Di kamar atas Algis duduk di tepi tempat tidur. Dia masih memakai kebaya, belum berganti pakaian dia tampak gelisah. Sejak masuk ke dalam kamar bersama panji Algis hanya duduk di pinggir tempat tidur tanpa bergeser sedikit pun. Sesekali matanya melirik kearah pintu berharap ibunya datang dan menyelamatkan dia dari kekacauan yang sebentar lagi akan terjadi. Namun, hingga satu jam lamanya yang ditunggu tak kunjung datang. Algis semakin tampak gelisah gugup juga takut ia meremas tangannya sendiri berusaha menghilangkan rasa gugupnya namun sia-sia.
Panji keluar dari kamar mandi, berjalan kearah tempat tidur. Dia sudah berganti pakaian. Hanya mengenakan kaus putih polos dan celana pendek selutut. Dia lelah, ingin segera tidur meski sebenarnya ia bertanya-tanya dalam hati apa yang dipikirkan orang dihadapannya saat ini, sedari tadi tidak beranjak dari duduk dan bahkan tidak ada tanda-tanda ingin berganti baju atau membersihkan wajah. Apa dia tidak lelah pikir panji. Namun apa peduli panji dia tidak minat untuk sekedar bertanya. Masa bodoh! begitulah.
"Tok tok tok"
Algis mendongakkan kepala saat mendengar suara pintu di ketuk. Ia beranjak berdiri. Ia berjalan tergesa akan membuka pintu namun suara Panji menghentikan langkahnya.
"Tunggu!" Panji berdiri berjalan menghampiri Algis yang tampak canggung.
"Biar aku aja yang buka kamu di sini aja," kata panji lalu berjalan kearah pintu melewati Algis .
"Klek."
Panji membuka pintu, berdiri di depan pintu, Pak Prayitno dan Bu Ambar istrinya, kedua orang tua itu tampak terkejut mendapati panji lah yang membuka pintu. Wajah mereka tampak gugup dan canggung.
"Ehmm ... Nak Panji, maaf mengganggu tapi bisakah kita bicara sebentar di bawah Nak. Ada yang ingin Bapak dan Ibu bicarakan." kata Pak Prayitno ragu-ragu, Bu Ambar berdiri di samping suaminya matanya berusaha melihat ke dalam kamar. Namun tidak menemukan sosok Algis di balik punggung Panji.
"Apakah penting Pak? Kalau tidak mendesak sekali kita bicarakan besok pagi saja. Saat ini saya lelah sekali."
"Glek ...." Pak Prayitno menelan ludah.
"Ehh ... anu sebenarnya penting . Tapi kalau Nak Panji memang sudah lelah ya sudah istirahat kita bicarakan besok pagi saja."
"Baiklah Pak."
"Kalau begitu Bapak permisi dulu Nak Panji."
"Iya Pak." Panji tersenyum ramah lalu menutup pintu.
Sedangkan Pak Prayitno buru-buru menarik istrinya menjauh dari pintu kamar Panji dan Algis. Mereka kembali ke kamar mereka sendiri.
Bu Ambar meronta berusaha melepaskan diri dari tarikan suaminya.
"Bapak ini apa-apaan Pak , kenapa Bapak bicara seperti itu? kenapa gak jadi ngomong sama Panji?" kesal Bu Ambar.
"Ibu ndak dengar apa? Nak Panji bilang sudah lelah mau istirahat. Bapak bisa apa Bu, di sini dia mantu Bapak kalo di kantor dia itu atasan Bapak anaknya bos besar."
"Tapi Algis anak kita masih di dalam Pak bahkan Ibu tadi gak bisa lihat Algis, Panji buka pintunya dikit banget. Lagian Algis itu kok gak keluar sih."
"Mungkin Algis lagi di kamar mandi Bu."
