Masih di hutan perbatasan Negara, Liza bersama Raul memilih untuk berdiam diri sementara waktu di sebuah gua kecil di lereng gunung. Menyembunyikan diri disana untuk menghindari serangan hewan buas dan cuaca buruk diluar. Juga tentunya bersembunyi agar Christ tidak menemukannya.
"Kakak yakin ingin aku mengajari astral projection 'sekarang'? Disini? Di gua ini?" Raul bertanya untuk memastikan permohonan Liza sekali lagi.
"Iya. Sekarang tolong cepat ajari aku. Kita tidak punya banyak waktu, kan? Itu karena kau tidak bisa bertahan lama berada di dunia fisik. Jadi aku mohon lakukan sekarang. Aku ingin menemui kakek," pinta Liza dengan teramat memohon.
Sudah kesekian kalinya Raul meminta Liza mempertimbangkan keinginan itu. Tapi sepertinya kakak semata wayangnya itu tidak peduli dengan resiko dan keadaan tubuhnya sendiri. Jadi Raul pun menyerah.
Terlihat Raul mengembuskan napas berat. Lalu berkata dengan pelan.
"Baiklah, Kak. Aku akan mencoba mengajari kakak cara astral projection. Kedengarannya mungkin mudah, tapi tidak dengan prakteknya. Jadi kakak harus simak baik-baik. Karena sekali kakak melakukan kesalahan, kemungkinan terburuk kakak tidak akan bisa kembali ke tubuh fisik. Dengan kata lain ... meninggal."
Liza terlihat menelan ludah. Lalu menganggukkan kepala dan mencoba memasang raut wajah yakin.
"Namun sebelum memberikan instruksi tentang astral projection, aku ingin menjelaskan dulu tentang makna warna mata yang dimiliki penyihir putih. Karena ini berkaitan dengan kekuatan sihir yang dimiliki," sahut Raul kemudian.
Liza mengangguk patuh. Terlihat menyimak dengan serius.
"Tentunya kakak sudah belajar tentang energi cakra di buku kakak. Sihir yang kita keluarkan berasal dari tujuh cakra yang tersebar di tubuh kita. Masing-masing memiliki warna dan fungsi kekuatan. Dan itu ada hubungannya dengan warna mata penyihir. Warna mata menunjukkan tingkatan kekuatan dan warna cakra yang mampu mereka kuasai. Seperti contoh, arwah kakek penyihir putih bermata biru. Beliau hanya spesifik mengendalikan cakra tenggorokan yang memiliki warna cakra biru, sesuai warna matanya. Dan cakra tenggorokan itu berfungsi mengeluarkan sihir manipulasi keberanian dan motivasi diri maupun orang lain."
Jeda menarik napas, Raul pun kembali melanjutkan. "Setiap penyihir putih yang dianugrahi satu warna, akan mampu mengendalikan satu warna cakra. Kecuali kita, penyihir bermata ungu seperti kita."
Liza menyerngit bingung. "Kecuali kita? Mengapa bisa begitu?"
"Kita para penyihir putih bermata ungu diberi anugrah untuk mampu mengendalikan semua tujuh cakra di tubuh kita. Oleh sebab itulah kita dijuluki penyihir putih legendaris. Dan karena keistimewaan itu, penyihir putih bermata ungu dapat menyelaraskan tujuh energi cakra itu untuk membuka gerbang gaib dan membuat rohnya menyebrang ke dimensi astral," tutur Raul menjelaskan.
Liza cukup paham dengan penjelasan Raul. Tapi itu belum bisa menjawab dua pertanyaan yang tersisa dikepalanya. Pertama, tentang Christ yang juga memiliki kemampuan untuk menyeberang ke dimensi astral juga. Apa itu berarti dia juga bisa menyelaraskan tujuh energi cakra? Tapi bola matanya merah. Tapi kadang berubah coklat. Sebenarnya apa dia?
Lalu Liza kembali teringat saat momen dimana dia tidak sengaja masuk ke dimensi astral saat kecelakaan di Arlbergh.
"Tunggu. Beberapa waktu lalu rohku pernah tidak sengaja terlempar ke dimensi astral. Apa itu hanya kebetulan?" tanya Liza kemudian.
