Siapa sih calon suami gue, Sa?"
"Ya si tukang sayur kasep idolanya ambu itu lah. Masa si Jack."
"Iiih amit-amit deh."
⭐⭐⭐⭐
Happy Reading ❤
Tiba-tiba...
"Assalaamu'alaykum..."
"Wa'alaykumussalaam," jawab ketiganya kompak sambil melihat ke arah pintu pagar. Terlihatlah sosok pria yang dari tadi menjadi bahan pembicaraan mereka.
"Eh aya si kasep. Ayo masuk kasep," Ajak Vina. Gladys dan Khansa saling berpandangan.
"Sa, gue ke kamar lo ya." Gladys beranjak berdiri hendak ke kamar Khansa namun ditahan tangannya oleh Vina sehingga dia kembali terduduk.
"Aya naon kasep?"
"Hmm.. ambu, boleh saya bicara dengan Gladys?"
"Beneran bicara nya'? Ulah disosor deui.. Bisi ceurik." Kalimat terakhir sengaja Vina bicara pelan. Ia tak ingin Gladys merasa malu.
"Eh, Iya ambu."
"Neng, eta si kasep hoyong ngomong sama kamu?"
"Nggak mau ah ambu." Tolak Gladys.
"Naha atuh, Neng? Ulah kitu ah sama orang yang mau ngomong baik-baik sama kita. Tenang aja, nggak bakal disosor deui." Ledek Vina.
"Ambu temani Adis, ya," bisik Gladys memohon.
"Eh, ambu mah mau siapin makan siang buat si abah sebelum ambu berangkat ke resto. Kalian ngobrol aja berdua. Kan sudah sama-sama dewasa. Ayo Sa, kamu bantuin ambu."
Sepeninggal Vina dan Khansa suasana terasa canggung di antara mereka berdua. Tak ada pertengkaran di antara keduanya. Tiba-tiba Banyu memberikan jaketnya kepada Gladys tanpa melihat ke arah gadis itu, yang tentu saja bingung dengan kelakuan Banyu.
"Apaan nih?"
"Buat menutupi tubuh kamu, terutama paha kamu" Jawab Banyu tanpa memandang ke arah Gladys.
Jawaban yang entah mengapa sukses membuat sudut hati Gladys bergetar. Ini kedua kalinya Banyu memberikan jaketnya untuk menutupi bagian tubuhnya yang terbuka.
"Nggak perlu." Gladys mengembalikan jaket itu kepada pemiliknya.
"Perlu." Banyu langsung menutupi paha Gladys yang terbuka karena memang dia mengenakan celana pendek. "Kamu ikut berdosa dengan membuka auratmu seperti itu. Caramu berpakaian bisa memancing syahwat pria dan memancing gunjingan wanita lain."
"Ngapain elo ngatur-ngatur hidup gue, ngatur-ngatur cara gue berpakaian. Elo itu cuma tukang sayur keliling. Nggak usah sok ngajarin deh." Omel Gladys panjang pendek tapi tetap membiarkan jaket Banyu menutupi pahanya. Banyu diam-diam tersenyum.
"Please ya, nggak usah sok ngajarin gue setelah elo berani ngebohongin gue dan keluarga gue. Satu hal lagi, gue nggak terima dengan perlakuan lo tadi pagi. Seenaknya aja elo cium gue di depan orang banyak. Elo itu bukan siapa-siapa gue. Elo nggak ada hak mencuri ciuman pertama elo. Katanya calon sarjana tapi kelakuannya barbar. Gue bingung kenapa abang-abang gue mau sahabatan sama elo. Pasti mereka nggak tahu siapa elo sebenarnya. Kalau mereka tahu, gue yakin mereka nggak akan mau berteman dengan elo." Gladys menarik nafas panjang karena sepertinya mengomel panjang lebar seperti tadi membuatnya kehabisan nafas.
"Sudah ngomelnya?" Tanya Banyu kalem. Tanpa Gladys sadari ternyata Banyu sudah duduk sangat dekat dengan dirinya. Bahkan wajahnya kini mendekati wajah Gladys. Menyadari hal tersebut, Gladys terdiam dan menahan nafas.
