webnovel

Sebuah Gosip

Yang Melati tahu, orangtua Devano sering bepergian keluar negeri. Tentu saja karena urusan bisnis.

Hari itu, Melati yang baru mengambil air putih di dapur tidak sengaja mendengarkan perbicangan para ART rumah.

Mereka bergosip tentang hubungan keduanya.

"Betul itu, Tuan sama Nyonya bertahan karena anaknya saja. Ditambah lagi dengan anaknya yang saat ini cacat. Tentu akan menjadi masalah besar bila tahu akan hal itu."

"Hooh, apalagi mereka berdua berencana akan berpisah setelah Den Devano sehat total. Kasihan banget."

Melati menelan ludah. Lalu menampar pipinya bergantian. "Ini nyata, bukan mimpi," paparnya, lalu segera menemui Devano.

Pria itu kaget saat Melati datang dengan napas yang tersengal. Lalu bertanya, "apa ada masalah?"

Melati yang tidak ingin Tuannya merasa sedih pun berbohong. Ia membunyikan otot-otot tangan sebagai peregangan. "Aah, sedang berolahraga, Tuan," bohongnya.

"Ingin berpetualang?"

"Tentu." Melati buru-buru membawa Devano ke taman belakang. Bermaksud agar Devano tidak mendengarkan hal yang tak penting.

Sekilas, semuanya baik-baik saja.

Tanpa sengaja, Devano mendengar perbincangan sang Ibu dengan Ayah melalui ponsel.

Wanita yang memakai dress hitam dilengkapi dengan kalung liontin yang melingkar di lehernya. Tampak sangat cantik dan mewah.

"Apa? Kamu bertahan hanya karena anakmu sakit? Hah, aku benar-benar tidak menduga ini. Laki-laki brengsek!" makinya.

Dengan napas yang naik-turun Nyonya meninggalkan bangku taman. Ia tak mengetahui bahwa ada sepasang telinga yang berdiri nyaring. Hatinya sakit, terluka dan hancur.

Saat Melati datang, Devano hanya diam. Tidak menggubris sedikit pun ungkapan Nanny-nya.

"Loh, kenapa Tuan hanya diam saja? Tuan tidak menyukai buah yang saya bawakan?"

Hening. Seperti di tengah hutan yang dalam. Tidak ada suara manusia atau kendaraan. Suara angin menjadi utama kala itu.

Sekali lagi Melati bertanya, namun Devano sudah terbawa emosi dan langsung memarahinya tanpa sebab.

"Baik, saya akan diam," tutur Melati pasrah.

Di saat Melati pergi ke supermarket untuk membeli obat dan perlengkapan Devano, tak sengaja bertemu dengan Celine.

Gadis itu sedang bermesraan bersama seorang laki-laki. Tampan, rupawan dan sedikit mirip dengan Devano.

Mereka bisa dikatakan kembar. Bak pinang yang dibelah dua. Setiap lekukannya sangat mirip, tidak ada cacat.

Apakah dia kembaran Devano? Atau mungkin saudaranya. Melati tak berani bertanya. Dia merasa tak pantas. Dikarenakan dia hanya seorang pembantu, pikirnya.

Di luar dugaan, Celine menyapanya dengan begitu hangat. Sambil tersenyum, gadis cantik itu menghampiri Melati yang menunduk.

"Hai!"

"Ha--hai juga, Mbak," balasnya gagu.

"Hehe, enggak usah tegang gitu, Mel. Santai aja lagi," Celine menyikut lengannya dengan ramah.

"Btw, kamu lagi ngapain? Keliatan bingung gitu."

"Anu, saya lupa sama pesanan Tuan Devano."

"Pesanan? Hmp, biasanya Devano suka ini." Ia mengambil makanan ringan yang pedas dan memberikan kepada Melati.

"Pantasan Devano sulit move on, dianya baik banget," ungkap Melati dalam hati.

"Oh ya, aku duluan ya. Bye Melati, titip salam buat Devano." Melambaikan tangannya.

Tiga puluh menit berlalu. Melati selesai dengan belanjaannya. Gadis itu pulang dengan gembira. Karena pesanan Devano ada.

Bukannya ucapan terima kasih yang ia terima, ternyata makian. Melati menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum.

Devano terlanjur marah. Dengan alasan Melati kelamaan dan makanan yang ia mau sudah dingin.

6

"Kan bisa dipanasin, Tuan."

