webnovel

MCMM 67

Walaupun dirimu telah menolak cinta yang kuberikan, entah kenapa rasa cinta ini tidak mau pergi dariku.

Tapi bila kepergianku dapat membawa kebahagiaan bagi dirimu dan orang lain, aku rela menjauh darimu.

⭐⭐⭐⭐

Happy Reading ❤

"Gimana kak? Mas Banyu mau diajak ketemuan?" tanya Aidan penasaran. Di sampingnya Nabila memandang Gladys dengan pandangan ingin tahu. Saat Banyu makan siang bersama Senja, Gladys juga sedang makan siang bersama Aidan dan Nabila di sebuah foodcourt. Rencananya hari ini mereka mau menjenguk Pramudya di rumahnya.

"Nggak dibalas, Dan. Gimana ya caranya biar mas Banyu mau bertemu om Pram?"

"Kak Gladys dan mas Banyu beneran sudahan nih?" tanya Nabila kecewa.

"Kenapa dek? Kamu kecewa?" Nabila mengangguk dengan mata berkaca-kaca.

"Setiap shalat malam adek selalu mendoakan agar kakak dan mas Banyu bisa menikah." Gladys terharu mendengar ucapan Nabila. Dipeluknya bahu Nabila yang duduk di sampingnya. Hatinya pun sudah semakin sayang kepada Nabila dan Aidan.

"Terima kasih ya, dek. Kak Gladys sayang sama kalian dan ibu. Kalian sudah seperti keluarga buat kak Gladys. Insyaa Allah silahturahmi kita nggak akan terputus walaupun kakak dan mas Banyu tidak bisa bersatu."

"Kak Gladys mau menerima mas Lukas?" Gladys memang sudah menceritakan kepada mereka mengenai Lukas. "Bagaimana kalau nanti mas Lukas nggak membolehkan kakak bertemu dengan kami?"

"Hingga saat ini kakak masih belum bisa menetapkan pilihan."

"Tapi waktu yang eyang Tari berikan semakin menipis, kak."

"Apakah kakak harus berjuang lagi untuk mengejar cinta mas Banyu?" tanya Gladys.

"Memangnya kak Gladys nggak lelah dicuekin dan dijutekin sama mas Banyu?" tanya Aidan.

"Hingga saat ini hati kakak masih belum mau menyerah walaupun kakak mencoba membuka hati untuk mengenal Lukas. Tapi kakak juga nggak terlalu yakin bisa merebut hati mas Banyu."

"Kak, bagaimana kalau bila waktunya habis dan mas Banyu tetap menolak? Sementara dokter Lukas sepertinya lebih siap mengajak kakak menikah." tanya Nabila dengan wajah sedih.

"Kalau memang tetap tak bisa bersatu, ya mau apalagi. Mungkin kakak harus menerima takdir menikah dengan Lukas. Kakak pasti akan sedih dan sakit hati kalau ternyata mas Banyu lebih mencintai dan memilih Senja. Tapi kakak akan terlihat lebih menyedihkan kalau ternyata mas Banyu hanya pura-pura mencintai dan memaksakan diri untuk mendampingi kakak."

"Aah, Bila jadi baper dengar kakak ngomong kayak gitu. Kenapa sih cinta serumit itu? Benar kata ustadzah, mencintai manusia jauh lebih rumit karena manusia terlalu banyak menuntut. Lebih baik mencintai Allah yang tak pernah menuntut hambanya. Cinta Allah kepada makhluk-Nya adalah cinta tanpa syarat."

"Cinta menjadi rumit saat seseorang menetapkan berbagai syarat dan banyak menuntut. Tapi cinta akan terasa indah bila dilakukan semata-mata karena Allah. Bukan karena nafsu semata."

"Mas Aidan, kayaknya itu kak Senja ya?" tanya Nabila sambil menunjuk ke arah wanita yang berdiri membelakangi tempat mereka duduk.

"Hmm... kayaknya iya. Coba kakak kesana untuk menegur kak Senja." Aidan sudah hendak berdiri ketika Gladys menahan tangannya. "Kak, kenapa..."

"Sudah duduk saja. Sepertinya sekarang bukan waktu yang tepat untuk berbasa-basi dengan Senja. Nanti suasana malah jadi nggak enak." Dengan dagunya Gladys menunjuk ke arah Senja. Aidan dan Nabila baru menyadari kenapa sikap Gladys yang mendadak aneh. Ternyata ada Banyu dan Mila yang menghampiri Senja. Dapat terlihat betapa mesra sikap Banyu kepada Senja.

"Kak... kak Gladys nggak kenapa-napa kan?" tanya Nabila dengan mata berkaca-kaca. Sekuat tenaga ia menahan air matanya. Sementara itu Aidan menatap ke arah Senja dan Banyu dengan tatapan marah.

