webnovel

TIPU MUSLIHAT 12

"Nah, itu sekarang kau paham," kata Zuhri. "Makanya, saat Yusuf bilang kalian berdua cukup dekat, saya pun kepikiran satu ide, Khil."

"Eh? Satu ide, Kang?"

"Iya. Agar posisi Hanin di pesantren sedikit kuat dan ndak diusili lagi seiring kelasnya naik nanti."

"Apa itu, Kang?"

Zuhri menepuk bahu Khilmy. "Saya akan masukkan Hanin dalam susunan pengurus kita, Khil."

"APA?!"

"Tepatnya ke Divisi Pengairan. Biar bisa bertugas dan dibimbing langsung sama kamu," jelas Zuhri.

Khilmy justru berdiri dari kursinya. Menentang. Tak tanggung-tanggung samasekali. "Tapi, Kang... dia kan baru 3 tahun disini," katanya khawatir. "Apa kata yang lain nanti kalau benar-benar sudah jadi?"

"Udah kamu ikut saja. percaya sama saya," kata Zuhri. Tetap setenang air danau. "Biar nanti saya bica baik-baik ke Zaki. Kemudian matur Abah Yai perihal ini. Mengerti?"

Khilmy pun mengangguk patuh. "Nggih, Kang," katanya, meski masih menyimpan cemas dalam hati. Sebab, sejak Hanin mulai membuka diri kepadanya... dia merasa paling mengerti anak itu jauh melebihi siapapun.

Hanin yang mudah canggung kepada orang lain, sering memilih mengerjakan apapun sendirian, sering tergagap karena takut salah bicara, baik, penurut, kekanakan, menggemaskan, dan sangat mudah menangis kala diolok cantik seperti perempuan.

"Ah, gila..." desah Khilmy sepanjang jalan.

Anak itu bahkan hanya berani mendekat ke Zaki pada awal kedatangannya. Mau apa-apa mencari Zaki. Dan ingin kemana-mana harus ditemani Zaki. Sebab memang sepupunya itu yang dipercayai sang ibu untuk mengawasinya selama di pesantren. Tapi kini, Khilmy benar-benar merasa bersalah karena sering memberatkannya di kepengurusan.

Bagaimana tidak?

Dulu mungkin dirinya bebas, tapi sejak dimasukkan dalam daftar abdi dan Ustadz Sifir, Hanin pun sering menggantikannya bertugas jaga.

Khilmy pernah meminta rekan lain, tapi Hanin memang bergitu. Pun dia pernah meminta diganti yang lain, tapi justru dirinya lah yang dibutuhkan anak itu.

Benar-benar membingungkan.

"Ya sudah, Khilmy..." gumam Khilmy pada diri sendiri. "Kamu fokus saja pada tugas mulai sekarang. Semangat."

Walaupun itu tak cukup menenangkannya sedikit pun.

***

"Hanin?" panggil Yusuf. Tepat setelah keluar dari ruangan pengurus dengan paras rapinya. Di tangan, dia membawa sebuah spidol, pulpen, dan buku Bahtsul Masa'il untuk persiapan musyawaroh.

Hanin tidak menyahut. Dia justru tampak memeluk lututnya sendiri di pojokan tampungan air. Bersandar. Dan tak bergerak sedikit pun dari sana.

Yusuf pun mendekat. Dia baru tahu Hanin tertidur pulas ketika melihat matanya terpejam. Melirik ke samping, dia menemukan sebuah botol teh yang terbuka. Kepulan uap masih menguar dari sana.

Wangi sekali.

"Nih..." panggil Yusuf sekali lagi. Kali ini dengan menepuk bahu kurusnya. "Hanin, bangun sebentar mau kan—"

PLAK!

"Aduh!"

"K-Kang Yusuf?"

Seketika raut Yusuf maupun Hanin diwarnai keterkejutan. Yang satu karena ditampik kasar. Dan yang satu lagi karena tanpa sadar melakukan itu pada orang di depannya.

"Iya. Ini saya, Nin..." kata Yusuf sambil mengusap-usap tangannya sendiri. "Memang kamu kira siapa? Kok wajahmu pucat begitu?"

"A-Anu... maaf, Kang..." kata Hanin urgen. Dia pun segera melepaskan pelukan di kedua lutut dan menegakkan badan. "A-Aku benar-benar tidak tahu kalau itu samean..." imbuhnya segan.

Mata cantik itu mengerjap-ngerjap. Warnanya memerah senada dengan bibirnya. Dan bila engkau melihatnya lebih dekat, pucuk hidung itu tampak berkilauan di bawah lampu.

Yusuf tahu Hanin laki-laki, tapi bila melihatnya sedekat ini... seketika dia ingat ibu Hanin yang barusan dikeluhkan Zaki.

Ah, keduanya benar-benar cantik. Pun mirip tanpa cela hingga membuat Yusuf mundur-mundur.

Takut lupa diri.

"Ndak papa kok, Nin," kata Yusuf. "Justru saya yang harus minta maaf. Kan barusan sudah mengganggu tidur kamu..."

Hanin mengangguk. "Mn," tapi langsung mengalihkan pandangan begitu saja.

Tampak tak nyaman.

Tampak gelisah dan ingin segera sendiri lagi.

"Kalau boleh tahu, masih lama ndak jaga airmu?" tanya Yusuf.

Next chapter