"Trus apa yang harus kita lakukan Pak?" sedih Bu Ambar, sungguh dia tidak bisa membayangkan jika Panji menyadari ternyata orang dihadapannya seorang laki-laki bukan gadis yang seharusnya menjadi istrinya.
"Kita tunggu saja Bu sebentar lagi pasti akan ada teriakan dan keributan."
kata Pak Prayitno penuh dengan rasa putus asa dan pasrah.
Setelah kedua mertuanya pergi Panji menutup pintu. Dia kembali naik ke atas tempat tidur. Sesaat dilihatnya sosok Algis masih berdiri di tempat yang sama menunduk seperti patung.
"Mau sampai kapan kamu berdiri di situ?cepatlah berganti baju dan tidur" suara Panji sedikit mengejutkan Algis.
"Ehmmm....." Algis hanya bergumam tak jelas. Dia tidak tau harus berkata apa dia bingung. Tadi ketika orang tuanya datang Algis tidak berani mendekat ke pintu. Algis itu anak baik dia tidak banyak bicara. Dia patuh kepada kedua orangtuanya dia selalu berusaha menuruti apa kata orangtuanya. Tidak hanya pada orangtuanya pada kakak perempuannya pun Algis menurut tak jarang hal itu di manfaatkan Ajeng untuk mengambil keuntungan.
seperti hal nya sekarang ini ketika Panji berkata 'kamu di sini saja' Algis nurut.
"Ehmm...sebenarnya..."
Panji menatap kearah Algis menunggu apa yang ingin dikatakan Algis.
"Sebenarnya...."
"Hoammm" Panji menguap.
"Sudah lah cepat ganti pakaianmu dan tidur aku lelah."
Panji menarik selimut membaringkan tubuhnya lalu memejamkan mata. sedangkan Algis dia berjalan ke arah lemari yang tak jauh dari tempat tidur. Ia membuka lemari mencari pakaian yang bisa ia kenakan untuk tidur. Karna saat ini dia ada di kamar sodara perempuannya tentu saja Algis tidak menemukan baju yang bisa dia pakai. Algis mendesah lelah, dia berjalan ke arah pintu berniat ke kamarnya sendiri mengambil baju tidur. Namun suara Panji menghentikan langkahnya.
"Di dalam koper itu ada baju tidur yang bisa kamu pakai."
Algis menoleh kearah koper baju Panji yang terbuka, nampak di tumpukan paling atas piyama berwarna biru. Tanpa berpikir apa-apa lagi Algis mengambil piyama itu lalu masuk kamar mandi untuk berganti pakaian dan membersihkan riasan di wajahnya. Dia juga cukup lelah dan ingin segera istirahat.
Di lain tempat pak Prayitno dan Bu Ambar masih terjaga. Yahhh ... mereka sedang berjaga jaga menunggu keributan yang mereka ramalkan sendiri akan segera terjadi. Namun hingga beberapa jam teriakan kegaduhan yang dikhawatirkan tak kunjung terdengar. Suasana masih tetap hening sunyi.
"Pak... kok sepi sepi aja ya" kata Bu Ambar.
"Benar Bu... kok nak Panji gak ada tanda tanda keluar dari kamar, apa mereka sudah tidur."
"Ahhh mana mungkin sih Pak ..."
"Bisa aja kan bu mereka pasti lelah dan langsung tidur."
"Syukurlah Pak kalo langsung tidur, Ibu gak bisa bayangin kalo Panji.....ahhh anak ibu yang manis akan ternodai," Bu Ambar menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Pak Prayitno mengernyitkan dahi.
"Ibu itu ngomong apa sih ... mereka sama sama laki laki gak akan ada hal hal begitu."
"Ish... Bapak ini kudet. Wawasan gak luas makanya gak tau apa apa."
"Sudah sekarang kita istirahat saja. Mungkin Algis sudah menjelaskan sendiri pada Nak Panji makanya tidak terjadi keributan," kata Pak Prayitno
Pria itu naik keatas tempat tidur di ikuti Bu Ambar istrinya. Dan tak lama mereka terlelap tidur hingga pagi hari.
