webnovel

BUMBU RASA KEBOHONGAN

Megha menarik nafas dalam-dalam, dugaannya memang tidak meleset. "Ya... dia marah lah!"

"Apa dia kasar sama lo?!"

"Nggak ko, nggak sama sekali. Dia cuma bilang, kalau hubungan kita cukup sampai di sini."

"Serius cuma itu?!"

"Iya."

"Terus bokap sama nyokap?"

"Ya... kecewa juga."

"Terus?!"

"Teruuuuss... ya gw bilang kalau kita akan tanggung jawab."

"Ya, ya. Jawaban lo tepat, Gha."

"Lo dimana?" ganti Megha kini bertanya.

"Di apartemen."

"Loh?! Nggak ke kantor?!"

"Nggak. Bokap minta gue nggak masuk kantor dulu sampai urusan ini selesai. Mungkin... dia muak kali ya lihat muka gue."

"Hem," Megha mengangkat alisnya. "Ya nggak mungkin, lah! Lo kan anak kebanggaannya."

Tersungging senyum tipis di bibir Alvan. "Justru karena gue anak kebanggaannya, Gha."

Megha terkesiap. Perasaannya mendadak tak enak, ia curiga sesuatu yang buruk menimpa Alvan.

"Gue ke apartemen lo, ya."

Giliran Alvan yang terkejut mendengar perkataan Megha. "Hah? Hem... ngga usah deh Gha. Kita... jangan ketemu dulu ya, gue butuh istirahat. Ga pa-pa kan?"

"Oh, oke – ga pa-pa."

Alvan merasa lega Megha mengurungkan niatnya. Ia tidak ingin wanita itu melihat begitu banyak luka di wajahnya. Mereka pun akhirnya mengakhiri pembicaraan. Dan setelahnya, Metha meminta Pak Amud mengubah haluan.

"Apartemen Sultan, Pak," pintanya tanpa ragu.

***

Di rumah keluarga Papa Agung.

"Pokoknya Papa harus paksa Megha supaya mau dijodohin sama pria lain!" Metha terduduk di tepi tempat tidurnya bersama Mama Mawar. Wanita itu terus merengek memaksa ayahnya.

"Susah, Nak," jawab Papa Agung. Berdiri cemas di hadapan Metha dan Mama Mawar. "Kamu tahu kan, gimana keras kepalanya adik kamu."

"Aku nggak mau tau!"

"Jangan gitu dong, Sayang."

"Ini ngga adil buat aku, Pa!" air mata Metha mulai jatuh.

"Iya, Papa tau. Papa sama Mama juga masih cari cara supaya kamu tetap nikah sama Alvan."

"Kalau Megha tetap nggak mau dijodohin. Ya udah! Kurung aja Megha di Villa kita yang di puncak. Kurung sampai dia ngelahirin bayinya. Jadi ngga ada orang yang tahu kalau Papa punya cucu di luar nikah."

"Bayinya?"

"Minta mang Iyuk sama Bi Lastri yang rawat. Mereka kan belum bisa punya anak."

Papa Agung melempar pandangan kepada Mama Mawar. Raut mukanya masih memancarkan keganjilan di hati.

"Biar bagaimanapun dia cucu Papa sama Mama, Nak. Gimana mungkin kami tega membuang cucu kami sendiri."

"Nggak dibuang Pa..." protes Metha. "Cuma minta dibantu rawat."

"Tapi tetap aja kan, Papa menjauhkan bayi itu dari keluarga kita."

Mama Mawar tak tahan untuk terus-terusan diam. "Dan gimana nanti reaksinya Pak Darma kalau sampai tahu."

Metha langsung melirik Mama Mawar. "Maksud Mama apa? Mama takut Om Darma marah?"

"Ya iya dong, Nak. Om Darma itu kan kakeknya juga." Mama Mawar berpaling menuju Papa Agung. "Eh, Pah. Berarti sebentar lagi kita sudah dapat satu calon ahli waris Mahawira Group ya, hehehe."

Lirikan mata Papa Agung langsung terlihat panik. Matanya mengerjap-ngerjap seperti sedang kelilipan. Ia memberi kode, meminta Mama Mawar untuk bisa menahan diri tidak kegirangan di depan anak mereka.

Sadar dengan alarm bisu dari suaminya menyala. Perlahan Mama Mawar melirik lagi ke arah Metha. Sungguh jelas bisa ia lihat sekarang, wajah anaknya masam dan menyorotnya dengan tatapan tajam.

