webnovel

Bab 9

Victor duduk di samping Rindi berbaring, wanita itu belum sadarkan diri sedari tadi. Victor menemukan Rindi pingsan di perpustakaan kampus, Victor kira Rindi sedang tidur. Ternyata dugaannya salah, Victor semakin cemas saat melihat Rindi sangat pucat. Jadi dia membawa Rindi ke rumah sakit tanpa berpikir 2 kali lagi.

"Bagaimana bisa dia keracunan makanan, apa saja yang dia makan," gerutu Victor bermonolog.

Mendengar penjelasan dokter tadi, Rindi sepertinya keracunan makanan. Karena lambungnya terkena infeksi sekarang, beruntung saja tidak parah. Hanya saja kalau telat di bawa ke rumah sakit, beda lagi ceritanya.

"Kau itu tinggal sendiri di Korea, kenapa ceroboh sekali."

Victor mengomeli Rindi yang masih tidak sadar. Victor kemudian mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Jay.

30menit kemudian bukan Jay yang datang, tapi justru Stefano. Kening Victor mengkerut karena bingung. Yang dia telphon tadi Jay bukan Stefano, Victor berdiri dan memiringkan kepalanya bingung. Victor dan yang lain tidak tahu menau tentang pernikahan Stefano dan Rindi, hanya Jay yang tahu itu semua. Tidak berapa lama Jay menyusul masuk ruang rawat Rindi sambil terengah-engah, dan berwajah pucat. Victor semakin membuka mulutnya lebar kebingungan, tangannya bergantian menunjuk Jay dan Stefano.

"Aku menelpon, Jay Hyung tapi kenapa, Fano Hyung juga ada disini? dan kenapa wajahmu pucat seperti itu, Hyung?" Victor menanyakan semua yang ada di benaknya dalam satu tarikan napas. Stefano tidak menjawab itu semua dan justru mendekati ranjang Rindi sekarang, istrinya itu masih terlelap tidur. Stefano mengepalkan tangannya, dia merasa benar-benar bersalah pada Rindi sekarang.

Setelah di jelaskan oleh Jay, Victor mengerti dengan situasi sekarang. Victor yang terkejut masih saja sering membuka mulutnya dan memandang Stefano yang menggantikannya duduk di samping ranjang Rindi. Victor masih belum bisa percaya 100% kalau Stefano sudah menikah dengan gadis yang bahkan mereka tidak tahu rumahnya yang sebenarnya dimana.

Setelah menunggu beberapa waktu terdengar lenguhan pelan dari bibir Rindi, matanya pelan terbuka. Stefano yang sedari cemas langsung memegang tangan Rindi.

"Kau sudah bangun?" tanya Stefano pelan sambil mengelus tangan Rindi pelan.

Reflek Rindi menarik tangannya dan memandang Fano dengan wajah bingung, Rindi belum sepenuhnya sadar jadi dia masih harus memastikan siapa yang ada di hadapannya sekarang. Setelah sadar itu Fano dia menyunggingkan sedikit senyum.

"Sedang apa Kau disini? Apa Kau tidak sibuk?" tanya Rindi balik.

Stefano yang masih terkejut dengan perlakuan Rindi barusan pada pegangan tangannya, berusaha bertingkah biasa saja. Dia juga membalas senyum Rindi dingin, dia berdiri tapi masih memandang Rindi lekat.

"Mau kemana, Hyung?" tanya Victor bingung.

"Dia sudah sadar dan terlihat baik-baik saja, Aku pergi keluar sebentar," ujar Stefano kemudian pergi begitu saja dari ruang rawat Rindi. Yang lain sekarang memandang bingung pada Fano yang mulai menghilang di balik pintu. Terdengar helaan napas berat dari Rindi.

***

Rindi sedang mengemasi barang-barang miliknya saat Victor datang bersama Fano. Tanpa bersuara Fano mengambil alih tas yang Rindi pegang, dia menggantikan Rindi memasukkan baju-baju istrinya itu ke dalam tas.

"Kau duduk saja di situ, tunggu kami merapikan ini. Aku juga sudah tebus vitamin untukmu tadi," ucap Victor kemudian membantu membereskan ranjang Rindi. Kepala Rindi mengangguk patuh kemudian duduk di sofa dan mengeluarkan ponselnya. Sudah lebih dari seminggu ini dia tidak menghubungi Bibi dan Paman. Fano melirik sekilas pada Rindi, dia memastikan istrinya itu benar-benar menuruti perkataan Victor.

Setelah mengemas semua barang Rindi dan memastikan ruangan itu bersih, mereka bertiga lalu meninggalkan ruang rumah sakit itu. Sesampainya di lobi rumah sakit, Victor berhenti dan berpamitan untuk langsung ke kampus.

"Aku harus ke kampus, kalian pulanglah berdua ya. Cepat sehat, Rindi-ya! Aku tunggu di kampus."

Victor meninggalkan dua suami istri itu sambil melambaikan tangannya. Tersisalah keduanya yang kemudian saling diam, tanpa banyak bicara lagi Stefano membetulkan letak kaca mata miliknya kemudian menggandeng Rindi keluar meninggalkan rumah sakit. Di dalam mobil pun ternyata keheningan masih mendominasi, sampai pada akhirnya Fano berdehem dan membuat Rindi menoleh.

"Aku sudah memindahkan barang-barangmu di asrama, mulai hari ini kita tinggal bersama di apartementku," ucap Fano seakan memberi kabar bukan meminta persetujuan.

