webnovel

Lihat gue latihan

Seorang guru bahasa Inggris sedang berdiri di depan kelas. Guru yang dipanggil Miss Lian itu sedang menerangkan materi expressing regret di depan kelas. Semua siswa dan siswi memandang ke depan. Entah benar-benar sedang memperhatikan Miss Lian atau hanya sekedar melamun saja, yang penting pandangan ke depan. 

Miss Lian terkenal tegas, guru yang masih lajang itu tak segan memberi hukuman pada siswa jika tidak memperhatikannya ketika ia sedang menerangkan materi pelajaran. Tak hanya itu, Miss Lian juga terkenal pedas jika sedang menegur kesalahan muridnya. Cara bicaranya sedikit namun nyelekit terkadang bisa membuat malu murid yang sedang apes. Itu kenapa jika Miss Lian sedang menjelaskan materi semua siswa pandangan ke depan. Perkara paham atau tidak dengan materi yang diterangkan oleh Miss Lian itu urusan nanti.

Namun, meskipun begitu Nandes tetaplah Nandes. Remaja itu mengantuk. Pelajaran bahasa Inggris di jam terakhir membuat otaknya semakin ngebul. Terik matahari membuat ruang kelas terasa panas. Tubuh gerah, otak mulai lelah dan harus memperhatikan pelajaran yang rumit dan tidak jujur. Menurut Nandes bahasa Inggris itu gak jujur, kenapa ia mengatakan bahasa Inggris tidak jujur karena penulisan dan pengucapan sangatlah jauh berbeda.

Untuk beberapa kali Nandes menguap, Ahh dia mengantuk sekali. Ingin waktu cepat berlalu dan pelajaran segera usai.

"Al, sudah kasih tau anak-anak yang lain kan. Kalo nanti ada jadwal latihan?" bisik Nandes pada Alsaki.

"Iya sudah" jawab Alsaki tanpa menoleh ke arah Nandes. 

Cari aman, daripada ditegur Miss Lian.

"Pak Adi bakal datang gak?" tanya Nandes lagi.

Pak Adi adalah guru olahraga sekaligus pelatih tim basket sekolah Nusa Bangsa.

"Iya datang," jawab Alsaki, tetap fokus memandang ke depan.

"Al, menurut lo kita butuh atur strategi baru gak?"  Masih mengajak Alsaki bicara.

Alsaki tak menjawab, dia hanya melirik ke Nandes. Memberi kode untuk jangan mengajaknya bicara. Namun, Nandes masa bodoh. Dia ngantuk, harus cari teman bicara supaya rasa kantuknya hilang. Jam pulang masih lama, pelajaran baru saja dimulai.

"Al, jawab gue kok lo diem aja."

"Lo..gak...liat...apa... Miss Lian… di depan," Alsaki bicara tertahan berusaha tanpa menggerakkan bibirnya.

"Nah...lihat depan gini, sambil ngomong kan bisa juga," 

Alsaki melirik Nandes kesal. 

"Nandes!!!!" Suara Miss Lian mengejutkan Nandes dan Alsaki.

"Sedang diskusi apa kamu dan Alsaki?" Raut wajah Miss Lian berubah menjadi garang.

"Coba kamu maju kedepan sini," perintah Miss Lian.

"Saya Miss??" tanya Nandes, menunjuk dirinya sendiri.

"Iya kamu! Siapa lagi?! Cepat maju kedepan."

Nandes bangkit berdiri dari kursinya lalu berjalan ke depan kelas.

Alsaki komat Kamit membaca doa, supaya tidak dipanggil Miss Lian untuk maju kedepan.

"Sekarang kamu buat contoh dialog expressing regret. Tulis di papan tulis."

Nandes garuk kepala. Membuat dialog dalam bahasa Inggris, menghitung satu hingga seratus dalam bahasa Inggris saja dia masih salah apalagi membuat dialog. 'mati gue!!' Kata Nandes dalam hati.

"Kenapa diam? Ayo cepat kamu tulis." perintah Miss Lian dengan nada dingin dan mengintimidasi. 

"Gak bisa Miss," jawab Nandes tanpa ada rasa tertekan sama sekali. 

"Kalau kamu merasa gak bisa, perhatikan jika saya sedang menjelaskan. You don't get busy!" Miss Lian mulai marah.

"Kamu jangan hanya bagus dalam bidang olahraga saja. Kamu juga harus bagus dalam mata pelajaran yang lain, kemana konsentrasi kamu ketika guru sedang menjelaskan? Apa raga kamu di sini tapi pikiran kamu melayang tembus tembok kelas anak IPA di sana??" 

Ohhh Miss Lian mulai menyindir hubungan Nandes dan Nadira. Sepertinya Miss Lian salah satu penghuni sekolah yang tidak suka dengan hubungan Nandes dan Nadira. Barangkali gak rela siswi yang pintar pacaran dengan siswa yang selalu dapat nilai jelek.

Nandes tidak menjawab, Miss Lian terlalu sulit untuk diajak bicara baik-baik ketika sedang marah.

