webnovel

Terjebak pilihan

Akhirnya pun aku bisa lepas dan beranjak pergi dari hadapan Yash setelah sejak tadi dia berusaha menghalangiku dengan perasaannya yang konyol itu.

"Mel, kau baik-baik saja?" tanya Keysa  tiba-tiba. Tentu saja dia akan segera peka melihat raut wajahku yang kacau balau saat ini.

"Ehm, eng... Tidak apa-apa, aku hanya  sedikit shock. Aku hampir saja terpeleset tadi," jawabku berbohong.

"Astaga, tapi kau baik-baik saja 'kan, Mel?" tanya Keysa kembali dengan panik.

"Amelie, kakiku terkilir? Aku akan memijitnya jika kau butuh bantuan." mendadak Ryan begitu akrab menawarkan diri dengan kecemasannya.

"Eng, tidak... Sungguh, aku baik-baik saja," jawabku mengelak. Nyatanya aku memang baik-baik saja. Itu hanya alasanku untuk menyembunyikan keburukan Yash, kekasih Keysa.

"Minum dulu, kau terlihat sangat shock!" Riyan menyodorkan segelas minuman padaku, aku menatapnya sejenak.

"Makasih, Ryan." Aku menerimanya, namun belum sempat aku meminumnya, Yash kembali dengan tatapan yang tak biasa padaku.

"Ehhem, ada apa ini?" tanya Yash seolah dia memang tidak tahu apa-apa.

Dasar laki-kaki licik. Dia benar-benar jago berakting.

"Sayang, kau ke toilet lama sekali. Amelie hampir terpeleset di ruang toilet tadi, maka itu kami sedang bicara serius karena sedikit panik." Keysa menimpali pertanyaan Yash sembari merangkul lengan tangannya.

"Oh ya? Umh, kau baik-baik saja Mel?" tanya Yash menatap wajahku dengan datar.

Sungguh, betapa dia sangat licik dan rasanya aku ingin mencincangnya lalu kujadikan dia santapan buaya.

"Aku baik-baik saja," jawabku cetus.

Semua tampak hening begitu mendengar jawabanku yang sedikit cetus dan mungkin saja telah mengundang tanya di dalam hati Keysa dan Ryan.

"Hahaha... Ehm, itu... Kenapa kita jadi tegang semua? Bukankah Amelie sudah baik-baik saja? Jadi, ayo kita minum lagi." Yash berbicara lebih dulu untuk mencairkan suasana yang sempat membeku.

Semakin lama aku kian merasa jengah dengan terus menghadapi tatapan Yash yang kian berani selalu mengarah padaku. Baru kali ini aku sedikit merasa takut, itu karena dia kekasih sahabatku.

"Key, ayo kita pulang!" ajakku dengan terpaksa menyela di tengah ke asyikan Keysa memadu kasih dengan Yash.

"Aduh, Mel. Ini masih pagi, tunggulah sebentar."

Aku menarik napas dalam-dalam sampai rasanya kedua rahangku membesar ketika menahan napas ini. Ryan yang sejak tadi diam saja memperhatikanku, segera angkat bicara.

"Kau mau kuantar pulang?"

Seketika Yash menatap tajam begitu mendengar Ryan memberikan penawaran padaku. Ini kesempatanku untuk menghindar dari Yash, biarlah dia menghabiskan malam dengan sahabatku Keysa dulu.

"Apakah kau tidak keberatan?" tanyaku dengan kikuk.

Ryan tersenyum lembut seraya beranjak bangun lebih dulu, segera aku beranjak bangun menyusulnya.

"Hei, apa kalian sungguh akan pul..."

"Sayang, biarkan mereka berduaan, dengan begitu mereka akan saling mengenal satu sama lain." Keysa mencegah Yash yang hendak menghentikan kami.

Yash terlihat kesal setelah Keysa menyela bicaranya.

"Emh, Key. Aku duluan ya? Kamu gapapa 'kan, aku tinggal?"

