Aku lebih memilih menjauhi dirimu, bukan karena tidak mencintaimu, tapi karena harus menjaga hati ini agar tak terus terluka.
⭐⭐⭐⭐
Happy Reading ❤
"Assalaamu'alaykum kak Gladys."
"Wa'alaykumussalaam Aidan."
"Kak, jadi sore ini kita menjenguk ayah?" tanya Aidan melalui ponsel kepada Gladys.
"Maaf Aidan. Beberapa hari ini kakak nggak bisa ikut kalian menemui ayah. Oh ya, rencana liburan ke vila kita tunda dulu. Aidan nggak marah kan, kakak belum bisa menepati janji.
"Ya ampun, ya nggaklah kak. Aidan yakin kakak pasti lagi ada urusan yang sangat penting makanya nggak bisa ikut kita menemui ayah. Masalah liburan juga nggak usah dipikirin kak."
"Tapi kakak janji setelah kakak sembuh, akan ajak kalian dan ayah berlibur ke vila."
"Lho, kak Gladys sakit apa?" tanya Aidan kaget.
"Hehehe.. kebetulan lagi disayang banget sama Allah. Lagi disuruh istirahat dan merenungi segala kesalahan," canda Gladys. Ia tak ingin membuat Aidan khawatir.
"Yang sabar ya kak. Insyaa Allah kalau kita sabar dan tawakal, maka sakit kita dapat menggugurkan dosa-dosa kecil kita."
"Terima kasih ya Aidan. Oh iya, tolong kasih tahu dek Bila besok siang Endah mau ke sekolah buat antar buku yang waktu itu kak Gladys janjikan."
"Insyaa Allah kak." Hening sejenak. "Kakak dirawat di rumah atau di rumah sakit?"
"Di rumah sakit. Kata dokter kakak harus banyak istirahat dan nggak boleh stress. Kalau di rumah nanti malah nggak mau istirahat." Gladys mencoba tertawa agar Aidan tak khawatir, namun tetap tertawanya terdengar lemah.
"Rumah sakit mana kak?"
"Sayang, jangan main hp terus dong. Itu obat kamu belum diminum. Nanti kamu diomelin suster Ria lho kalau obatnya nggak diminum." Tiba-tiba terdengar suara pria. "Sudahan ya ngobrolnya. Kamu tidur dulu siang ini."
"Tapi mas... " Di hp terdengar suara Gladys berusaha membantah.
"Nggak pakai tapi-tapian. Kalau kamu nggak disiplin minum obat, kamu semakin lama tidur disini. Itu aja makan siangnya belum dihabiskan."
"Mulutku masih pahit. Nggak enak buat makan." jawab Gladys. "Nanti aku selesaikan makan siangku. Mas nggak usah khawatir."
"Gimana mas nggak khawatir kalau kamu bandel kayak gini. Aku nggak mau calon istriku kelamaan sakit. Gimana kita mempersiapkan pernikahan kita kalau kamu terus terbaring disini. Atau kamu sengaja ya biar tiap hari bisa ketemu aku? Biar dekat terus sama aku?" Goda Lukas.
Sementara itu di ujung sana Aidan hanya terdiam mendengar percakapan antara Gladys dengan seorang pria yang memang sengaja di speakerphone. Diliriknya Banyu yang berada di depannya. Wajah sang kakak terlihat datar, namun rahangnya terlihat mengeras dan tangannya mengepal dengan kuat. Memang, Aidan diminta oleh Banyu untuk menelepon Gladys, karena ia khawatir Gladys takkan mau merespon telpon darinya.
"Apaan sih kok mendadak ngomongin soal pernikahan. Kencan aja belum pernah." Terdengar suara Gladys dibarengi suara tawanya. "Jangan halu deh mas. Kita kan sudah bahas masalah ini. Jangan ada pembicaraan soal pernikahan dulu hingga aku benar-benar mengenalmu."