"You better get out, I don't want you to follow my lessons." ucap Miss Lian tanpa melihat ke arah Nandes.

Wanita berusia 28 tahun itu duduk di kursinya dan menyibukkan diri menulis sesuatu di atas buku catatannya.

Nandes masih berdiri, dia gak paham Miss Lian bicara apa tadi.

Siswa yang lain menahan tawa ketika Nandes tak mengerti dengan perintah Miss Lian.

"Saya bilang kamu keluar! Saya gak mau kamu ikut pelajaran saya hari ini." 

Mendengar itu mata Nandes berbinar, seketika rasa kantuknya hilang. Ini yang di tunggu-tunggu. Ketika seorang guru mengusirnya dari kelas. Alih-alih merasa rugi dan malu, Nandes justru senang.

Sejurus kemudian Nandes mengemasi buku-buku miliknya, ia masukan ke dalam tas lalu bergegas melesat keluar kelas.

Miss Lian menggelengkan kepala. Hilang cara untuk memberi hukuman pada murid satu itu.

Nandes melenggang santai meninggalkan kelas, remaja bertubuh atletis itu berjalan ke belakang sekolah menuju lapangan basket. Meskipun dia hanya akan sendirian di sana gak masalah untuknya. Dia bisa menunggu jam belajar selesai sambil latihan long shoot di lapangan basket.

Teringat kata-kata Miss Lian tentang kelas anak IPA, Nandes memutar tubuh. Ia urungkan niatnya untuk pergi ke lapangan basket. Remaja cowok itu teringat seseorang, dia ingin melihat seseorang yang ada dalam kelas anak IPA.

Sesampainya di kelas anak IPA, Nandes berjalan sambil membungkukkan punggungnya supaya guru dalam kelas tidak melihatnya. Nandes jongkok di bawah jendela kelas, kemudian ia mengeluarkan buku dan pulpen dari dalam tas. Nandes menulis sesuatu di atas kertas. Lalu ia sobek kertas itu dan dilipat.

"Psssttt...stttt...." Nandes memanggil salah satu siswa yang duduk di dekat jendela.

Yang dipanggil menoleh.

"Kasih ini ke Janu."

Siwa itu menerima kertas yang diberikan oleh Nandes, lalu ia berikan ke teman yang duduk di sebelahnya.

"Kasih ke Janu."

Terus seperti itu, hingga kertas itu sampai ke tangan Janu.

Janu sempat heran saat teman sebangkunya memberinya lipatan kertas. 

"Baca," kata teman sebangku Janu.

Janu membaca kertas itu dari balik meja supaya tidak terlihat guru di depan.

'Keluar sebentar dong. Gue tunggu.' tulis Nandes di atas kertas. 

Janu melihat ke arah jendela. Lalu ia meremas kertas itu dan ia masukan ke dalam saku bajunya.

Tak lama kemudian Janu bangkit berdiri, meminta izin pada guru untuk pergi ke toilet.

Melihat Janu keluar kelas Nandes senyum senang.

Kini mereka berdua berdiri di sekitar ruang kelas paling akhir. 

"Kamu ngapain di sini?" Melirik kearah tas ransel di satu bahu Nandes.

"Disuruh keluar sama guru hehe," jawab Nandes santai.

"Terus ngapain nyuruh aku keluar?"

Nandes terdiam. Bingung. Dia sendiri gak ngerti untuk apa meminta Janu menemuinya. Namun, kemudian Nandes menjawab,

"Pengen lihat elo..."

Krik...krik...krik...seolah terdengar suara jangkrik di sekitar dua remaja cowok itu.

Nandes tersenyum canggung. Janu bersemu merah jambu.

Keduanya jadi salah tingkah. Mati gaya.  Terdengar aneh dan gak masuk akal. Jika yang di suruh keluar itu Nadira bisa saja Nandes mengatakan ingin melihat gadis yang ia pacari sebulan ini. Namun yang disuruh keluar itu Janu, untuk apa Nandes  mengatakan 'pengen liat elo..' mungkinkah Nandes merindukan Janu, ahhh Nandes sedang lapar makanya ia asal menjawab saja.

"Kalo gak ada yang penting aku mau masuk kelas."

Baru saja akan melangkah pergi. Nandes meraih pergelangan tangan Janu. Membuat Janu menoleh ke arah Nandes.

"Nanti jangan langsung pulang, tunggu gue latihan basket dulu. Nanti kita bisa pulang bareng."

Janu melihat kedalam sorot mata Nandes, iris mata coklat dengan alis mata yang tebal namun rapi.

"Aku gak ada waktu, pulang sekolah aku harus kerja" 

Nandes tersenyum kecut, ada sirat kecewa dari sorot matanya.

"Ohhh gitu ya, oke deh…" Nandes perlahan melepas pergelangan tangan Janu. Membiarkan remaja bermata sendu itu melangkah pergi meninggalkannya.

Dengan langkah gontai Nandes juga meninggalkan tempat ia berdiri. Berjalan menuju lapangan basket.

