webnovel

LIU | 08

"Aku menunggu." Kata Gavin mendesak Gray saat ia tidak mendapatkan jawaban apapun darinya.

Sungguh, tatapan Gavin lebih menakutkan daripada ancaman orang tuanya yang sampai sekarang ia belum tahu apa yang akan ia dapatkan saat ia memberitahu idebtitasnya pada orang lain. Terutama pada sepupunya.

"Y-ya." Kata Gray setelah sekian lama ia beridam diri tanpa mengeluarkan suaranya.

Sungguh ia takut.

Ia tidak pernah berpikir akan berada di posisi seperti ini. Ia sudah cukup nyaman dengan dunianya yang menurutnya menyenangkan itu. Gray tidak tahu saja bahwa dunia luar itu lebih menyenangkan walaupun dunia luar itu terlihat begitu kejam.

"Dairmana? Darimana kau mengetahuinya?" Tanya Gavin lagi.

Diam, Gray kembali menutup mulutnya. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Memeberitahu Gavin adalah pilihan terburuk.

Ddrrtttt... Dddrrtttt...

Gavin merogoh kantong celananya saat ia merasakan ada getaran di bawah sana. Mengambilnya dan melihat siapa orang yang menghubunginya di jam segini.

"Paman?" Katanya mengerutkan keningnya saat melihat siapa yang menelponnya saat ini.

Gray merasakan jantungnya berdetak begitu cepat seperti jantungnya itu akan lepas serta keluar dari tempatnya saat tidak sengaja melihat handphone yang ada dalam genggaman Gavin.

Gray mencoba menarik tangannya dari genggaman Gavin yang tentu saja itu tidak akan berhasil.

Gavin yang melihat reaksi dari orang yang ada di depannya itu kembali di buat bingung. Gavin dapat melihat Gray begitu gelisah, wajahnya seketika pucat, serta keringat yang mulai berkeluaran.

Gavin menggerakkan tangannya untuk menekan tombol hijau tersebut bermaksud untuk mengangkatnya, namun ia mengurungkan niatnya saat melihat gerakan kepala Gray yang menggeleng dimana itu sebagai kode supaya Gavin tidak mengangkat telpon itu.

"J-jangan." Kata Gray dengan suara yang bergetar ketakutan.

Gavin diam sejenak untuk berpikir sampai--

"Aku tidak akan mengangkatnya. Tapi, ada harga yang harus kau bayar."

--ia mengeluarkan suaranya dimana Gavin membuat kesepakatan bersama Gray bermaksud mencari sedikit informasi.

Gray yang panik tidak tahu harus bagaimana langsung menganggukkan kepalanya tanda ia setuju dengan apa yang dikatakan Gavin.

"Baiklah." Katanya memasukkan kembaki handphonenya. "Kau harus menjelaskan segalanya." Lanjutnya menarik tangan Gray pergi dari sana.

Sementara Gray hanya diam mengikuti langkah kaki Gavin walaupun ia tidak tahu kemana Gavin akan membawanya. Gray sudah tidak tahu lagi, ia tidak bisa berpikir dengan jernih.

Gavin terus menarik tangan Gray untuk mengikuti langkah kakinya sampai pada dimana mereka sudah berada di dalam mansion. Tepatnya di ruang keluarga.

Gavin mendudukkan Gray di sofa yang ada di sana. Menatapnya sebentar membuat Gray yang ditatap semakin takut.

"Katakan, siapa kau? Aku tahu kau selama ini tinggal di sini, tapi aku tidak pernah mencari tahu tentang keberadaanmu sampai aku sudah tidak tahan lagi untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi."

Gray hanya bisa diam membisu.

"Kita sudah membuat kesepakatan atau kau mau aku menghubungi paman Fritz?"

Mendengar itu Gray langsung menatap ke arah Gavin tepat pada matanya seraya menggelengkan kepalanya brutal. Sungguh ia takut walau ia sendiri tidak tahu hukuman apa yang akan ia dapatkan.

"Katakan." Kata Gavin menuntut membuat Gray menundukkan kepalanya takut

"A-aku Gray." Katanya berusaha untuk tenang.

"Nama panjangmu?" Tanya Gavin membuat Gray berpikir sejenak.

Gray tidak mungkin memberitahu nama panjangnya bukan? Kalau Gray memberi tahunya, ia pasti akan terkena masalah.

"Aku masih menunggu."

"Gray Chilla Fritz." Katanya cepat saat mendengar suara Gavin seakan ingin membunuh seseorang.

Gavin? Jangan tanyakan lagi keadaannya. Ia tidak sebodoh itu untuk mengetahui nama keluarga yang di sandang oleh orang yang bernama Gray itu. Ia tidak bodoh dalam menangkap suatu situasi yang ada.