Raul lantas menggeleng. "Untuk soal itu ... aku menduga pada saat itu kakak sebenarnya hampir mati. Tapi mungkin karena jiwa kakak menolak untuk mati, kakak bisa kembali ke dunia lagi. Itu hal yang langka, karena mustahil kakak bisa terlempar ke dimensi astral kalau tidak nyaris mati. Apalagi pada saat itu kakak tidak punya kemampuan astral projection, kan."
"Menolak untuk mati?" Dari sekian penjelasan Raul barusan, Liza justru tertarik dengan kata itu. "Apa memang benar ada yang seperti itu?" tanya Liza agak kurang yakin.
"Entahlah." Raul mengendikkan bahu sebagai jawaban ketidaktahuannya. "Itu hanya hipotesa ngawurku, sih. Hehe." cengirnya iseng.
Berpikir sejenak, Liza kembali tenggelam dalam pikirannya. Tapi itu tidak lama, sampai Raul kembali bersuara.
"Baiklah. Untuk mempersingkat waktu mari kita mulai saja. Pertama, kakak harus membaringkan tubuh dengan posisi terlentang. Di tahap ini kakak harus serileks mungkin. Kakak hanya perlu mendengarkan instruksiku. Tanpa perlu bicara sepatah katapun," ucap Raul memulai instruksi.
Liza pun menurut. Mencari tempat pas untuknya berbaring tenang dengan memindahkan satu batu gua yang permukaannya cukup rata ke lantai gua untuk alas tidurnya. Lalu ia pun memejamkan mata dengan lembut. Dan bersiap mendengarkan instruksi selanjutnya.
"Rasakan keberadaan tujuh aliran cakra energi dalam tubuh kakak. Atur ketujuh cakra itu serileks mungkin. Hubungkan dan selaraskan mereka dengan tiap napas kakak," ucap Raul lagi.
'Apa? Rasakan? Atur, kemudian ... argh! Aku tidak mengerti!' Liza ngedumel dalam hati.
Liza perlahan mulai merasakan keberadaan tujuh cakra energi dalam tubuhnya. Ketujuh energi itu seperti menyebar di titik-titik tertentu dalam tubuhnya.
Namun saat Liza ingin mencoba mengatur tujuh cakra itu sekaligus, ia mengalami kesulitan. Ada energi yang stuck, bahkan ada yang bergerak tidak beraturan. Dia tidak bisa mengendalikan ketujuhnya apalagi menghubungkan dan menyelaraskan mereka.
'Astaga! Susah sekali mengendalikan energi ini!' Liza membatin kesal.
Tanpa Liza sadari, titik demi titik keringat mulai bermunculan di seputaran kening hingga lehernya. Dan hal itu yang dilihat oleh Raul.
Bersamaan dengan itu, tubuh Raul perlahan mulai memudar. Waktunya sudah hampir habis. Tidak akan lama lagi pasti tubuhnya akan kembali berubah menjadi cahaya. Dan sebelum hal itu terjadi, Raul harus segera pulang ke dimensi astral--kalau tidak ingin arwahnya benar-benar lenyap dari dunia.
Tentu Raul tidak ingin hal itu terjadi. Jadi ia pun segera membangunkan Liza.
"Kak Adera ... Maaf, menganggumu. Tapi tolong buka matamu. Waktuku sudah habis. Jadi kuharap kak Adera segera membukakan gerbang astral agar aku bisa kembali ke dimensi astral. Kalau aku tidak kembali, arwahku akan lenyap dari dunia ini."
Liza yang mendengar itu pun langsung membuka mata dan bangkit dengan cepat.
"Astaga! Kalau dipikir lagi kau juga sudah cukup lama disini ya!" panik Liza kemudian. "Kalau begitu kau harus segera kembali, Raul!"
Raul menunduk dan merasa bersalah. "Iya. Maaf, Kak."
"Tidak papa." Liza tersenyum. "Lagipula, sepertinya aku tidak bisa melanjutkan proses astral projection ini sekarang. Aku masih belum bisa menyelaraskan energi cakra sesuai instruksi." Lalu ia pun terkekeh.