"Senang ya Mama," sindir Metha.

Mama Mawar jadi salah tingkah. Untuk beberapa saat mulutnya terkatup rapat.

"Sudah-sudah, jangan perpanjang soal itu. Pokoknya kamu tenang aja, Papa akan bicara sama Om Darma supaya pernikahan kamu sama Alvan tetap berjalan."

"Atau bila perlu, kamu aja yang rawat bayi mereka," ceplos Mama Mawar.

Metha tercengang mendapat saran ibunya. Papa Agung juga sama tak kalah kagetnya.

"Jangan ngaco deh, Ma! Aku aja udah kecewa berat sama perbuatan mereka. Lantas gimana bisa aku rawat bayi mereka?!"

"Uh... sayang. Kamu harus bisa tahan kekesalan kamu. Kalau kamu bisa bersedia rawat bayi yang ada di dalam kandungan Megha. Mama yakin, Alvan pasti lebih memilih nikah sama kamu dari pada sama Megha. Apa lagi Om Darma, dia pasti jadi makin simpati sama kamu. Kamu menjadi satu-satunya perempuan yang bisa menerima Alvan apa adanya."

Papa Agung jadi ikut menimbang-nimbang, berdiri menyilangkan tangan seraya mengusap-usap jenggotnya.

"Tapi aku nggak sanggup Ma, kalau sampai harus jadi ibu buat anak mereka!" Metha terdengar semakin gusar.

"Papa rasa saran Mama benar."

Metha terbelalak oleh masukan Papa Agung. Ia kira Papa Agung akan turut menolak, nyatanya justru mendukung. "Pah!"

"Nak, anak itu calon ahli waris pertama. Besar buat dia menjadi pemimpin Mahawira Group suatu saat nanti. Apa lagi kalau yang lahir nantinya anak laki-laki, pasti Om Darma akan semakin senang. Sementara kalau kamu sama Alvan nikah dan punya anak, anak kalian akan menjadi anak kedua dalam silsilah keluarga dan berada di posisi dua di dalam kandidat kepemimpinan Mahawira Group."

"Aku akan didik anak aku lebih hebat dari anak Megha, Pa!"

"Tetap saja, Metha. Anak tertua akan menjadi pertimbangan utama. Lihat saja Alvan sekarang, antara dia dan Rako, Om Darma lebih banyak memberi Alvan peran dalam perusahaan."

Mama Mawar menambahkan menyiratkan ketakutan. "Kalau kamu nggak mau merawat anak itu. Kecil kemungkinan kamu bisa nikah sama Alvan."

Metha semakin merasa kusut hati. Ia kebingungan jalan mana yang harus ia telusuri. Masih teringat jelas bagaimana Alvan menyerah terhadap hubungan mereka karena merasa bersalah. Metha yakin, sedikit saja ia memberi ampunan Alvan pasti akan kembali berlari ke arahnya. Akan tetapi... jika ampunan itu harus ditambah dengan merawat seorang bayi hasil hubungan gelapnya? Ugh! Metha merasa jantungnya terkoyak.

***

Megha melangkah pelan menyusuri koridor apartemen. Sebentar lagi ia akan menjumpai Alvan di tempat tinggalnya. Megha memang mendapat akses khusus, berbeda dengan teman-teman Alvan lainnya, Megha memang bisa langsung memasuki lantai yang Alvan huni. Hal itulah yang memudahkan Megha melewati keamanan ketat di apartemen mewah itu. Sebuah hunian mewah berkonsep dua lantai, yang sudah Alvan tempati sejak tiga tahun lalu dari hasil kerja kerasnya di Mahawira Group.

"Mbak Megha." Setepen, satu dari dua asisten rumah tangga di apartemen Alvan membukakan pintu. Usianya baru 20 tahun, tapi keahliannya dalam bersih-bersih tidak kalah dengan emak-emak yang menjalani rumah tangga selama usia Setepen.

Setepen memiliki nama panjang Setepen Suhendar. Saat ia lahir, sebetulnya orangtuanya berminat memberikan ia nama Steven supaya terkesan keren dan kebule-bulean, namun sayangnya sang ayah yang kurang pandai menulis nama anaknya menambahkan huruf E setelah huruf S di formulir data pembuatan akta kelahiran. Dan menukar huruf V dengan P. Jadilah ia dipanggil Setepen, sesuai dengan pengucapan bahasa Indonesia.

"Silakan masuk, Mbak."

Next chapter