Panji perlahan membuka matanya. Sinar matahari samar-samar masuk melalui celah gorden jendela. Ia duduk di tempat tidur lalu menoleh ke kanan dilihatnya seseorang masih terlelap tidur dengan bibir sedikit terbuka. Algis masih bermimpi indah.
beberapa saat Panji mengamati wajah Algis diam-diam. Sejujurnya saat ini Panji menyadari situasi macam apa yang menimpanya. Benar...Panji sudah tau bahwa seseorang yang terlelap tidur di sisinya bukanlah gadis yang harus dia nikahi. Melainkam orang lain. Bagaimana dia tahu akan hal itu? Hari itu panji sedang di halaman belakang dia sedang mencari tempat sunyi untuk menerima telpon. Ketika dia sedang berbicara di telpon dengan rekan bisnisnya Panji melihat seorang gadis mengendap-endap di pintu pagar belakang rumah. Gadis itu dikenalnya karena gadis itu adalah orang yang harusnya menikah dengannya meskipun hanya satu kali bertemu, Panji masih bisa mengingat wajah orang yang akan di jodohkan dengannya. Panji tak berniat menghentikan justru bagus jika gadis itu kabur pernikahan ini batal. Dia tidak mengira jika tak hanya dirinya yang tidak menginginkan perjodohan ini.
Panji sama sekali tidak menginginkan pernikahan ini. semua adalah rencana dan kemauan orang tuanya. Panji tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti kedua orang tuanya, karna kedua orang tuanya mengancam akan mencabut semua hak waris Panji di keluarganya jika dia menolak alias coret dari KK. Dari pada menjadi gelandangan lebih baik menurut untuk sementara waktu kan.
"Eumhhhh....."
lamunan Panji buyar ketika Algis menggeliatkan badan, perlahan Algis membuka mata sayup sayup Algis melihat seseorang sedang menatap ke arahnya. Algis mengerjap beberapa kali.
"Pagi..."
kata Algis dengan suara serak khas orang bangun tidur. Bibir Algis menyunggingkan senyum cerah pagi hari. Algis kembali menutup mata ingin kembali tidur karna dia masih merasa mengantuk. Namum sekian detik kemudian mata bulat Algis terbuka lebar, dengan gerakan cepat Algis bangun dan duduk di atas tempat tidur. Dia berusaha menegakkan badannya berusaha mengembalikan kesadaran yang belum kembali.
"Tolong jangan marah dulu, aku bisa jelaskan, Ibu juga akan menjelaskan semuanya."
"Menjelaskan apa??"
"Menjelaskan tentang kenapa aku di sini. Harusnya kakakku yang ada di sini. sungguh aku tidak bermaksud menipumu."
"Apa pun yang ingin kamu jelaskan nanti saja. Sekarang aku mau mandi lalu sarapan. Aku lapar."
"Ehhh...."
Panji beranjak dari tempat tidur lalu berjalan kearah kamar mandi.
"Oh ... ya kamu istriku kan? tolong buatkan aku kopi dan sarapan."
Kata Panji sebelum masuk kamar mandi dan menutup pintu. Algis diam terpaku, kepalanya sedang mencerna kata-kata Panji. Tak lama kemudian Algis beranjak dari tempat tidur lalu keluar kamar, mau kemana dia? Bukan kah Algis itu penurut. Tentu saja sekarang dia sedang berjalan ke arah dapur berniat membuat kopi dan sarapan untuk Panji.
Algis berjalan sedikit tergesa menuruni tangga. Berjalan menuju dapur.Tak jauh dari dapur ada ayah ibunya duduk di meja makan. Melihat Algis kedua orangtua itu sedikit terkejut dengan penampilan anak laki-laki mereka. Algis masih memakai piyama kebesaran di tambah rambutnya yang masih acak acakan.
