webnovel

Siji Mencari Gebetan

Hari ini tuh, Siji kesel banget sama duo maut, Yuji dan Reiji. Rasanya Suji ingin mencoret saja itu dua laknat dari kartu keluarga mereka. Memang jomblo sepertinya pantas diperlakukan seperti itu? Andai saja ada lembaga perlindungan jomblo di Jakarta, sudah pasti Siji akan melaporkan dua saudara laknatnya. Tak peduli ikatan darah. Memang selama ini Siji dipedulikan?

Ceritanya begini.

Setelah berguru pada pakar playboy sekabupaten, Yuji Pradhika, saat ini Siji diberi kesempatan untuk berkenalan dengan perempuan. Perempuan ini teman dekatnya Mira, gebetan baru Reiji saat itu. Awalnya memang Siji gengsi minta tolong dengan kedua saudaranya, tapi setelah ada berita-berita prediksi tsunami itu jadinya Siji ingin punya kekasih di tahun ini. Entah ini obsesi atau hanya ajang ikut-ikutan.

Sebelumnya Reiji, Yuji dan Mira sudah menyiapkan kencan buta untuk Siji. Siji yang polos, naif dan belum berpengalaman dalam hal percintaan manut saja ya. Soalnya, Siji itu sudah sangat percaya kalau Yuji dan Reiji akan menyelamatkannya dari jurang kejombloan yang abadi.

Minggu pagi, Siji sibuk memilih baju yang cocok untuk kencan buta hari ini.

"Mau ke mana, Bang?"

Suara Tuan Yudha mengejutkan Siji tiba-tiba. Dalam keluarga Pradhika, Tuan Yudha dan Nyonya Ayana memanggil Abang Siji, Adek Reiji untuk panggilan sayang. Sedangkan, untuk Yuji suka-suka mereka mau panggil apa. Kadang abang, kadang adek, padahal sebenarnya Yuji lebih senang dipanggil Sang Tampan.

"Mau kencan, Pa," jawab Siji santai. Ia masih memilih dan memilah semua pakaiannya yang serba hitam. Iya, hitam. Horor banget memang selera sulungnya Pradhika's Triplets ini.

Tuan Yudha ikut memilihkan baju untuk Siji. Perhatian sekali bapak muda yang satu ini. Sebenarnya, alasan utama hanyalah agar Siji mendapatkan pacar. Ia ingin menunjukkan pada istrinya bahwa anak sulungnya ini masih normal. Pernah suatu ketika Nyonya Ayana khawatir kalau-kalau Siji memiliki kelainan biseksual gitu. Padahal, ia tak tahu saja betapa sulitnya Siji mendapatkan seorang cewek.

Tuan Yudha mengambil kaus hitam serta hoodie warna senada.

"Memang selera ceweknya yang kayak gimana, Bang?" tanya Tuan Yudha sembari menempelkan baju itu ke tubuh puteranya.

"Abang juga nggak tahu, Pa. Kata Reiji ceweknya agak tomboy, tapi cakep," jawab Siji. Kini ia pindah ke lemari sebelah, tempat ia menggantung puluhan jeans-nya yang masih saja berwarna hitam.

"Ini bajunya kenapa hitam semua, Bang? Serem banget. Suram. Nggak ada warna lain apa, Bang?"

Tuan Yudha mulai kesal juga melihat selera fashion anaknya yang buruk itu. Tak seperti Yuji yang fashionable banget. Terkadang Tuan Yudha meragukan juga kenapa Siji bisa jadi anaknya. Pandai dalam pelajaran seperti istrinya, tidak. Pandai dalam memperlakukan perempuan, juga tidak. Untung Siji lahirnya bersamaan dengan si duo maut, Yuji dan Reiji. Untung juga Siji mewarisi ketampanan Tuan Yudha.

Siji tak langsung menjawab. Ia menengadahkan kepala, memandang langit-langit kamarnya.

Ia menghela napas panjang lalu berucap, "Huufft, bagaimana ya jelasinnya? Soalnya hitam ini menunjukkan suasana hati abang yang tak pernah terhias oleh indahnya warna cinta, Pa."

"Nah, kan? Nah, kan? Malah baper lagi. Udah ah, Papa mau kencan juga sama Mama kalau gitu. Fighting, Bang!" ucap Tuan Yudha sambil mengangkat tangannya yang terkepal. Sudah seperti memberi semangat pada anaknya yang mau perang saja. Namun, memang ini perang sih bagi Siji. Perang melawan ketidakadilan cinta.