"Kakak nggak papa. Yuk makannya dihabiskan. Setelah itu kita cari buah untuk om Pram, sekalian kita beli mainan untuk dek Daffa." Gladys berbicara dengan cepat sambil membuang pandangannya. Ia paksakan dirinya untuk tegar dan tetap tersenyum, walaupun rasanya ada yang direnggut paksa dari hatinya. Kenapa rasanya sesakit ini, padahal dulu tak sesakit ini saat Evan mengkhianati hubungan mereka.

"Kak, biarkan Aidan menegur mas Banyu. Nggak pantas banget, jalan kok sama istri orang."

"Jangan, Dan. Mereka kan tidak pergi berdua. Tuh ada kak Mila, sepupu Senja sekaligus sahabat mas Banyu." Gladys berusaha menenangkan Aidan yang tampak emosi. "Lagipula kakak nggak punya hak melarang mas Banyu. Ingat saat ini kami nggak ada hubungan apapun."

"Tapi kak..."

"Sudah Dan. Kakak baik-baik saja kok." Aidan hanya bisa menatap Banyu yang bersikap mesra pada Senja. Dengan gusar, Aidan mengeluarkan hpnya dan mendial sebuah nomor.

"Assalaamu'alaykum." sapa Aidan ketus.

"Wa'alaykumussalaam." balas Banyu.

"Mas, jenguk ayah yuk." ajak Aidan tanpa basa-basi. "Umur ayah sudah nggak lama lagi. Kakak akan menyesal kalau tidak menemui ayah."

"Sorry.. mas Banyu nggak bisa. Mas lagi sibuk. Masih ada asistensi," jawab Banyu dari seberang sana.

"Mas, apa susahnya sih memenuhi keinginan orang yang ajalnya sudah dekat? Apalagi ini ayah kita, bukan orang lain. Asistensi model apa yang dilakukan di mall?" sentak Aidan kesal sambil memutus hubungan.

"Kak, ayo kita keluar lewat pintu itu. Cari hadiah buat Daffa di tempat lain aja. Aidan mendadak nggak suka sama mall ini. Aidan tahu dimana ada toko yang jual mainan bagus tapi harganya nggak mahal." Kelihatan sekali betapa Aidan sangat kecewa pada Banyu.

"Mas Aidan, pelan-pelan dong jalannya. Nggak usah pakai tarik-tarik tangan bisa nggak?" omel Nabila yang ditarik oleh Aidan untuk segera meninggalkan foodcourt tempat mereka makan. Dalam diamnya Gladys mengikuti mereka.

Sementara itu Banyu terkejut dengan ucapan terakhir Aidan. Bagaimana Aidan bisa tahu kalau saat ini ia berada di mall? Banyu tersentak saat mendengar suara yang mirip suara Nabila. Ia mencari-cari namun tak menemukan yang dicarinya. Ah, apakah aku salah dengar? pikir Banyu.

"Kenapa Nyu?" tanya Senja sambil menyentuh lembut lengan Banyu. "Kok kayak orang bingung gitu, sih?"

"Nyu, elo kayak ke gap lagi selingkuh deh." ledek Mila sambil terkekeh. "Biasa aja kali. Gue tau, jalan sama selingkuhan lebih memicu adrenalin daripada jalan sama yang resmi."

Banyu tak menanggapi ucapan Mila. Ia masih sibuk dengan pikirannya. Ia benar-benar yakin mendengar suara Nabila. Apakah mereka berdua sedang berada di mall ini? Kalau mereka ada di mall, berarti mereka bersama... Aaah nggak mungkin, bantahnya dalam hati. Ngapain juga mereka bertemu dengan Gladys. Eh, tapi mereka kan memang sering bertemu dengan gadis itu.

"Nyu, kamu nggak kenapa-napa kan?" tanya Senja sekali lagi.

"Eh.. kenapa sayang? Eh.. ma-maaf.. aku kelepasan."

"Elo tuh kenapa sih?" tanya Mila penasaran.

"Nggak papa. Mila, elo yang akan antar Senja pulang kan?"

"Ya iyalah. Elo ingat kan apa kata si Thoriq tadi? Ini bisa berbalik menjadi delik aduan perselingkuhan, kalau sampai Awan melihat kalian sering bertemu walau ada orang lain."

"Iya gue ingat." sahut Banyu. "Kamu pulang sama Mila ya. Hati-hati di jalan. Nanti kabari aku kalau sudah sampai di rumah."

Sepeninggal Senja dan Mila, Banyu mencoba menghubungi Aidan namun tak diangkat. Demikian juga saat ia mencoba menghubungi Gladys. Tak ada respon sama sekali. Akhirnya ia memutuskan menelpon Nabila.

"Assalaamu'alaykum, dek."