Tiba-tiba saja rasa semangatnya hilang. Padahal beberapa menit yang lalu mood-nya masih baik-baik saja.  Sekarang lapangan basket begitu terasa sepi. Panas terik matahari membakar kulit. Nandes berulang kali melakukan gerakan long shoot namun hanya beberapa kali dia sukses memasukkan bola ke ring basket. Selebihnya gagal total, seakan Nandes adalah seorang pemula saja. 

Sampai bunyi bel panjang terdengar menandakan kegiatan belajar mengajar telah usai. Semua murid berhambur keluar kelas masing-masing. Sebagian ada yang langsung pulang ada juga yang ikut kegiatan ekstrakurikuler.

Peluh membasahi baju seragam Nandes. Sekitar satu jam dia latihan sendiri di lapangan. Seiring dengan bel pulang berbunyi, satu demi satu teman-teman Nandes yang tergabung dalam satu tim mulai datang menghampiri Nandes.

Beberapa siswa dan siswi lain juga mulai berkumpul ingin menonton tim basket kebanggaan mereka berlatih untuk babak final turnamen basket antar sekolah 

"Des!" panggil Alsaki, berlari kecil ke arah Nandes.

Remaja itu tak lagi memakai seragam,dia sudah ganti kostum basket tanpa lengan.

Di belakang Alsaki menyusul si Enda. Cowok berkacamata mata itu terlihat cemberut pasalnya dia membawa dua tas. Satu tas miliknya dan satu lagi milik Alsaki. Dia gak suka kalau disuruh bawa tas begini seolah dia adalah asisten Alsaki, belum lagi nanti dia juga yang akan disuruh beli minuman.

"Dari tadi lo di sini?" tanya Alsaki pada Nandes.

"Ya lah.." jawab Nandes terkesan jutek.

"Sorry deh soal yang tadi, lo juga sih sudah tau pelajaran Miss Lian, masih aja ngajak ngobrol gue."

Alsaki mengira Nandes terlihat jutek karena masalah dikeluarkan oleh Miss Lian.

Nandes tak menyahut, ia kembali melempar bola ke arah ring.

"Priittttttttttt"  bunyi peluit pak Adi, pelatih tim basket Nusa Bangsa menarik perhatian para siswa. 

Mendengar peluit itu, siswa yang tergabung dalam tim basket menghentikan sesi pemanasan. Mereka langsung berbaris rapi di tengah lapangan untuk mendengarkan arahan dari pak Adi.

"Nandes!! Kamu niat latihan gak?" tegur pak Adi dengan nada tegas.

Dari sepuluh siswa yang berbaris hanya Nandes yang belum berganti baju seragam basket.

"Cepat ganti! Kapten macam apa kamu ini!!"

Tanpa menjawab Nandes meninggalkan lapangan untuk berganti seragam.

Saat sedang berjalan menuju toilet untuk ganti baju. Tanpa sengaja Nandes melihat Janu. Dari kejauhan Nandes melihat Janu berjalan ke arah parkiran. Yang tadinya semangat Nandes masih tersisa 30 persen, kini bisa dibilang tinggal 10 persen saja. Sudah pasti Janu pulang dia tidak mau melihatnya latihan dan pulang bareng. 

Ada rasa kecewa, entah kenapa bisa begitu Nandes gak tahu. Yang jelas dia ingin Janu seperti Alsaki dan Enda. Selalu bersamanya, Enda bukan  anggota tim basket akan tetapi Enda gak pernah absen jika Nandes dan Alsaki ada latihan maupun pertandingan. Nandes ingin Janu seperti itu, selalu ada disekitarnya. Teman memang harus begitu kan. Bukankah Janu sudah menerimanya sebagai teman. Harusnya Janu bisa meluangkan waktu untuknya.

Nandes terus bergulat dengan pikirannya. Ingin rasanya Nandes menarik paksa Janu supaya ikut duduk di samping Enda melihatnya latihan. Nandes ingin begitu. Namun, dia tidak bisa melakukan itu. Dia takut Janu justru akan menjauhinya jika di paksa.

Nandes mendesah pelan. Ia lalu masuk toilet untuk ganti baju basket.

xxxx

Sebelum menghidupkan mesin motor bebek peninggalan sang paman. Janu diam sejenak untuk berpikir ulang. Tak lama setelah itu Janu mengeluarkan ponsel dari saku celana.

"Mas, tolong bilang sama Bu Ninik aku hari ini gak bisa kerja. Ada tugas kelompok di sekolah" tulis Janu pada pesan WhatsApp ke nomor Dicky teman kerjanya di pasar.

Setelah menekan tombol kirim, Janu menyimpan kembali ponselnya. Ia kemudian turun dari motor. 

Remaja itu berdiri di tengah parkiran, kembali berpikir ulang. 'Benarkah dia ingin ke lapangan basket?' Janu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya kemudian mendesah. Remaja itu berusaha menenangkan hatinya. Mau melangkah kelapangan basket saja mengapa rasanya berdebar-debar.

Bersambung...

Next chapter