webnovel

Rasa yang tidak bisa dipaksakan

Jam pelajaran ke 2 adalah olahraga. Semua murid kelas 12 IPA-1 itu keluar dari kelas menuju ruang ganti dan segera berkumpul di lapangan olahraga.

Nadia dan Yeri berjalan menuju titik kumpul. Semua pandangan beralih pada Nadia yang memakai kaos putih polos dan menguncir rambut nya dengan gaya ponytail.

"Apa ada yang salah denganku? Kenapa anak-anak menatap ku seperti itu?" bisik Nadia pada Yeri.

Yeri menggeleng. "Entahlah, aku sendiri juga tidak tau," sahutnya.

Tiba-tiba, Rafa datang entah darimana. Anak itu menarik kuncir rambut yang di pakai oleh Nadia dari arah belakang, membuat rambut indah Nadia jadi tergerai. Hal itu sukses membuat Nadia terpelonjat kaget.

"Apa yang kamu lakukan?" geram Nadia sebal.

"Jangan menguncir rambut mu seperti itu. Kamu jadi kelihatan sangat jelek," sahut Rafa.

"Apa urusannya denganmu? Kembalikan!" seru Nadia kesal.

Gadis itu melompat-lompat kecil berusaha mengambil kuncir rambut yang di pegang Rafa. Tubuh Rafa yang tinggi membuat Nadia tak sampai untuk menggapai nya.

Rafa tak menghiraukan Nadia yang terus memintanya untuk mengembalikan kuncir rambut nya itu. Rafa justru membuang kuncir rambut Nadia ke tempat sampah.

"Rafa, kamu itu nyebelin banget sih. Berhentilah mengganggu ku," sungut Nadia yang sudah tidak tahan lagi.

Gadis bertubuh mungil itu mengerutkan keningnya sambil memanyunkan bibirnya lucu. Rafa membungkuk kan badannya menyamakan tingginya dengan Nadia.

Wajah Rafa terpampang jelas di depan manik cantik Nadia. Ini benar-benar membuat jantung Nadia berdetak tidak karuan.

"Aku suka melihat mu kesal seperti ini. Jangan tunjukan raut wajah seperti ini pada anak laki-laki yang lain," ucap Rafa tepat di depan wajah Nadia.

"Kenapa?" tanya gadis itu.

"Mereka akan jatuh hati padamu!" sahut Rafa sambil menegakkan kembali tubuh nya.

Kemudian, Rafa berlalu begitu saja meninggalkan Nadia. Wajah Nadia merah merona karena perkataan yang di lontarkan oleh Rafa.

"Aish, ada apa denganku.." decak Nadia sambil menghentak-hentakkan kakinya gemas. Gadis cantik itu salah tingkah hanya karena perkataan Rafa.

Sementara Yeri hanya diam melihat pemandangan yang ada di depannya tadi. Gadis gembul itu menyunggingkan senyumnya.

"Kamu sudah bertemu dengan nya, Nadia.." batin Yeri.

Beberapa detik kemudian, terdengar suara riuh di lapangan. Semua anak berkumpul menyaksikan dua orang siswa dan siswi yang berdiri di tengah kerumunan.

Dua murid itu adalah Bianca Arsa Wijaya dan Kapten tim basket SMA Pelita Bangsa, yaitu Dilan Arkananta.

Dilan berdiri tepat di hadapan Bianca, sambil membawa buket bunga mawar dan juga boneka beruang berukuran sedang berwarna putih tulang.

"Bianca, aku selalu ingin mengatakan ini setiap melihat mu," ucap Dilan sambil menatap dalam manik cantik Bianca.

"Karena sangat berharga, aku menyimpan nya untuk ku katakan di saat yang tepat--" Dilan mengambil nafas dalam-dalam, lalu menghembuskan nafasnya perlahan. "dan ku rasa, ini adalah saat yang tepat..."