"Algis .... Eh ini baju siapa kok kebesaran gini," tanya Bu Ambar.
"Baju Panji Bu ... Ehhh Mas Panji," ralat Algis. Meski ia tidak tau berapa usia Panji. Namun, Algis yakin Panji jauh lebih tua dari dirinya beberapa tahun.
"Nak Panji sudah bangun??? Semalam...." Pak Prayitno tampak ragu melanjutkan kalimatnya.
"Iya Pak ... sudah bangun sekarang lagi mandi mungkin, oh ya Mas Panji minta di buatkan kopi dan sarapan."
"Biar Ibu saja yang buatkan kopi. Kalau sarapan sudah siap Ibu sudah masak," sahut Bu Ambar.
"Kalau gitu Algis mau mandi di kamar Algis dulu."
"Eh...tunggu Gis, semalam kok ndak terjadi keributan. Apa Panji gak marah?" tanya Bu Ambar diikuti anggukan suaminya. Kedua orang itu harap-harap cemas menantikan jawaban anaknya.
"Algis juga bingung Bu...sejauh ini sikap Mas Panji masih tenang."
"Apa kamu udah jelaskan ke Panji apa yang terjadi kemarin?"
Algis menggeleng.
"Ya sudah Gis kamu mandi saja dulu sambil nunggu Nak Panji. Nanti kita bicarakan bersama," sela Pak Prayitno. Kembali Algis mengangguk lalu berjalan menuju kamarnya untuk segera membersihkan diri.
Tak lama setelah itu mereka berempat sekarang sudah berkumpul duduk saling berhadapan di meja makan. Pak Prayitno duduk di samping istrinya menghadap ke arah Panji dan Algis. Wajah Panji tampak tenang, berbeda dengan Algis dan kedua orang tuanya. Wajah mereka nampak seperti orang yang akan diadili.
"Nak Panji ... Bapak tidak tau bagaimana memulainya," suara Pak Prayitno memecah kesunyian.
"Seperti yang Nak Panji lihat, sekarang ini anak bapak yang bernama Ajeng yang seharusnya nya ada di sini justru tidak ada dia kabur dari rumah. Sehingga dengan terpaksa kemarin istri bapak memaksa anak bapak yang lain yaitu Algis untuk....untuk...menggantikan Ajeng."
Suasana sesaat kembali hening Pak Prayitno menundukkan kepala tidak berani menatap wajah Panji. Pria paruh baya itu merasa malu telah mempermainkan Panji dan keluarganya.
"Saya tau Pak ... Saya tahu dari awal. Saya pribadi tidak mempermasalahkan itu."
Pak Prayitno, Ibu Ambar dan Algis serentak mendongakkan kepala mereka menatap kearah Panji yang masih memasang wajah tenang.
"Maafkan Bapak Nak Panji, maafkan anak Bapak maafkan keluarga Bapak." Suara pak prayitno begitu penuh nada sesal.
"Bapak berjanji setelah ini akan segera mencari anak bapak Ajeng. Dia memang sedikit keras kepala dan kekanakan."
"Tentu saja Pak, Bapak harus mencari anak Bapak tidak baik buat seorang gadis berada di luar. Tapi Pak, sore ini ..." Panji melihat ke arah Algis, yang dilihat sedikit terkejut.
"Sore ini saya akan membawa dia. Kerumah orangtua saya."
Hening.
"Ke-kenapa Algis harus ikut? " tanya Algis dengan nada gugup.
"Emm ... Benar kenapa Algis harus ikut?" kali ini Ibu Ambar yang bersuara.