*****

"Aku merasakan ada sesuatu saat pertama kita bertemu, Nana. Seolah dadaku bergemuruh. Entah getaran semacam apa ini. Apa ini terlalu cepat jika kusebut dengan cinta? Apa perlu alasan untuk mencintai?"

"Ti-tidak."

"Kau benar-benar tipeku, Nana. Aku menyukai semua yang ada pada dirimu. Aku menyukaimu dari ujung kepala hingga ujung jari jempol kakimu. Semuanya, Nana."

"E-eh?? Kok sa-sampai jempol-jempol ju-juga?"

"Kenapa memang, heh? Kau merasakan getaran yang sama, bukan?"

"Hmm, errr, eum, jawabnya bagaimana?"

"Tak perlu kau jawab sekarang, Nana. Binaran dari mata indahmu itu, cukup memberiku peluang untuk menjadi kekasihmu. Dan ... err ... dan eeumm ... dan apa lagi, ya?"

"Dan apa, Den?"

Tunggu! Ini masih suara yang sama dari lawan bicara Siji tadi.

Srek! Srek!

Siji membuka lipatan kertas kecil yang baru saja ia keluarkan dari saku celana.

"Dan ... dan biarlah cinta mengalir apa adanya bak aliran anak sungai dari hulu ke hilir," Siji melotot ke arah kertas lipatan tadi," ebuset! Ini kata-katanya si bisul bison makin ngaco aja."

"A-ada apa, Den?" tanya wanita yang masih berada di hadapan Siji.

"Ini contekan dari Yuji buat ngerayu cewek, Bi. Tapi, sumpah kata-katanya lebay banget. Ini kayaknya ngutil dari drama ini, fix," gerutu Siji sembari menyerahkan kertas lipatan tadi ke Bibi Tumini, pembantunya.

Bibi Tumini sok-sokan baca, padahal sebenarnya dia kan buta huruf.

"Tapi tadi itu keren banget loh, Den. Kalau kata di kartun yang biasa Den Reiji tonton, 'Sugoii!!'," ucap Bibi Tumini sembari mengangkat kedua jempolnya.

"Anime bukan kartun, Bibi Cantik!" ralat Siji.

( Apa salah dan dosaku, Sayang?

Cinta suciku kau buang-buang. Dengarkan jurus yang kan kuberikan! Jarang goyang! Jaran goyang!)

Suara nada dering dari ponsel Siji. Ia menerima panggilan dari ....

"WOY!! LU DI MANE, PANU ZEBRA!!"

Suara kencang tiba-tiba terdengar dari seberang sambungan telpon. Bahkan Siji harus menjauhkan ponselnya agar gendang telinganya selamat. Benar-benar laknat memang adeknya itu.

"Gua masih di rumah. Aelah, gua yang mau kencan, napa lu yang ribet sih, Bisul Bison??" jawab Siji, santai.

"NANA UDAH NUNGGUIN DARI SEJAM YANG LALU, OGEB. SEPULUH MENIT LU NGGAK NYAMPEK SINI, GUA GEBET NDIRI NIH CEWEK ATU," bentak suara dari seberang kembali.

"Jatah gua itu, woy!!" O-oke, gua meluncur! Gua abis gladi bersih barusan sama Bibi Tumini. Awas aja lu kalo ngembat jatah gua!" ancam Siji.

"BODOH AMAT! MAKANYA BURUAN, WOY! LAMA AMAT KAYAK CEWEK LU!"

"Iya, iya, Bogel. Lu kagak ada sopan-sopannya ya sama Abang sendiri."

"Beda 5 menit doang belagu lu!"

"Apa?!"

"Tut, tut, tut."

"Malah dimatiin?" Siji menaruh ponselnya kembali ke saku. Ia mencium tangan Bibi Tumini, yang merawat ia dari bayi, lalu pamit.

"Do'ain Siji berhasil ya, Bi!"

"Tentu saja, Den."

Bibi Tumini memperhatikan Siji yang mulai gelisah.

"Ada apa, Den? Gugup, ya?"

"Hmmm, e-enggak kok. Cuma grogi dikit hehehe. Yaudah, Siji pergi dulu, Bi."

"Hati-hati di jalan, Den!"

Siji berjalan tergesa-gesa menuju garasi, dan kosong. Semua mobil dan sepeda motor sudah keluar dari garasi. Tak ada transportasi yang tersisa bagi Siji. Pada akhirnya, ia naik angkot untuk menuju tempat janjian mereka.

Berhasilkah Siji memikat hati perempuan dalam kencan butanya kali ini?

Bersambung ....

Next chapter