"Wa'alaykumussalaam, mas."

"Kamu dimana?"

"Lagi cari hadiah buat dek Daffa. Hari ini dia ulang tahun kan."

"Kalian mau ke rumah lelaki itu?"

"Ayah.. lelaki itu ayah kita, mas. Iya adek mau kesana."

"Kamu lagi bareng Aidan dan ...." Banyu tak melanjutkan ucapannya.

"Ngapain mas Banyu tanya-tanya? Kepo banget deh."

"Dek, mas kan nanya baik-baik. Kok kamu gitu sih jawabnya," Banyu melembutkan suaranya. Ia sebenarnya sudah lelah menghadapi kedua adiknya yang kini sering bersikap dingin padanya. Mereka tetap menghormatinya, namun sikap mereka tak seramah dulu. Seolah ada dinding tinggi di antar mereka.

"Soalnya sekarang mas Banyu menyebalkan." balas Nabila ketus.

"Mas susul kamu ya?"

"Mau ngapain nyusul-nyusul segala? Kan mas Banyu nggak mau ketemu sama kak Gladys."

"Oh, kalian sedang bersama Gladys. Mas susul kalian ya. Ada yang mas mau bicarakan dengan kak Gladys."

"Kak, gimana?" tanya Nabila sambil berbisik pada Gladys.

"Apanya?"

"Mas Banyu mau nyusul kesini."

"Ya sudah, suruh aja dia kesini. Sekalian kakak mau ajak mas Banyu untuk menjenguk om Pram."

"Mas boleh kesini, tapi mas harus mau ikut ke rumah ayah. Gimana?" Lama Banyu terdiam. "Mas, gimana? Jangan kelamaan ah diamnya. Pegel nih nunggunya."

"Oke, tapi sebelum ke rumah lelaki itu mas Banyu mau ngomong dulu sama Gladys."

Tak sampai setengah jam, Banyu telah bertemu dengan Gladys dan kedua adiknya. Kedatangannya disambut dengan tatapan heran dari Aidan.

"Mas Banyu ngapain kesini? Bukannya tadi lagi asistensi ya?" sindir Aidan. "Sudah selesai asistensi sama binor?"

"Dan, jangan begitu sama mas mu," tegur Gladys. "Mas mu itu pasti punya alasan sendiri."

"Alasannya cuma satu, merusak rumah tangga orang." sindir Aidan. Banyu hanya diam tak bereaksi.

"Mas, bisa kita bicara?" tanya Gladys. "Dan, kamu dan dek Bila lanjutin cari mainan untuk dek Daffa. Nanti kalau sudah dapat, bilang sama kakak ya."

Aidan dan Nabila tanpa protes menuruti ucapan Gladys. Hal yang membuat Banyu heran, karena dulu kedua adiknya tak sedekat ini dengan Senja. Apakah karena saat itu mereka masih kecil? Tapi bukankah anak kecil biasanya lebih mudah akrab?

Banyu dan Gladys duduk berhadapan di sebuah coffee shop. Mereka saling menatap tanpa banyak bicara. Entah apa yang mereka rasakan satu dengan yang lain.

"Maaf." Akhirnya Banyu memecah keheningan di antara mereka.

"Aku yang seharusnya minta maaf sama kamu, mas. Aku sudah membuat hidupmu menjadi rumit. Seandainya saja kita nggak pernah dipertemukan, kita takkan saling menyakiti seperti saat ini. Tapi aku nggak pernah menyesal diberi kesempatan ini, karena aku bisa bertemu dengan orang-orang hebat seperti kamu dan keluargamu. Aku banyak belajar dari kalian."

"Bagaimana kabarmu? Maaf aku tidak menjenguk saat kamu dirawat kemarin."

"Nggak papa. Aku sudah sehat. Nih buktinya sudah bisa ajak Aidan dan Nabila jalan."

"Maaf."

"Kenapa sih dari tadi mas Banyu minta maaf terus? Belum lebaran lho ini, mas." Gladys mencoba bercanda.

"Maaf aku terus menerus menyakitimu."

"Aku nggak mungkin bilang, it's okay. Everything will be alright. Karena kenyataannya memang tidak seperti itu. Aku hanya ingin bilang kalau aku belum menyerah. Aku terlanjur jatuh cinta kepadamu. Hehehe... tragis ya. Kita ini seolah pelakon yang sedang berakting di atas panggung. Entah kita terlibat cinta segi berapa. Aku mencintaimu, namun di saat bersamaan kamu mencintai Senja. Sementara itu seseorang yang tak kucintai justru mencintaiku sepenuh hati dan tak menyerah memperjuangkan cintanya. Sama seperti aku yang inginnya tak berhenti memperjuangkanmu."

"Dys....." Banyu tak sanggup mengucapkan kalimatnya.