"Gapapa Mel, aku justru senang kau dan Ryan jadi bisa berduaan. Hihihi..." Keysa cekikikan menggodaku.

"Ayo, Mel!" ajak Ryan kemudian, lalu aku melangkah lebih dulu tanpa menoleh ke arah Yash lagi.

"Have fun ya Mel!" ujar Keysa sedikit berteriak setelah aku dan Ryan melangkah bersama menuju pintu keluar.

Begitu sampai di luar, Ryan membuka pintu mobilnya untukku. Aku tersenyum tipis menanggapi sikapnya itu.

Lalu kami melaju pergi dari halaman parkir. Tanpa sengaja, kuembuskan napas panjang setelah keluar dari club itu dari jarak jauh.

Akhirnya aku bisa lepas dan menghilang dari tatapan nakal Yash, tampaknya Ryan mulai terheran-heran atau mungkin dia mencurigaiku dengan sikapku di Club tadi.

"Sepertinya kau sangat tidak nyaman di dalam tadi," ujar Ryan mengajakku bicara.

"Oh, emh... Tidak, aku cukup menikmatinya."

"Oh ya? Tapi kau terlihat sedikit tertekan, atau... Itu karena Yash?"

Glek!

Ludah yang kutelan terasa mencekikku, apakah Ryan mengetahui kebejatan Yash di belakang Keysa?

"E-eh... Yash? Oh, aku... Emh, ti-tidak. Ada apa dengan Yash? Kenapa aku harus merasa tidak nyaman padanya?"

Ryan terdiam sejenak, dia tersenyum tipis namun seperti meledekku, sepertinya dia memang tahu bagaimana keburukan Yash selama ini. Apa yang harus aku lakukan?

"Ehm, Ryan. Kau sudah punya pacar?"

Ryan tampak terkesiap dan seketika menolehku dengan raut wajah heran. Akh, sial! Kenapa aku justru menanyakan hal itu padanya?

"Bagaimana menurutmu?"

"Oh? Menurutku, emh... Sepertinya sudah punya, dan mungkin banyak wanita yang mengejarmu," jawabku sekenanya. Rasanya aku malu, sangat malu.

Bukankah aku terkesan terang-terangan?

"Hahaha, adakah alasan yang bisa aku terima mengapa kau berpikir begitu tentangku?"

"Ya... Ya karena... Kau menarik, tampan, sepertinya kau juga anak orang berada."

"Oh ya? Hmm... Sepertinya hanya itu yang para wanita lihat dariku, aku jadi sedih..."

Aku mengerutkan kening mendengar tanggapannya. Rasanya tidak mungkin, tapi mungkin juga pantas saja jika para wanita hanya menilainya dari itu semua. Melihatnya dengan penampilan mewah bukankah dia memang patut di kejar oleh para wanita?

"Sebentar lagi sampai di rumahku," ujarku mengalihkan bicara.

"Oh, ya. Baiklah," sahut Ryan tanpa banyak kata.

Apakah hanya itu saja? Syukurlah, kami jadi tidak perlu panjang lebar membahas perihal tadi, sungguh konyol aku ini.

Beberapa menit kemudian, aku segera menghentikan laju mobil Ryan sebelum sampai di depan gerbang rumah nenek. Aku tidak mau nenek atau kakek melihatku pulang di antar oleh laki-laki yang bermobil. Itu akan mengundang huru hara dari pikiran mereka nantinya.

"Yang mana rumahmu, Mel?" tanya Ryan terkejut setelah menekan rem mendadak.

"Aaaaah... Itu, masih beberapa langkah lagi masuk ke rumah."

"Oh, kalau begitu aku antar jalan kaki saja?"

"Tidak, tidak perlu!" bantahku segera.

"Emh, aku turun. Terima kasih sudah mengantarku, Ryan."

"Tunggu, Mel!" panggil Ryan saat aku hendak keluar dari mobil mewahnya.

"Ada apa?" tanyaku dengan tatapan lugu menatap kedua matanya.

"Bagaimana jika kita berpacaran saja?"

Next chapter