Rindi membulatkan matanya, dia sadar kalau dia sudah menjadi istri Fano. Tapi tidak secepat ini juga mereka tinggal bersama. Rindi memutar posisi duduknya dan menghadap Stefano yang fokus menghadap ke depan sekarang.

"Tapi Chan, kenapa mendadak sekali? bukannya kita belum membicarakan ini," ujar Rindi belum bisa menerima kalau sekarang dia harus pindah ke tempat suaminya.

Stefano menoleh dan mengerutkan keningnya, dia sedikit bingung kenapa Rindi begitu menolak untuk tinggal bersamanya. Sejenak Stefano berpikir lalu kemudian dia mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti sesuatu.

"Kau tenang saja tidak perlu mengkhawatirkan apapun, Aku masih ingat tujuan kita menikah," ujar Fano kemudian diam kembali dan menatap lurus kedepan fokus mengemudi. Rindi sendiri kemudian terdiam, bukan seperti ini maksud Rindi, Fano pasti sudah salah paham dengan maksud penolakannya. "Bukan begitu, Chan. Hanya saja..." Rindi tidak melanjutkan perkataannya yang dia ucapkan dalam hati itu. Rindi kemudian berakhir menghela napas pendek menanggapi perkataan Stefano.

Memasuki apartement mewah milik Stefano membuat Rindi sedikit kikuk, dia memandang ke seluruh ruangan dan terlihat kagum. Untuk ukuran seorang laki-laki, apartement Stefano sangat bersih. Jelas terlihat kalau Stefano tipe orang yang menyukai kerapian.

"Jangan hanya berdiri di situ, istirahatlah! Itu kamarmu, di sebelahnya kamarku," ucap Stefano memecah rasa kagum Rindi dan reflek menoleh ke arah kamar yang di tunjuk oleh Stefano. Rindi tidak langsung menanggapi, dia hanya menoleh dan memandang Stefano sekarang.

"Ada apa?" tanya Fano bingung.

Rindi masih diam kemudian menggelengkan kepalanya pelan, Rindi kemudian berjalan meuju kamarnya sambil merutuki dirinya sendiri di dalam hati. Bagaimana bisa dia berpikir untuk sekamar dengan Stefano.

Menuruti perkataan suaminya, Rindi sedang merebahkan dirinya di ranjang ukuran sedang miliknya sekarang. Kamarnya jelas berbeda dengan kamar di asramanya, Rindi masih belum bisa mempercayai apa yang terjadi pada dirinya sekarang ini. Bagaimana bisa dia menikah dengan seorang seterkenal Fano. Denting ponsel Rindi membuat lamunannya buyar, Rindi lalu mengambil ponselnya yang tergeletak di sampingnya berbaring. Ternyata ada email masuk, dan ada beberapa naskah yang harus dia terjemahkan. Rindi masih menggeluti dunia penerjemahan walaupun sekarang dia harus pandai membagi waktunya. Rindi langsung beranjak untuk memulai pekerjaannya sekarang.

Satu jam berlalu, alarm ponsel Rindi berdering. Seperti biasa itu alarm untuknya melakukan ibadah, Rindi mengeliat kemudian berdiri. Dia berjalan keluar kamar, dia mencari keberadaan Fano sekarang. Ternyata pintu kamar milik Stefano terkunci dari dalam, pelan Rindi mengetuk pintu kamar. Belum juga Rindi berbicara apa-apa pintu kamar terbuka pelan sekarang.

"Chan, mau sholat bersama?" tanya Rindi ragu-ragu.

Stefano tidak langsung menjawab, dia hanya memandang Rindi datar. Sedetik kemudian kepalanya mengangguk mengiyakan tawaran Rindi. Tidak lama berselang mereka telah menyelasikan kewajibannya. Stefano memandang Rindi sekilas, lalu dia membuang wajahnya karena secara tidak sengaja saling menatap dengan Rindi. Fano berdehem beberapa kali menata perasaan grogi yang menjari perasaannya sekarang.

"Kau sedang apa? kalau tidak sibuk bisa memasak untukku? sedari kita pulang dari rumah orangtuaku, Aku hanya makan mie instan," tutur Fano pelan tapi bisa Rindi dengar dengan jelas. Rindi membulatkan matanya terkejut, kenapa juga Fano makan mie instan.

"Aku takut apa yang Aku makan itu tidak di perbolehkan," lanjut Fano lagi menjelaskan seakan tahu apa yang dipikirkan oleh Rindi.

Rindi mengulum senyumnya kemudian menganggukkan kepalanya. Dia langsung berdiri dan berjalan ke dapur untuk mulai memasakkan suaminya makanan. Tidak butuh waktu lama, Rindi sudah menyelesaikan acara memasaknya. Rindi meletakkan panci berisi sop yang biasa dia buat di Indonesia di atas meja makan. Dia kemudian berjalan menghampiri Stefano yang tiduran di depan TV. Rindi tertawa kecil karena ternyata suaminya itu sudah terlelap, padahal menurutnya tidak lama dia memasak.

"Chan, bangunlah! Aku sudah selesai memasak," ucap Rindi membangunkan Stefano.

Mata Fano terbuka dan mereka lalu saling menatap, Rindi terdiam melihat wajah suaminya dengan jelas sekarang. Wajah polos khas bangun tidur Stefano membuat Rindi terdiam terpesona, waktu bahkan juga terasa berhenti bagi Stefano, mereka berakhir saling memandang satu sama lain.

***

Next chapter