"Ah." Raul terperangah saat menyadari sesuatu. "Mungkin itu karena kakak tadi baru saja mengeluarkan sihir untuk membuka gerbang gaib beberapa kali. Dan itu memang cukup menguras energi. Apalagi kakak belum mampu mengontrol energi cakra kakak. Tidak heran kalau sekarang energi cakra kakak menjadi kacau."
"Hm," Liza tampak bergumam. "Jadi bagaimana caranya agar energiku pulih kembali?"
"Jangan khawatir. Energi kakak akan normal sampai kondisi tubuh kakak benar-benar prima. Jadi kakak harus beristirahat total," jawab Raul menenangkan.
Liza pun mengangguk mengerti. "Kau benar. Dan untuk itu, sepertinya aku harus kembali ke kampung halamanku untuk terlebih dahulu, di Bernsberg. Jaraknya lumayan jauh, tapi disana mungkin aku akan aman dan bisa beristirahat total. Lalu setelah energiku pulih, aku akan segera melanjutkan perjalanan Innsbruck. Dengan begitu aku bisa menyebrang ke dimensi astral untuk bertemu kakek."
"Bernsberg?" kata Raul dengan nada heran. "Apakah tempat itu cukup aman untuk bersembunyi?"
Liza mengangguk semangat. "Ya. Aku baru ingat. Kampung halamanku cukup terpencil karena kerap terjadi hujan salju lebat. Butuh mobil pemecah es jika pendatang ingin pergi kesana menaiki mobil. Biasanya orang-orang akan memilih melanjutkan perjalanan kesana dengan mendaki atau naik kereta salju. Jadi kupikir Christ tidak terpikir untuk mengejarku ke tempat itu."
Raul menghela napas sejenak. "Baiklah kalau kakak yakin dengan tempat persembunyian itu. Jadi sebaiknya kakak harus segera kesana!"
Liza mengangguk mantap.
"Ya. Sebelum pergi aku akan membukakan gerbang portal untukmu agar bisa pulang!"
Raul tersenyum. "Terimakasih kak. Aku tunggu kedatangan kakak di hutan Innsbruck," ucap Raul seraya melambaikan tangan.
"Baiklah."
Liza pun segera membukakan gerbang gaib itu dan arwah Raul pun terbang melaluinya.
Namun saat Liza mengucapkan matra untuk menutup gerbang itu, mendadak Liza dikejutkan oleh satu keanehan, saat sepasang telinganya mendengar suara yang sangat gaduh. Kedengarannya berasal dari dalam gerbang gaib itu.
Suaranya seperti derap langkah yang banyak sekali. Terdengar tidak beraturan. Bahkan sesekali ada suara ledakan-ledakan yang memekakkan gendang telinga. Juga teriakan kemarahan yang menggema dari sana.
"Astaga! Apa terjadi pertempuran disana?" tanya Liza panik.
Pintu gerbangnya sudah tertutup separuh. Dan Raul sudah terlanjur berjalan jauh sebelum Liza sempat bertanya apa yang terjadi disana. Sekilas Liza melihat punggung Raul sudah menghilang dibalik kabut dan debu pertarungan disana. Jadi Liza pun tidak bisa melihat keberadaan pria itu lagi.
Antara penasaran dan takut, Liza mengendap dan mencoba masuk ke gerbang gaib yang celahnya tersisa setengah itu. Dan ternyata gagal. Naas, tubuh Liza malah terlempar keluar hingga hampir menumbuk stalakmit gua. Seperti ada reaksi tolakan keras dari gerbang itu.
Benar kata Raul. Tubuh fisik manusia ternyata tidak bisa menembus dimensi astral. Memang satu-satunya cara untuk bisa pergi kesana harus dalam wujud roh.
Kembali Liza menengok ke dimensi astral itu. Berharap menemukan keberadaan Raul dibalik kabut debu itu. Dia sangat mencemaskan Raul.
Alih-alih menemukan Raul, justru yang Liza ketemukan adalah ...
"Tunggu. Bukannya dia ..." Liza sedikit memicingkan mata, memastikan penghilatannya tidak salah.
Merasa mengenal sosok yang menjadi sorotannya itu, Liza sontak membelalakkan mata. Kaget luar biasa.
"CHRIST??"
**
To be continued