"Di saat aku belum memiliki rasa padamu, kamu selalu memanggilku princess. Itu membuatku merasa sangat istimewa. Tapi disaat aku telah jatuh cinta padamu, panggilan itu tak pernah lagi kudengar terucap dari mulutmu. Membuatku semakin merasa aku tak memiliki arti apapun dalam hidupmu."

Banyu hanya terdiam. Ditatapnya wajah Gladys yang selalu terlihat cantik namun kini terlihat lebih kurus. Matanya tak lagi bercahaya seperti dulu. Walau bibirnya senantiasa tersenyum, namun kini matanya memancarkan luka. Luka yang telah kubuat, batin Banyu. Ingin rasanya aku memeluk erat tubuh mungilnya dan membisikkan bahwa semua akan baik-baik saja.

Banyu meraih tangan Gladys dan dikecupnya punggung tangan gadis itu. "Sekali lagi maaf atas semua luka yang telah kutorehkan di hatimu. Kamu wanita istimewa yang pernah hadir dalam hidupku. Seandainya saja kita bertemu jauh sebelum aku bertemu dengannya, mungkin keadaannya akan berbeda."

Hati Gladys berdesir saat Banyu mencium punggung tangannya. Ingin rasanya ia menghambur ke dalam pelukan Banyu yang ia yakin akan memberikan ketenangan dan kehangatan. Hey, sadar Dys. He's not your man. Akhirnya yang bisa Gladys lakukan hanyalah memaksakan senyum termanis walau di dalam hati ia ingin menangis dan menjerit.

"Apakah hatimu benar-benar tertutup untukku? Bahkan bila kukatakan aku belum menerima Lukas sebagai calon suamiku?" Banyu hanya menggenggam erat tangan Gladys.

"Diamnya kamu menjawab semuanya, mas. Tragis, benar-benar tragis. Disini, aku berusaha mengemis agar dicintai olehmu. Padahal aku tahu pasti hati dan pikiranmu saat ini tak bersamaku. Sungguh beruntung menjadi seorang Senja yang dicintai secara bersamaan olehmu dan Awan. Maaf aku egois. Aku nggak bisa mendoakan kebahagiaanmu."

"Dys, jangan bilang begitu. Suatu saat nanti kamu pasti akan menemukan lelaki yang jauh lebih baik dariku dan mencintaimu."

"Aku tak menginginkan cinta orang lain. Aku hanya menginginkan diri dan hatimu."

"Dys, aku nggak bisa. Senja sangat membutuhkanku. Dia mengalami KDRT. Aku ingin mendampingi dia disaat-saat seperti sekarang. Aku tak bisa meninggalkan dia. Kamu memiliki Lukas yang sangat mencintaimu."

"Walau aku tak mencintai Lukas?"

"Stop Dys. Berhentilah mengejar dan mengharapkanku. Carilah kebahagiaanmu bersama yang lain."

"Senja sungguh beruntung, mencintai orang yang juga mencintainya dengan tulus." Suara Gladys terdengar bergetar. Keheningan kembali melingkupi mereka berdua.

"Kak, ayo kita ke rumah ayah. Tadi om Agus telpon, katanya dek Daffa sudah nungguin. Itu mas Aidan sudah menemukan mainan yang pas untuk dek Daffa." Nabila mendekati mereka.

"Mas, please kali ini ikut ya sama kita ke rumah om Pram, ayahmu. Hari ini Daffa berulang tahun." pinta Gladys. "Aku berjanji akan berhenti mengejarmu asalkan kamu mau berbaikan dengan om Pram."

Dengan berat hati akhirnya Gladys mengambil keputusan seperti itu. Biarlah aku mengorbankan perasaanku demi kebahagiaan orang lain. Aku nggak boleh egois, batin Gladys.

"Dys, jangan kaitkan masalah kita dengan masalah itu. Sampai kapanpun aku nggak akan... "

"Please mas. Ini permintaan terakhirku sebelum aku pergi dari hidupmu. Berbaikanlah dengan masa lalumu seperti kamu berbaikan dengan Senja. Maafkan om Pram dan temui dia. Om Pram sangat merindukanmu."

Jauh di dalam lubuk hatinya Gladys menangis karena pada akhirnya harus melepaskan Banyu. Demi kebahagiaan Banyu, orang yang sangat dicintainya, ia terpaksa melepaskan kebahagiaannya. Mungkin ini jawaban dari Allah karena selama ini aku selalu bilang belum mau menikah, batin Gladys.

⭐⭐⭐⭐

Apakah ini akhir dari kisah cinta Gladys? Haruskah mereka berpisah?

Ayo beri aku lebih banyak motivasi

Jangan lupa voting untuk aku!

Ditunggu ya komen-komennya.

Moci_phoenixcreators' thoughts
Next chapter