"Kenapa diam? Kalau belum puas ngomelnya lanjutin saja. Biar aku ada alasan menciummu sekali lagi. Dan kali ini aku akan memberikan ciuman yang pantas yang dapat kamu kenang sebagai ciuman pertama.... eh bukan .... ciuman kedua maksudku, yang cukup memorable." Bisik Banyu menggoda.
Tentu saja hal itu sukses membuat wajah Gladys merona merah. Gladys ingin membuka mulutnya namun ia batalkan mengingat ucapan Banyu barusan. Belum lagi terpaan nafas hangat dan bau mint segar yang tercium dari Banyu, mampu membuat bulu kuduk Gladys meremang. Tanpa sadar Gladys menutup matanya dan menikmati harum mint itu. Tiba-tiba sentilan ringan terasa di keningnya. Gladys tersadar dan membuka matanya.
"Kenapa tutup mata? Berharap aku akan mencium kamu?" Tanya Banyu sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Enak saja kalau ngomong. Gue nggak percaya orang model elo tuh calon sarjana. Ngomongnya nggak pake filter. Nggak ada remnya." Sahut Gladys ketus dengan wajah judes. Ia sengaja melakukan hal itu untuk menutupi rasa malunya.
"Boleh gue menjelaskan semuanya?" Tanya Banyu. "Ngomong-ngomong, wajah kamu lucu kalau lagi marah gitu."
"Apaan sih? Gaje banget. Buruan kalau mau menjelaskan."
"Nggak sabaran banget sih neng Adis. Sabar atuh neng, orang sabar itu... "
"Pantatnya lebar," Sahut Gladys tanpa sadar. Jawaban yang membuat Banyu langsung tergelak.
"Masa sih? Berarti kamu nggak sabaran dong orangnya. Buktinya pa***t kamu nggak lebar." Banyu menggoda Gladys dengan pura-pura melihat ke bagian belakang tubuh gadis itu.
"Iissh... tukang sayur mesum." Gladys mengenakan jaket Banyu untuk menutupi tubuh mungilnya dan bahkan menarik taplak meja untuk menutupi pahanya.
"Nah gitu dong, kalau ditutup seperti itu kan lebih bagus. Kamu dan aku bisa menjauhkan diri dari dosa."
"Aku mau minta maaf soal tadi pagi." Banyu mulai menjelaskan. "Dengarkan dulu baik-baik. Aku ingin meminta maaf karena telah menciummu secara tiba-tiba. Itu kulakukan hanya karena ingin membuatmu diam. Tak ada maksud lain. Kuakui, aku khilaf. Kuharap kamu bisa memaafkan kekhilafanku."
"Gimana dengan masalah kebohongan lo ?" Tanya Gladys. "Elo nggak mau minta maaf tentang itu? Elo sudah membohongi gue dan keluarga gue. Kenapa elo bersikap seperti pria berkelas?"
"Apa maksudmu pria berkelas? Apakah seorang tukang sayur bukan pria berkelas? Berkelas di mata siapa? Di mata manusia atau di mata tuhan? Buat aku nggak penting bagaimana nilaiku di hadapan manusia lain. Yang terpenting buatku adalah bagaimana nilaiku di mata Tuhan."
"Ah, munafik."
"Kenapa kamu bilang begitu? Aku nggak munafik."
"Elo selama ini pura-pura menjadi sahabat abang gue supaya dapat untung kan? Elo pura-pura baik di depan orang tua gue. Di depan mereka elo pura-pura tampil seperti orang berpendidikan."
"Apakah ini ada hubungan dengan status pekerjaanku yang cuma tukang sayur? Kata siapa aku berpura-pura? Aku nggak pernah menyembunyikan kenyataan kalau aku hanya seorang tukang sayur. Bahkan kakak-kakakmu sudah lama tahu kalau aku menjadi tukang sayur. Justru mereka dan sahabat-sahabatku yang lain terus menyemangatiku disaat aku galau dan merasa malu melakukan pekerjaan ini saat SMA dulu."
SMA? Dia sudah jadi tukang sayur sejak SMA?! Gladys seolah tak mempercayai pendengarannya. Sementara hingga saat ini dirinya hanyalah seorang gadis yang mengandalkan harta orang tua untuk mendapatkan hidup yang enak. Bisnis yang saat ini ia jalanipun berkat kemurahan hati orang tuanya. Bukan atas usahanya sendiri.
