekerja. Client harus cepat memutuskan supaya kami tidak buang-buang waktu."

"Oke. Dia cocok."

"Sip! Di mana uang mukanya?"

"Dasar brengsek!"

"Ini bisnis bro! harus cepat dan akurat!"

Max menekan jam tangannya. Dia menggunakan smart watch untuk melakukan transaksi internet banking. Ada bunyi 'ting' masuk ke ponsel James. James memeriksanya dan tersenyum. Beberapa detik kemudian giliran ponsel Bibi yang berdenting singkat. Bibi menyeringai melihat uang bagiannya sudah masuk.

"Nilai yang sangat besar. Artinya tugas ini cukup berbahaya?"

"Nah! Sisanya kuserahkan pada kalian. Aku akan kembali ke kota. Tidak ada apapun di sini selain tanaman."

James meninggalkan Max dan Bibi membicarakan detail operasi. Bibi tak kesulitan memahami apa keinginan Max.

"Ada satu hal yang harus kau lakukan sebelum masuk ke Bawah Tanah."

"Apa itu?"

"Tato. Kau harus memiliki Tato yang ku buat."

"Kenapa?"

"Karena itulah aturannya. Setiap wanita yang masuk ke Bawah Tanah harus sudah melalui seleksi dariku dan tanda bahwa dia lolos seleksi adalah tato khusus buatanku."

"Wah, ini menarik," kata Bibi. "Jadi kau orang paling berwenang di Bawah Tanah? grub besar yang tak tersentuh hukum itu? Kau terlihat sangat muda, tak ku sangka kau seorang Tuan Muda," ada nada kecemburuan pada kekayaan dan kekuasaan dalam kata-kata Bibi.

Max tidak merespon. Dia menanggapi Bibi dengan tatapan datar saja.

"Oke. Karena aku sudah terima uangmu, aku tak suka membatalkan komitmen, kau bisa mulai hari ini untuk menato tubuhku. Bagaimana?"

Max menyeringai. Dia suka dengan sikap perempuan itu.

Bonus chapter adalah sempalan yang saya gunakan untuk melengkapi chapter reguler.

Terima kasih sudah menyimak.

Mutayacreators' thoughts
Next chapter