"Seorang istri harus ikut kemana suami pergi kan," jawab Panji santai, sambil menyuapkan nasi goreng ke mulutnya.
tak ada sahutan lagi baik itu dari Algis atau pun orangtuanya. Pak Prayitno sebagai kepala keluarga tidak bisa menolak. Ini semua memang salahnya dia merasa tidak bisa mengatur anak gadisnya yang dengan seenaknya meninggalkan rumah di hari pernikahan. Begitu pun dengan istrinya yang membuat drama ala ikan terbang. Tanpa berpikir menyuruh anak laki-laki mereka menggantikan kakaknya. Walau begitu Panji tidak murka, dia tidak mempermasalahkan. Sikap dan kata kata Panji tetap sopan. Lalu tidak apa-apa kan menyerahkan Algis untuk di bawa.
"Tapi ... bukan kah Nak Panji harus tinggal di sini sampai beberapa hari?" suara Ibu Ambar memecah kesunyian.
"Awal rencananya begitu Bu, tapi sepertinya pekerjaan saya di kantor menumpuk," jawab Panji.
"Dan soal orangtua saya Bapak dan Ibu tidak usah khawatir saya yang akan menjelaskan pada mereka."
Ya ... Panji yang akan bicara pada orang tuanya. Saat ini panji tak mau ambil pusing, tidak masalah yang dia nikahi anak gadis Pak Prayitno atau anak laki-laki Pak Prayitno. Toh semua ini hanya sementara. Bukankah bagi kedua orangtuanya yang paling penting itu dia menikah.
Algis membuka lemari pakaian, mulai memilih baju yang akan dia bawa kerumah Panji dan memasukan ke koper dibantu oleh ibunya. Hati Algis merasa tidak bisa menerima semua ini kenapa dia harus ikut Panji pulang kerumah orang tuanya kenapa dia harus memerankan peran seorang istri seperti sungguhan. Apa yang akan di lakukan nya di rumah Panji. Apa tanggapan orang tua Panji nanti kalo yang di bawa pulang anaknya bukan seorang menantu perempuan melainkan seorang laki-laki. Sungguh Algis bingung menghadapi semua itu.
"Maafkan Ibu, Ibu gak nyangka semua akan menjadi seperti ini."
"Ibu dan Bapak janji akan segera cari kakak kamu, biar kamu gak lama-lama di rumah Panji. Ibu khawatir sama kamu Algis," lanjut Bu Ambar dia menyesal memaksa Algis untuk pura pura menjadi Ajeng.
"Gak apa-apa Bu....ini masalah keluarga jadi Algis udah sepantasnya membantu Bapak sama Ibu. Lebih baik Bapak dan Ibu cepat cari kak Ajeng. Jangan khawatirkan Algis, Algis ini cowok Bu, Algis bisa jaga diri," kata Algis sambil tersenyum mencoba meyakinkan ibunya. Dia tidak mau melihat wanita yang melahirkannya terlihat sedih dan khawatir.
"Jaga diri baik baik telpon Ibu kalau sudah sampai ya."
Ibu Ambar memeluk erat tubuh putranya. Sesat Ibu dan anak saling berpelukan. Lalu mereka berdua meninggalkan kamar.
Algis menatap kearah kedua orangtuanya sesaat sebelum ia masuk kedalam mobil ia merasa berat berpisah dengan Bapak Ibu. Begitu pula dengan dua orangtua yang saat ini berdiri di depan pintu tak henti Bu Ambar menyeka air mata. Hatinya begitu terasa sedih merasa bersalah khawatir dia seperti seorang Ibu yang sedang melepas anak perawan nya untuk dibawa kerumah mertua. Tapi bukan kah memang benar seperti itu kan.
Pak Prayitno dan Bu ambar melambaikan tangan mereka kearah Algis. Begitupun dengan pemuda manis yang kedua matanya mulai berkaca kaca, ia melambaikan tangan tanda perpisahan kepada ayah dan ibu nya.
Panji yang duduk di kursi kemudi mulai menghidupkan mesin mobil. Tak lama mobil melaju perlahan meninggalkan rumah keluarga Pak Prayitno.
bersambung...