Dilan duduk berjongkok di bawah Bianca. Kepalanya mendongak melihat Bianca yang sedari tadi menatapnya dengan wajah datarnya, benar-benar tanpa ekspresi sama sekali.

"Aku menyukai mu, Bianca. Apa kamu mau berpacaran dengan ku?" tanya Dilan dengan serius dan penuh harap dalam pandangannya.

Suasana semakin riuh. Semua murid yang melihat itu langsung berteriak meminta Bianca untuk menerima ajakan kencan itu.

"Terimaa !! Terimaa !! Terima !!" sorakan dari para siswa siswi yang ada di lapangan.

Bianca mendengus pelan.

"Hei, mau bertaruh denganku?" bisik Yuna pada Lia.

"Untuk?" sahut Lia.

"200 ribu, Bianca akan menerima Dilan!" seru Yuna.

Lia mengernyit. "Baiklah. 200 ribu, Bianca akan menolak Dilan..."

"Deal!!" ucap Yuna sambil menyeringai.

Sementara itu, Bianca melihat ke arah Nadia yang dari tadi menatapnya tanpa berkedip. Melihat Bianca mengarahkan pandangan ke arahnya, Nadia tersenyum canggung. Ia tak mengerti maksud adiknya itu.

"Hei, terima saja, Bianca. Kalian cocok!!" seru salah seorang siswi yang ada di situ.

Bianca merotasikan kedua bola matanya malas. Lalu menatap Dilan yang masih duduk berjongkok di depannya itu.

Gadis itu menampilkan senyuman manis nya.

"Maaf. Aku tidak bisa," ucap Bianca singkat dan tegas.

Semua anak langsung terdiam mematung mendengar jawaban tidak terduga dari Bianca.

Yuna melongo di buatnya. Sementara Lia mengadahkan tangannya di depan Yuna.

"200 ribu!!" ucap Lia santai.

Yuna merogoh saku celananya, dan mengeluarkan beberapa lembar uang.

"Ck, beruntung lo kali ini." cebik gadis itu.

Lia terkekeh penuh kemenangan.

"Lo yang ngajak, lo juga yang kalah... Ckckck..." Lia menggelengkan kepalanya pelan.

Dengan senyuman yang memudar, Dilan berdiri menatap Bianca dengan tatapan sendu. Tidak menyangka gadis yang sangat ia harapkan itu akan mempermalukan dirinya seperti ini.

Benar, selama ini Dilan dan Bianca memang cukup dekat. Ya, tentunya sebelum Rafa pindah ke sekolah mereka. Bianca sering mengatakan bahwa dia nyaman dan tenang jika bersama dengan Dilan. Maka tidak salah bukan, jika Dilan mengira bahwa Bianca menaruh rasa padanya?

"Kenapa? Kenapa kamu menolak ku? Apa alasan mu?" tanya Dilan yang masih tidak percaya dengan penolakan dari Bianca.

"Aku tidak menyukai mu, Dilan. Maaf..." sahut Bianca tenang.

"Kamu bilang tidak menyukai ku?!" Nada bicara Dilan meninggi seketika.

Nadia mengepalkan tangannya kuat-kuat melihat adik nya di bentak oleh orang lain. Namun, gadis itu masih mengamati keadaan, dan berusaha untuk tetap tenang.

"Iya, aku tidak menyukai mu.." ucap Bianca memperjelas jawaban yang ia lontarkan.

"Lalu, apa kamu anggap selama ini aku mainan mu? Kamu bilang, kamu nyaman dekat dengan ku, kamu tenang saat bersama ku. Kenapa kamu pandai sekali mempermainkan perasaan orang lain, ha?" tukas Dilan di penuhi oleh amarah.

"Aku tidak pernah bilang padamu jika aku nyaman dan tenang saat bersama mu itu seperti layaknya seorang perempuan dan laki-laki. Aku nyaman dekat dengan mu karena aku menganggap mu sebagai temanku," jawab Bianca dengan tatapan dinginnya.

"Hentikan semua ini, dan jangan berharap berlebihan padaku.." sambung Jaemin.