Pertama, nama keluarga orang yang bernama Gray itu Fritz

Kedua, orang yang bernama Gray itu tinggal di kediaman keluarga Fritz pamannya.

Ketiga, pamannya itu tidak pernah mau menerima bahkan sampai menanpung orang asing selama itu kecuali itu para pekerja yang dipekerjakan pamannya untuk mengurus mansionnya dan segala keperluan keluarganya itu.

Ketiga fakta tersebut sudah cukup memperkuat dugaan yang ada dalam benak nya.

"Terakhir, apa kau mengenal Arsenio Fritz? Apa hubunganmu dengannya?"

Tentu pertanyaan Gavin yang satu itu mampu membuat Gray diam seribu bahasa dengan jantung yang berdetak tidak beraturan.

"Aku bertanya padamu. Apa kau mengenalnya?" Tanya Gavin saat tidak mendapatkan jawaban apapun.

Diam, hanya ada keheningan yang tercipta di sana.

"Jangan katakan padaku bahwa kau anak dari Arsenio Fritz." Pernyataan ranjau dari Gavin mampu membuatnya tahu jawaban apa yang akan ia terima dapat dilihat dari bagaimana Gray bereaksi.

DEG!

Pernyataan Gavin itu mampu membuat Gray sedikit kesusahan dalam bernafas. Dalam selang waktu yang dekat, ia terus dikejutkan dan dibuat takut atas pernyataan, pertanyaan, serta perbuatan yang dilakukan maupun kata-kata yang di keluarkan dari mulut Gavin orang yang ada di depannya saat ini.

Gavin membulatkan matanya, terkejut. Ia tidak percaya bahwa dugaannya tersebut tidak meleset.

Gavin tidak pernah berpikir bahwa pamannya itu memiliki dua anak. Lalu kenapa pamannya itu menyembunyikan anak nya selama itu? Sampai anak itu sebesar ini? Itulah kira-kira yang ada dalam benak Gavin.

Ia masih berdiam diri dalam keterkejutannya dengan fakta yang baru saja ia ketahui. Sungguh luar biasa. Ia tidak habis pikir dengan jalan pikiran pamannya itu.

Gavin bertanya-tanya apa penyebab pamannya itu merahasiakan keberadaan anaknya ini.

Gavin juga tidak habis pikir bagaimana bisa pamannya itu hidup bahagia dan membiarkan salah satu anaknya hidup dalam penderitaan tanpa ada pengakuan dari sang ayah untuk mengakui keberadaan sang anak. Sungguh ini di luar akal pikirnya.

Gavin melihat ke arah Gray yang sepertinya kesulitan dalam bernafas. Ia berjongkok untuk menyamakan dirinya dengan Gray. Seketika ia dibuat panik detik itu juga saat melihat wajah Gray yang pucat serta nafasnya yang terputus-putus.

Gavin berpikir sejenak apa yang harus dia lakukan. Ia tidak tahu harus melakukan apa di saat seperti ini. Otaknya seakan berhenti berpikir saat ia terserang rasa panik yang mendadak seperti saat ini.

"Hei, kau mendengarku?" Tanyanya memegang pundak Gray

"Gray? Kau bisa mendengarku?" Tanyanya sekali lagi, kali ini ada sedikit guncangan yang ia lakukan berharap mendapatkan respon dari orang yang ada di depannya itu.

"Gray? Hei, sadarlah." Katanya menepuk pelan pipi Gray.

"Kalau kau bisa mendengar suaraku, ikuti apa yang aku katakan. Bernapaslah pelan-pelan. Ikuti aku. Tarik napas dalam-dalam, lalu buangkan dari mulut secara perlahan." Kata Gavin berharap mendapatkan reaksi dari Gray, namun pada kenyataannya ia tidak mendapatkan respon apapun yang membuat Gavin semakin panik.

Ia berlari meninggalkan Gray sendirian di sana menuju kamarnya untuk mengambil kunci mobilnya. Dia tidak mau mengambil resiko. Ia akan membawa Gray ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan yang lebih serius karena ia bukan seorang dokter ditambah ia tidak paham soal yang beginian.

Setelah mendapatkan apa yang ia cari, Gavin langsung berlari keluar kamar dan mengarah ke ruang keluarga dimana ia meninggalkan Gray sendirian di sana.

Gavin langsung menggendong tubuh Gray menuju ke mobilnya. Meletakkannya di bangku depan, serta measangkannya pengaman.

Gavin langsung menuju bangku kemudi, menghidupkan mobilnya dan melajukan mobilnya menuju rumah sakit. Gavin tidak ingin mengambil resiko.

Next chapter