"Kak, sudah dulu ya. Aidan khawatir, kakak kecapekan ngobrol terus sama aku. Oh ya, kakak dirawat dimana? Nanti Aidan kesana unt..."
Tuuut... tuuut... tuuut.. Tiba-tiba pembicaraan mereka terputus. Aidan langsung melihat ke arah Banyu yang masih saja terdiam.
"Yaaa... belum tahu dirawat dimana nih, mas. Terus gimana?"
"Ya sudah nggak papa. Makasih ya Aidan sudah mau membantu mas Banyu." Banyu beranjak meninggalkan Aidan yang bingung.
"Ih, gimana sih mas Banyu. Katanya mau tahu dimana kak Gladys dirawat. Lah ini kok malah ngeloyor pergi. Makanya mas, kalau suka jujur aja bilang suka. Jangan sok-sokan pengen balik sama mantan. Dah tau dikhianati kok masih aja mempertahankan rasa lama." Aidan sibuk bermonolog sehingga tak menyadari kehadiran Aminah.
"Dan, kenapa ngomel2 sendiri sih? Kamu ngomel sama siapa?"
"Eh ibu. Baru pulang bu?" Aidan buru-buru menyambut Aminah yang baru pulang. Dipeluknya tubuh Aminah. Lalu diambilnya tas kerja Aminah dan bungkusan yang ada di tangannya.
"Iya. Mana adik dan mas mu?"
"Bila lagi kerja kelompok di rumah Santi. Mas Banyu di kamar kayaknya." Aidan meletakkan tas Aminah di meja kerja sederhana di salah satu sisi ruang keluarga.
"Mas mu nggak ngajar di bimbel?"
"Nggak bu. Katanya hari ini jadwal off. Bu, mas Banyu tuh aneh ya."
"Aneh gimana?"
"Katanya sudah putus sama kak Gladys tapi masih aja khawatir banget pas tau kak Gladys dirawat di rumah sakit."
"Nak Gladys sakit apa? Dirawat dimana?" tanya Aminah dengan rasa khawatir.
"Ibu juga ikutan khawatir ya mantan calon menantu sakit?" ledek Aidan. "Bu, kak Gladys kan sudah punya calon suami. Kayaknya calon suaminya sayang dan perhatian banget deh sama dia."
"Kok kamu tahu?"
"Tadi kan Aidan telponan sama kak Gladys, disuruh sama maa Banyu. Nah pas itu kedengeran kak Gladys ngomong sama cowok. Kalau dari obrolannya sih kayaknya calon kak Gladys. Mas Banyu sok cool pas dengar itu. Padahal Aidan tahu banget dia kesal tuh."
"Kok mas Banyu bisa dengar?"
"Telponannya pake speakerphone bu. Itu juga permintaan mas Banyu. Kangen kali dia sama suara kak Gladys. Makanya kalau masih cinta nggak usah sok-sokan putus. Orang aneh, sudah dikhianati kok malah pengen balikan."
"Mas mu belum bisa move on, Dan. Wajarlah. Dia kan bertahun-tahun pacaran sama Senja."
"Iya Aidan tahu itu. Tapi kak Senja aja sudah jadi istri orang sejak dua tahun lalu. Jadi cowok tuh gak boleh begitu. Lemah amat."
"Itu yang namanya mencintai, Dan. Kamu belum merasakan sih."
"Seharusnya mas Banyu bisa meniru ibu, yang dikhianati oleh ayah. Bisa melupakan rasa yang dulu pernah ada. Bisa move on dan fokus dengan kebahagiaan sendiri tapi tetap menjaga hubungan baik."
"Ya beda dong, Dan."
"Apa bedanya? Sama-sama dikhianati kok?"
"Ibu punya kalian yang membantu ibu untuk move on dan nggak lama-lama dalam kesedihan."
"Ya seharusnya mas Banyu juga begitu bu. Ada kita yang selalu di samping dia. Apalagi kemarin ada wanita cantik yang bersedia menjadi kekasihnya."