"Om Praditho dan tante Cecile juga sudah tahu kalau aku ini hanya tukang sayur. Aku nggak pernah bohong kepada siapapun tentang pekerjaanku ini. Aku memang bukan orang kaya. Aku ini cuma orang biasa yang harus bekerja serabutan untuk membiayai hidup kami sekeluarga. Dan aku nggak pernah malu melakukan pekerjaan apapun selama itu adalah pekerjaan yang halal. Dari sekian banyak pekerjaan yang kamu sebutkan tadi pagi memang ada yang benar-benar kulakukan." Jelas Banyu.
"Tadi kamu bilang aku pura-pura berpendidikan. Perlu kamu tahu, aku ini nggak berpura-pura. Karena aaat ini aku sedang mengerjakan tugas akhir untuk meraih gelar sarjana. Dan kalau ada rejeki lebih, mungkin aku akan mengambil S2 supaya aku bisa bekerja atau memulai bisnisku sendiri. Tapi untuk saat ini konsentrasiku adalah menyelesaikan kuliahku dan pendidikan adik-adikku."
Gladys terdiam mendengar penjelasan Banyu. Hal yang baru kali ini ia tahu. Mau tak mau ada rasa kagum terselip di hatinya saat mendengar penjelasan tersebut. Benar kata ambu, dia pria yang bertanggung jawab.
"Lagipula aku nggak merasa perlu menjelaskan diriku kepada siapapun termasuk kepada kamu. Apalagi di antara kita tidak ada hubungan apapun, selain aku adalah teman kakak-kakakmu. Kasusnya akan berbeda kalau kamu adalah kekasihku. Aku harus jujur mengenai siapa diriku sebenarnya." Ucap Banyu ringan. Gladys kehilangan kata-kata untuk membalas ucapan Banyu.
"Eits, jangan berpikir dengan jujur kepadamu hari ini berarti aku menganggapmu sebagai kekasihku. Sama sekali tidak. Kamu itu adalah adik sahabatku yang itu artinya kamu juga sudah seperti adik untukku. Dan aku juga cukup tau diri untuk tidak bermimpi memiliki kekasih anak seorang pengusaha. Jadi kamu nggak usah khawatir ataupun memiliki pikiran bahwa aku mengejar dirimu." Ada yang mencelos di hati Gladys saat mendengar ucapan Banyu barusan.
"Karena itulah kenapa aku selalu mengkritikmu. Karena kamu seperti adik kecil yang harus kubimbing supaya menjadi wanita baik-baik."
"Tapi elo sudah mencium bibir gue. Elo sudah mencuri ciuman pertama gue," ucap Gladys lirih.
"Kamu bilang apa?"
"Eh, nggak papa."
"Oh iya, kuharap kamu jangan pernah lagi meremehkan pekerjaan orang lain, di saat kamu sendiri tidak pernah berada di posisi orang tersebut. Ada satu hal lagi yang ingin kupertegas, jangan meremehkan pekerjaan seorang tukang kue. KARENA DARI MEMBUAT DAN MENJUAL KUE, IBUKU BISA MEMBIAYAI HIDUP KAMI. JANGAN PERNAH MEMANDANG RENDAH PERJUANGAN ORANG LAIN."
Gladys terhenyak mendengar ucapan Banyu. Oh, jadi ibunya yang menjual kue. Gladys bertambah malu setelah mendengar ucapan Banyu barusan. Ya tuhan, betapa selama ini aku kurang bersyukur dengan apa yang kupunya.
"Jadi kuharapkan pertemuan ini dapat menjadi awal baru bagi hubungan pertemanan kita. Aku capek harus berdebat terus sama kamu. Kamu mau kan memulainya lagi dari awal?" Tanya Banyu lembut.
"Aku nggak ada niatan apapun selain ingin menjadi teman seorang Gladys Mariana Praditho. Kuharap putri seorang pengusaha macam kamu nggak malu memiliki teman seorang tukang sayur. Aku yakin papi kamu pasti selalu mengajarkan setiap manusia itu sama apapun pekerjaannya. Yang membedakan adalah imannya."