Gadis itu kembali melirik ke arah kakaknya. Lagi-lagi sosok yang di liriknya itu tersenyum canggung.

Bianca kemudian menghela nafas berat. Memantapkan apa yang akan ia ucapkan.

"Karena aku sudah menyukai seseorang!" pungkasnya, dan berlalu begitu saja meninggalkan lapangan.

Dilan benar-benar di buat malu oleh Bianca. Anak itu membanting buket mawar dan boneka yang ada di tangannya, kemudian menginjak-injak nya dengan kasar.

"Gadis nggak tau diri. Kamu lihat aja nanti apa yang bisa aku lakukan padamu. Tidak akan aku biarkan kamu pergi begitu saja. Aku akan membuat perhitungan padamu karena sudah mempermalukan diriku," umpat Dilan dengan senyuman iblis nya.

***

Nadia dan Yeri duduk berdua di tangga dekat gudang olahraga. Ini saatnya jam istirahat, tetapi kedua siswi itu masih belum berganti pakaian dan lebih memilih untuk istirahat sejenak sambil berbincang kecil.

Sementara Rafa hendak keluar dari gudang olahraga. Ia baru saja mengembalikan beberapa peralatan olahraga yang tadi ia gunakan.

"Bukankah Bianca sedikit keterlaluan pada Dilan?"

Itu Yeri yang bertanya pada Nadia. Mendengar percakapan dua siswi itu, Rafa menghentikan langkahnya yang hendak keluar dari gudang olahraga itu.

Nadia menggeleng pelan. "Menurut ku tidak," sahut gadis cantik itu.

"Kenapa? Kamu mau bela dia lagi?" gerutu Yeri.

"Tidak. Aku tidak membelanya kali ini. Yang di lakukan Bianca itu benar, jika kamu tidak menyukai seseorang lebih baik jujur dan mengatakan nya," jelas Nadia pada teman gembul nya itu.

"Tapi, selama ini dia dekat dengan Dilan. Ck, bisa-bisanya dia bilang kalau dia tidak menyukai Dilan," cebik Yeri.

"Dekat bukan berarti memiliki rasa, Yeri..." sahut Nadia tersenyum tipis.

Yeri mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Tapi, aku akui Dilan sangat berani. Bukan begitu?" tanya Yeri.

"Ya, kamu benar. Tidak semua anak laki-laki berani mengambil resiko seperti itu," sahut Nadia.

"Apa suatu saat, kamu juga mau diperlakukan seperti itu jika ada yang ingin mengungkapkan perasaannya padamu?" tanya Yeri dengan serius.

Saat mendengar Yeri yang bertanya seperti itu pada Nadia, Rafa semakin serius mendengarkan percakapan mereka. Telinganya ia tempelkan ke dinding gudang olahraga itu agar bisa mendengar lebih jelas.

"Tidak perlu. Jika memang ada yang ingin mengungkapkan perasaannya padaku, tidak perlu melakukan hal seperti itu. Cukup ungkap kan saja dengan tulus. Jika memang dia berhasil menyentuh hatiku mungkin aku akan langsung menerima nya," ucap Nadia sambil cengengesan.

Karena dinding gudang itu berhimpitan dengan rak bola, Rafa tak sengaja mendorong rak itu dengan tubuh bongsornya.

*Grubyakkk!!!

Suara riuh terdengar dari dalam gudang membuat Nadia dan Yeri terkejut. Rak bola itu ambruk karena senggolan tubuh Rafa.

Nadia dan Yeri masuk ke dalam gudang untuk mengecek apa yang terjadi. Pasang manik kedua gadis itu terbelalak melihat Rafa yang cengengesan memunguti bola-bola yang berjatuhan.

"Rafandra?!" ucap Nadia dan Yeri bersamaan.

"Ehehe..." Rafa menyengir tak berdosa.

"Bantu aku..." sambung siswa berhidung mancung itu.

.

Next chapter