Aminah tertawa melihat Aidan yang bicara begitu berapi-api. "Suatu saat kamu akan mengerti. Kamu belum mengalami hal seperti itu."
"Makanya mencintai manusia itu secukupnya saja. Demikian juga dengan membenci. Jangan berlebihan deh. Siapa tau orang yang sangat kita cintai saat ini nantinya akan menjadi salah satu orang yang paling kita benci. Demikian juga sebaliknya."
"Wah, anak ibu sudah mulai dewasa nih. Jangan-jangan lulus SMA nanti minta nikah nih."
"Wah, belumlah bu. Aidan masih mau membalas jasa ibu dan mas Banyu. Tapi kalau nanti ditengah jalan Allah kasih jodoh, Aidan nggak menolak. Apalagi kalau cantik dan baik seperti kak Gladys." Kalimat terakhir sengaja diucapkan dengan suara kencang. Aidan yakin kakaknya pasti akan mendengarnya.
Di dalam kamar Banyu hanya terdiam. Mencoba mencerna semua rasa yang ada di hatinya. Kenapa masih saja rasa sakit itu muncul padahal sejak awal aku sudah meyakinkan diriku sendiri bahwa kami itu nggak mungkin bersama. Mengapa rasa sakit ini berbeda dengan yang kurasakan untuk Senja. Padahal aku sangat mencintai Senja. Ya, Senjalah yang nanti akan menjadi pendampingya. Bukan gadis mungil itu. Batin Banyu sibuk berperang.
Banyu bisa mendengar semua percakapan Aidan dengan Gladys. Bahkan ia juga bisa mendengar suara pria, yang ia yakin adalah Lukas. Nggak mungkin kan ada pria lain selain Lukas yang akan menjadi suami Gladys. Ia juga mendengar dengan jelas semua perkataan Lukas. Sadar Nyu, dia sudah punya calon yang sepadan dengannya. Calon yang akan diterima dengan tangan terbuka oleh keluarga besar Gladys. Banyu tersenyum miris mengingat betapa dirinya selalu bertemu dan jatuh cinta kepada wanita-wanita yang lebih tinggi kelasnya. Tunggu dulu.. aku memang jatuh cinta pada Senja. Tapi apakah aku jatuh cinta pada Gladys? Nggak mungkin. Aku hanya tertarik sesaat pada dirinya.
Lalu kenapa khawatir saat tahu dia sakit? Ya, karena aku mengenalnya. Karena dia adik sahabatku. Karena pernah dekat dengannya. Otak dan hati Banyu sibuk berperang, mencari alasan yang membuatnya memiliki hak untuk mengkhawatirkan gadis galak itu.
⭐⭐⭐⭐
"Kok telponnya diputus? Aku kan lagi ngobrol." protes Gladys saat tiba-tiba Lukas merebut ponselnya dan memutus pembicaraannya dengan Aidan.
"Kenapa? Nggak suka?"
"Iya aku nggak suka kamu bersikap seenaknya gitu. Kamu sudah melanggar privacy-ku."
"Aku ini dokter sekaligus calon suamimu. Aku nggak suka dibantah oleh calon istriku."
"Tapi kamu bukan dokterku."
"Kamu lupa kalau rumah sakit ini milikku? Aku punya hak menjadi dokter utama bagi pasien VVIP di rumah sakit ini. Dokter lain bertindak sesuai perintah dariku."
"KAMU EGOIS!!" protes Gladys. " Lagipula kata siapa aku pasien VVIP? Penyakitku cuma recehan. Bukan penyakit berat."
"Kamu pasien VVIP karena kamu adalah calon istri pewaris tunggal Brama's Corp dan pemegang saham mayoritas rumah sakit ini? Lagipula jangan suka memandang remeh suatu penyakit. DBD dan Gerd-mu itu bisa mematikan kalau nggak ditangani dengan serius," jawab Lukas tegas.