Banyu mengulurkan tangannya mengajak bersalaman. Gladys yang masih terpana dengan kalimat-kalimat Banyu hanya terdiam sambil memandang tangan Banyu yang terulur ke arahnya.
"Apakah ini artinya kamu menolak menjadi temanku dan lebih memilih selalu berdebat denganku saat kita bertemu?" Tanya Banyu tanpa menarik tangannya. "Mungkin hubungan seperti itu lebih menantang untukmu."
"Eh... uhmm.. Oke.. let's be friend." Jawab Gladys tergagap dan menyambut ukurannya tangan Banyu. Oh my god, helloow jantungku.. please be nice... jerit Gladys dalam hati saat debaran jantungnya mulai tak menentu tatkala tangan mereka bertemu.
"Hei, kamu nggak papa? Mukamu pucat. Tangan kamu dingin, banget." Tanya Banyu khawatir.
"Eeeh.. nggak papa. Capek aja kayaknya. Sudah lama nggak olahraga. Plus lapar." Gladys mencoba bercanda untuk menghilangkan kegugupannya karena tangannya masih berada dalam genggaman Banyu.
"Hmm.. apakah kamu nggak mau menerima makanan yang tadi kutitipkan ke ambu?" Suara Banyu terdengar khawatir. "Atau kamu belum sarapan."
"Su.. sudah sarapan kok. Tadi makanan yang kamu kasih juga sudah dimakan. Eehmm.. makasih ya zuppa soupnya." Jawab Gladys gugup. "Kayaknya gue capek banget. Semalam kurang tidur. Terus pagi-pagi sudah kesini dan olahraga. Makanya sekarang agak kurang enak badan."
"Ya sudah kalau gitu kamu istirahat aja dulu. Biar nanti badan kamu lebih segar. Aku pamit pulang dulu ya." Akhirnya Banyu melepaskan genggaman tangannya.
"Eh, kasep bade kamana?" Tiba-tiba Vina keluar dari ruang dalam.
"Ambu, saya pamit pulang dulu. Lagipula kayaknya Gladys kurang enak badan." Pamit Banyu.
"Jangan lupa besok mampir ke resto ambu untuk membahas lanjutan pembicaraan bisnis kita. Oh iya, bawa kue buatan ibu kamu ya."
"Insyaa Allah ambu. Sekarang Banyu pamit ya. Dys, aku pulang dulu ya."
"Ini jaket lo." Gladys hendak membuka jaket Banyu yang sedari tadi dipakainya.
"Pegang saja dulu sama kamu. Balikinnya nanti pas kita ketemu lagi." Ucap Banyu seraya melemparkan senyum manisnya.
"Ih, memangnya siapa yang mau ketemu lagi sama elo."
"Aku yakin kita bakal segera bertemu. Lagipula kita kan sudah janjian mau olahraga bareng. Ya sudah aku balik dulu. Jangan kangen lho."
"Ih, ge-er," sahut Gladys judes, namun hatinya tersenyum melepas kepergian Banyu.
"Cieeee... " Keluarlah Khansa dari ruang dalam. Sepertinya sahabatnya ini sejak tadi mendengarkan percakapan mereka. "Ehem... dititip lagi nih jaketnya. Lama-lama hatinya yang dititip ke elo, Dys."
"Khansa, ulah gangguin neng Adis. Hayuk atuh neng Adis istirahat dulu. Tadi kan katanya pucat dan tangannya dingin karena kecapekan olahraga," perintah Vina dengan senyum meledek Gladys.
"Aaah... ambu jangan meledek Adis dong. Kan maluu..." Gladys kabur ke kamar Khansa, diiringi gelak tawa Vina dan Khansa.
⭐⭐⭐⭐
Aaah... mulai gregetan lihat mereka
Kira-kira apa yang bakal terjadi?
Sok atuh dikepoin di chapter berikut
Suka cerita ini? Tambahkan ke koleksi kamu.
Jangan lupa tinggalkan komentar, ide atau usulan.
Membuat sebuah karya itu sulit, jangan lupa vote dukungannya!
Hadiah anda adalah motivasi untuk kreasi saya. Beri aku lebih banyak motivasi!