Bagaimana cinta itu bisa hadir setelah pernikahan terjadi karena desakan moral, usia, dan orang sekitar? Amelie adalah seorang wanita yang pemberani, periang dan penyayang. Meski perceraian kedua orang tuanya menyisakan trauma yang mendalam di hatinya. Namun, dia selalu pemilih perihal laki-laki tampan. Sampai suatu hari, dia harus mengubur dalam-dalam kisah cintanya yang masih bermekaran di dalam hatinya, ketika dia mengetahui tengah berbadan dua dengan laki-laki yang justru hanya dijadikan pelarian olehnya.
"Amelie... Bangun! Mau sampai kapan kamu bangun kesiangan terus. Ingat, kamu itu anak gadis! Jodohmu akan semakin lama datangnya."
Ritual pagi yang selalu nenek ucapkan padaku itu, semakin lama membuatku muak saja.
Rasanya sangat ingin membantah ucapan nenek. Dia belum tahu saja dan bahkan tidak mempercayainya, jika aku si wanita yang di kenal manis cantik dan imut ini, selalu menjadi kejaran para lelaki di kampusku.
Mereka selalu menggila setiap kali aku tersenyum pada mereka menunjukkan gigi gingsul dan lesing pipiku. Seketika mereka berlomba-lomba mendekatiku.
Aku memang bukan gadis yang memiliki tinggi bak model seperti para wanita lainnya yang selalu merasa tersaingi olehku.
Tinggi badanku hanya 156cm diusiaku yang sudah menginjak 25tahun, usia yang cukup matang tapi tidak untuk menambah lagi tinggi badan. Meski begitu aku memiliki buah dada lebih besar dari ukuran biasanya. Kulitku kuning langsat dan rambutku lurus tebal menghitam.
Tampak perfect bukan? Namun, sayang. Kakek dan nenekku selalu berkata aku ini gadis yang merepotkan dan pembawa sial hanya karena belum juga menikah seperti teman-temanku dan para saudaraku yang lain seusiaku.
Menikah itu bukan ajang perlombaan dan tidak untuk di jalani karena paksaan. Aku bahkan punya kriteria idaman sendiri, yang sampai detik ini belum aku temui dari para lelaki yang aku dekati.
"Amelie..." nenek kembali memanggilku dengan lantang hingga sampai menggema di seluruh ruangan.
"Iya, Nek... Amelie keluar sebentar lagi," sahutku dengan terpaksa. Padahal sejak tadi aku sengaja mendiaminya di dalam kamar.
Andai saja bisa, aku ingin selalu melewati sarapan pagi berkumpul bersama kakek dan nenek serta kakak sepupuku yang menyebalkan, yang selalu menyebut namanya layaknya tinggal di Luar Negeri.
"Cepat sarapan, hari ini kamu ada kuliah pagi, 'kan?" ujar nenek ketika melihatku sudah keluar dari kamar.
"Hem..." sahutku singkat sambil segera meraih sendok untuk menyuap nasi goreng.
"Amelie, apa kau tahu, si siska mau menikah. Dia mendapatkan calon suami yang kaya, tidak tampan sih. Tapi kekayaannya menjamin semuanya," ujar nenek di tengah sarapan pagi kami.
"Bu, kita sedang sarapan. Nanti saja bicaranya," tegus sang suami.
"Kalau tidak pagi ini, kapan lagi bisa bicara dan di dengarkan Amelie. Dia 'kan super sibuk dan selalu menyibukkan diri," cetus nenek sambil melirikku sinis.
Aku hanya bisa menarik napas dalam-dalam dan menahan diri untuk tidak membantah. Atau, jika berani membantahnya, pagi ini aku akan kembali menggila karena mood pagiku berantakan.
Usai sarapan pagi, aku segera beranjak bangun untuk pergi ke kampus, aku menyalami nenek dan kakek bergantian.
"Aku berangkat ke kampus dulu," ujarku berpamitan.
"Hati-hati di jalan, dan ingat! Jangan mempermalukan nama keluarga, kamu mengerti?" sahut nenek setelah aku melangkah pergi ke luar.
Jengah? Sudah tentu.
Begitu sampai di luar, sahabat terbaikku Keysa sudah melambaikan tangan dengan mobil mewahnya. Hari ini dia mengganti mobilnya lagi, dasar orang kaya. Betapa hidupnya sangat indah kurasa, tapi tidak dengan kenyataannya.
"Kenapa lu, Key?" tanyaku setelah kuperhatikan wajah Keysa cemberut.
"Kau tau lah, bagaimana mamaku. Semalam aku pulang larut malam, jadi mama ngomel sampai pagi ini berlanjut," sahut Keysa sambil memutar setir mobilnya lalu melaju dengan perlahan.
"Hahaha, apakah kau pergi ke club malam lagi? Apakah dengan laki-laki itu?" tanyaku penasaran.
Keysa memang selalu sering pergi ke club malam, meski sebelumnya dia pernah tinggal dan menempuh pendidikan SMA di pondok pesantren namun, tingkahnya tidak sama sekali menunjukkan seorang santri.
"Amelie, ayo kita pergi ke Club malam nanti," ajak Keysa tiba-tiba.
"Aku? Ke Club malam? Apa mau memintaku untuk melompat dari jendela kamar lagi, Key?" tandasku kali ini.
"Hahahaa, ayolah, Amelie. Kau tahu kita ini wanita-wanita preman, masa iya kamu gak bisa kabur dari rumah untuk menemaniku malam ini?"
Aku tercengang sesaat, terkadang aku merasa bahwa sababatku ini lah yang menjadikanku sosok pembangkang pada kakek dan nenekku.
"Please..." Keysa merengek memohon padaku.
Rasanya tidak tega, lagi pula aku malam ini tampaknya aku akan kembali merasa bosan dengan berada di dalam kamar saja.
"Ya ya ya, baiklah!"
"Yeay! Emmuach, kau memang sahabatku yang terbaik, Amelie!" Keysa memonyongkan bibirnya berlagak hendak menciumku.
Sesaat kemudian kami sampai di halaman kampus. Usai memarkir mobil, aku dan Keysa berjalan melangkah bersama menuju kelas.
Seperti biasa, ketika kami sudah tiba di kampus, semua mata laki-laki liar di kampus selalu menatap nakal kami. Aku dan Keysa tetap melangkah dengan tegap menuju kelas, rasanya kami sudah terbiasa dengan sikap dan tatapan liar mereka pada kami.