"Apakah kamu akan memperlakukan pasien VVIP lain seperti ini mas?" Lukas tak menjawab. Ia hanya menghelas nafas kesal sambil membuang pandang. "KAMU NGGAK FAIR! Harusnya kalau kamu mempertahankan visi misi awal rumah sakit ini, nggak peduli pasien kelas 3 ataupun VVIP, kamu akan memperlakukan mereka dengan fair. Adil. Ingat mas dengan janji doktermu."
"Sayang, aku kesini bukan untuk bertengkar sama kamu. Tolong jangan ajak aku berdebat. Setengah jam yang lalu aku baru selesai melakukan operasi yang cukup rumit. Sebagai calon istri seorang dokter kamu harusnya mengerti bagaimana lelahnya kami berusaha menyelamatkan seorang pasien. Salah satu tugas istri seorang dokter adalah menghibur suaminya, terutama setelah melakukan operasi. Bukan malah mengajakku berdebat."
"Lho, siapa yang ajak kamu debat? Lagipula mana aku tahu kalau kamu habis melakukan operasi. Kamu aja nggak pernah bilang kalau mau datang. Tau-tau nongol. Padahal nggak ada yang suruh." sahut Gladys tak mau disalahkan.
"Sebagai calon istriku seharusnya kamu tahu jadwalku. Kamu kan bisa tanya ke sekretarisku."
"Mas, aku bukan calon istrimu. Aku belum menjawab lamaranmu. Lagipula aku nggak kepengen tuh tahu jadwal kamu." balas Gladys ketus. Bukannya marah mendengar jawaban Gladys, Lukas malah membungkukkan badannya dan mensejajarkan wajahnya pada wajah wajah Gladys. Sambil tersenyum ditatapnya Gladys dengan pandangan lembut yang memuja. Lalu dengan cepat dikecupnya bibir Gladys.
"Sweetie maafin aku ya. Seharusnya aku yang menyuruh sekretarisku memberitahumu jadwal harianku. Dan percayalah, kamu akan menerima lamaranku. Kamu akan menjadi istri dokter Lukas Prawira." ucap Lukas penuh keyakinan. "Lagipula kalau kamu belum menerimaku, kenapa cincinnya masih kamu pakai?"
"Karena aku ingin mengembalikannya kepadamu."
"Maaf sweetie. Aku tak mau menerimanya dan aku tak mau menerima penolakan darimu. Tak ada seorang wanita yang boleh menolak seorang Lukas Prawira." Lukas tersenyum memamerkan smirk yang biasanya mampu membuat para wanita bertekuk lutut. Namun hal itu tak berlaku untuk Gladys yang kini menatapnya dengan kesal.
A***r kenapa gue malah merinding sekaligus deg-degan sih liat dia senyum kayak gitu. Ada aroma seksi, arogan plus misterius dan sedikit kejam yang dipancarkan oleh Lukas. Gladys merinding saat matanya bertabrakan dengan mata Lukas. Ia dapat melihat cinta, namun di saat bersamaan ia melihat sesuatu yang terasa berbahaya. Entah apa itu.
"Jangan menatapku seperti itu. Tatapanmu membuatku ingin mencicipi bibirmu lagi."
"Jangan mesum! Jangan coba-coba melakukan hal-hal aneh padaku."
"Sweetie, kalau aku ingin melakukan hal-hal aneh terhadap dirimu itu bukan suatu hal yang sulit. Aku bisa memberimu obat bius dan lalu mencicipi tubuhmu. Takkan ada yang menanyakan bila aku memerintahkan perawat dan security untuk tidak masuk ke kamar ini atau mengusir orang-orang yang ingin menjengukmu." bisik Lukas dekat telinga Gladys. Nafas hangat Lukas menerpa leher jenjang Gladys, sehingga menimbulkan gelenyar aneh. "Kalau mau aku juga bisa memberi obat perangsang pada makanan atau minumanmu."
"DASAR DOKTER MESUM!" Lukas tergelak melihat wajah panik Gladys.
⭐⭐⭐⭐