webnovel

Jadi Bahan Candaan

Usman menjalani perawatan wajah di salon kecantikan yang membuat wajah Usman berbeda. Walau tidak bisa membuat Usman semakin tampan, cukup membuat wajahnya bersih dan audah patut untuk dibawa ke rumah calon mertua.

Setelah selesai mendapatkan perawatan dari salon, tibalah saatnya untuk ke rumah calon mertua. Farisha membawa keluar Usman dan meninggalkan salon setelah Farisha mengirim pembayaran perawatan lewat M-Banking di ponselnya.

"Di mana orang itu, Tante? Apakah sedang lagi di tempat lain? Apa dia sudah ke rumahnya orang tua Tante?" tanya Usman sambil menengok ke kanan dan ke kiri. Tapi tidak melihat Bram.

"Kamu nggak usah ngurus orang yang bukan urusanmu! Sebaiknya kamu jalan yang cepat karena kita harus pulang ke rumah." Farisha mempercepat langkahnya karena tidak ingin lama-lama di dalam mall yang dia khawatirkan akan bertemu orang yang ingin ia hindari.

"Iya, tunggu sebentar, Tante! Aku nggak bisa jalan cepat! Sandal sepatuku mau putus, ini!" teriak Usman dengan tetap mencoba berjalan cepat.

"Apa? Hampir putus? Kenapa nggak bilang dari tadi? Kamu merepotkan sekali, Usman! Kita balik ke mana, hmm?" Farisha melihat ke kanan dan ke kiri. Melihat toko sandal, ia menunjuk arah itu. "Kita ke sana, Usman!"

"Tante, nggak perlu belikan aku barang-barang mahal lagi, Tante. Aku nggak sanggup kalau harus ganti nanti. Atau aku nggak usah ikut, saja? Tante cari yang lain saja, bagaimana?" Walau ia menolak, tetap Usman mengikuti Farisha ke mana kakinya melangkah.

"Kamu mau menolak, hah? Semua lelaki memang bajingan! Kalau nggak mau nurut, lebih baik kamu pergi saja! Nanti kamu ambil barang-barang kamu dan nggak usah kerja padaku lagi!" ancam Farisha dengan kesal.

"Iya, Tante. Maafkan aku yang nggak nurut. Aku akan nurut apa kata Tante saja." Usman yang tidak mau menambah beban masalah lagi. Maka ia lebih baik diam di hadapan Farisha. Apalagi wanita itu memberi tatapan menusuk dan berbahaya.

"Kalau bilang begitu lagi, awas kamu, Usman! Memang lelaki nggak ada yang bisa dipercaya! Tapi ini juga karena terpaksa." Farisha memilih sepatu yang bagus dan ia mencari yang cocok dengan Usman.

"Ada yang bisa saya bantu, Kak?" tanya seorang pemuda yang menjaga toko sepatu. "Silahkan dipilih-pilih, barangkali ada yang cocok," pungkasnya.

"Iya, Mas. Aku mau cari yang seperti ini. Tapi ukuran anak itu apakah ada?" tanya Farisha pada pemuda tersebut. "Usman! Kamu ukuran sepatumu berapa?" tanya Farisha.

"Aku, dua puluh sembilan, Tante," jawab Usman. Ia melihat-lihat sepatu yang ada di tempat itu bagus-bagus.

"Oh, yang ukuran itu ada enggak, Mas?" tanya Farisha karena ia melihat hanya ada yang empat puluh ke atas. "Kalau nggak ada, yang lain sajalah!"

"Oh, ada kayaknya, Kak. Coba aku lihat dulu stoknya, yah." Pemuda itu pun mencari stok ukuran sepatu di dalam lemari. "Coba sepatu yang mana, Kak!"

Farisha menyerahkan sepatu yang ia rasa cocok untuk Usman. Karena ia ingin melihat Usman berpenampilan lebih baik. Karena hanya pada Usman lelaki yang paling bisa ia percaya, jadi lelaki itulah yang ia yakin bisa membantunya. Apalagi Usman adalah pemuda polos yang tidak tahu apa-apa dan terlihat bodoh.

"Oh, ini ada, Kak. Yang ukuran tiga sembilan, yah? Sebentar, ini bisa dicoba dulu, Kak!" panggilnya kepada Usman. "Coba dipakai dulu ke kakinya, ngepas atau tidak!"