"Buang semua barang-barang ini. Sekarang!"

"Baiklah."

Devano yang tadinya ceria, berubah menjadi arogan dan dingin. Seperti beberapa waktu lalu.

Usut demi usut, Devano menyinggung soal rencana kedua orangtuanya. "Kamu tahu kalau mereka akan berpisah?" tudinnya dengan amarah yang meledak-ledak.

Gadis itu bingung, bagaimana Devano tahu akan hal itu? "Jawab, jangan hanya diam saja!"

"Iya, saya juga baru tahu, Tuan. Tap--"

"Bagus, hebat. Semua orang di rumah ini sudah tahu, tetapi ke apa tak ada seorang pun yang memberitahuku?" Devano membuang tongkatnya.

Brukkk!!

Laki-laki itu tergeletak di atas lantai, dengan cepat Melati membantu namun ditepisnya.

"Minggir! Aku ingin sendirian!"

Baru satu langkah ia berjalan, sudah dikejutkan lagi dengan hal yang tak terpikirkan. Devano memerintahkan agar gadis itu memilih semua sampah yang ada dengan tangannya sendiri, tanpa bantuan sapu.

Ia sedikit kecewa, tetapi mengerjakan apa yang dikatakan olehnya. Seharian Melati dibuat sibuk oleh tingkah Devano yang kekanakan.

Udara cukup dingin, bintang di langit terlihat malas untuk menampilkan diri. Mereka bersembunyi dibalik awan hitam.

Melati sedang memandang langit sendirian. Ditemani dengan secangkir teh di tangan.

Menghela napas berat. Bersandar pada dinding tembok. "Kupikir jadi orang kaya itu enak. Tapi cobaannya juga berat. Huh!"

Siapa menyangka bahwa harta yang banyak menjadi penyebab akhir dari suatu hubungan. Menjadi penghalang untuk merasakan indahnya kebersamaan.

Semuanya terlihat baik-baik saja, hingga pada saat itu ia mendapat kabar miring. Pemilik perusahaan ternama itu tengah berselingkuh dengan asistennya. Hal itu Melati tahu melalui televisi.

Ia juga mengatur ponsel Devano agar tidak mendapatkan berita buruk atau pun informasi yang sesat.

Di balik diamnya si Tuan, tersimpan sejuta misteri. Dibalik terangnya si Nyonya, menyimpan puluhan juta kesakitan.

"Bu, bagaimana keadaan di kampung? Sehatkan semuanya." Melati berbicara pada Ibunya melalui ponsel baru yang ia belikan. Ini bulan kedua dirinya bekerja di rumah Devano.

"Alhamdulillah baik semuanya, Nduk. Kamu bagaimana di sana? Sehat?"

"Tentu, Buk. Jika ada masalah, segera hubungi Ati ya." Tutupnya sebelum mengakhiri percakapan.

Air beriak tanda tak dalam, dia diam tanda penuh dengan beban. Akhir-akhir ini si Ibu atau Nyonya besar kerap berada di rumah.

Ia mengunci diri di kamar dan jarang menemui Devano. "Nyonya, apa nyonya baik-baik saja?"

"Baik, kamu urus saja Devano ya Ati. Tolong." Tersenyum.

Senyum kepalsuan. Bak ular yang melilit seekor tikus. Semakin bergerak, semakin erat. Rasanya percuma ditutupi dari Devano, laki-laki itu sudah tahu dengan orang ketiga itu.

Berita terkait retaknya rumah tangga orang terkaya nomor dua di Indonesia menyebar bak gula yang dikerumuni semut.

Seperti bangkai yang ditutupi dan tercium aroma busuknya. Wartawan datang dan timbul keributan di luar. Gerak Melati terbatas dan pandai-pandai mencari cara keluar membeli keperluannya.

"Susah juga ya jadi orang banyak duit. Ada masalah sedikit, langsung masuk koran. Emang lebih enak jadi orang sederhana. Gak ada yang peduli meskipun ada masalah besar. Huh, capek." Ia merebahkan badannya setelah seharian dibuat berdiri oleh Devano. Entah sengaja atau hanya melampiaskan kemarahannya. Melati terima.

Kau hanya akan baik di mata yang baik. Jika sudah ada kesalahan, maka kau akan selalu terlihat buruk bagi mereka yang hanya sekedar datang, namun tidak ingin tahu.

Pandailah dalam memilih teman, sebab banyak kepalsuan.

Next chapter