"Usman!" panggil Farisha agar Usman mendekat ke arah pemuda yang memanggilnya. "Kalau cocok, ambil itu saja."

Usman pun mencoba sepatu itu dan sudah ngepas dengan kakinya. Warnanya yang hitam pun cocok dengan pakaian Usman. Usman tetap membawa sendalnya yang sudah hampir putus itu.

"Sandal kamu buang saja, Man! Buat apa sandal rusak seperti itu dibawa-bawa!" perintah Farisha. Ia merasa risih kalau Usman terus membawa sandal yang rusak dari tadi. "Dan jangan ngebantah!" tekannya kemudian ketika Usman mau membuka mulutnya.

Alhasil Usman menuruti apa yang Farisha mau. Semua kemauan Farisha memang harus dilakukan oleh Usman tanpa kecuali dan tidak boleh menolak atau membantahnya sekalipun. Jadi Usman pun hanya bisa pasrah diri.

"Iya, Tante," tandas Usman lirih. Setelah membuang sandalnya di tempat sampah, Usman meninggalkan tempat itu setelah Farisha membayar sepatu yang ia pakai.

Sore telah berganti malam dan Usman sudah berada di dalam mall bersama Farisha cukup lama. Apalagi hanya untuk merawat wajah, membeli pakaian dan sepatu untuk Usman saja. Usman mengikuti Farisha untuk menuruni eskalator.

Saat naik eskalator, Usman sangat hati-hati. Ia berpegangan terus pada tangga eskalator sambil duduk di sana karena takutnya. Farisha hanya menggeleng tapi tidak menghentikan kelakuan pemuda itu. Malah melihat Usman yang lucu ia jadi tersenyum lebar.

"Dasar pemuda kampungan. Kalau begini kok kayak kucing jatuh ke dalam got, yah, hahaha!" tawa Farisha lantang.

Tawa dari Farisha membuat orang-orang di mall menatap Farisha heran. Melihat Usman yang duduk sambil berpegangan pada tanggal eskalator pun mengira itu hanya candaan semata.

"Aku ketakutan, nih. Tapi kenapa Tante malah tertawain aku?" keluh Usman yang merasa terhina. Ia juga malu karena orang lain juga menertawakan dirinya.

"Mah, lihat itu, ada anak kocak banget! Masa turun tangga sampai segitunya? Hahaha!" tawa seorang pria menunjukkan di mana Usman pada istrinya.

"Gak boleh gitu ah, Pah. Eh, tapi anak itu lucu juga, Pah! Hihihihi." Pada akhirnya sang istri itu cekikikan karena tingkah Usman.

"Wah, ngelawaknya lucu tuh, bocah, hahaha! Nanti bisa dijadikan meme, tuh. Aku rekam, ah." Karena merasa itu harus disebarkan, akhirnya Usman ada yang mengambil fotonya. Melihat seorang yang memotret Usman, orang lain pun sama.

Banyak yang mengabadikan kelakuan Usman itu dengan memotret atau ada juga yang membuat video singkat. Jelas itu akan dijadikan bahan meme oleh tangan orang-orang tak bertanggung jawab itu.

Setelah sampai di bawah, Usman pun melompat untuk turun dari eskalator. Dan gelak tawa dari semua orang tak terhindarkan. Farisha juga ikutan tertawa karena kelakuan Usman itu.

"Hahaha! Kamu begini terus juga nggak apa-apa, Usman. Kamu berbakat jadi pelawak juga, yah!" Farisha menunggu Usman yang jalannya lama. Padahal hanya naik eskalator saja tapi membuat Usman seperti orang mabuk dan ketakutan.

Menunggu beberapa menit hingga orang bubar tapi tidak ada candaan lagi dari Usman. Dan membuat mereka kecewa dan pergi. Mereka berharap Usman akan membuat candaan lagi tapi nyatanya tidak. Baru mereka tahu kalau itu bukan candaan yang dibuat Usman setelah Usman tidak melakukan hal-hal aneh lagi.

"Kita segera ke mobil kalau ingin cepat sampai rumah! Tapi kalau kamu jalannya leled, nanti gajimu akan saya potong!" ancam Farisha.

"Iya, Tante, enggak apa-apa kalau sampai di potong. Aku takut ini, tapi kenapa malah diketawain?" Usman berjalan melewati Farisha dan tidak tahu entah mau ke mana.

***

Next chapter