webnovel

Sebuah Rekayasa

"Keturunan pelacur itu sudah mampus! Sekarang sudah tidak ada lagi pembawa sial di desa." Ujar salah satu pemuda dari kumpulan itu.

"Anak gadisnya juga masih legit. Hahaha..." timpal Japar, Pria yang lebih dewasa diantara mereka. dia berkata seperti itu seperti tanpa dosa.

"Tapi, kemana ya perempuan itu. tadi pas mau ke hutan. Kita check di rumahnya tapi tidak ada." Seloroh pemuda yang lain .

"Tidak usah khawatir, dia itu tidak akan bisa kabur kemana-mana karena dia masih menjadi buronan polisi. Mau kabur pun mungkin ke hutan." Ujar Japar santai sambil mencecap kopinya.

Rahang Tama mengeras, tangannya mengepal setelah mendengar pembicaraan mereka. Dia sangat yakin kalau yang mereka maksud adalah Ibu Lastri dan tunangannya Raflina. Tetapi dia lebih menahan emosinya, dia tidak mau bertindak gegabah sebelum tahu kebenarannya.

Tiba-tiba dia teringat dengan seseorang. Dewi, sahabat Raflina yang mungkin bisa menceritakan kronologis apa yang terjadi dengan keluarga raflina dan desa ini. Memastikan kebenaran yang sesungguhnya.

Lantas, Pria tampan itu beranjak dari duduknya dan membayar kopi itu dengan selembar uang merah. Panjaga warung terbengongn saja. ketika akan berteriak memanggil Tama, lelaki itu sudah masuk ke dalam mobil.

Untung saja dia masih ingat di mana rumah Dewi, sehingga dia bisa langsung ke sana tanpa nyasar lagi.

Pintu rumah Dewi terbuka, Tama mengetuk pintunya dan mengucapkan salam. Beberapa saat kemudian keluarlah sosok wanita berdaster bunga dengan raut wajah yang sendu, membuat Tama menjadi bertanya-tanya.

"Tama, ayo masuk." Ajak Dewi dengan suara serak. Pria itu lantas masuk dan duduk di kursi yang terbuat dari anyaman rotan itu.

"Mbak, apa yang sebenernya terjadi dengan Raflina dan Bu Lastri?" tanyanya yang langsung masuk ke intinya. Mendengar pertanyaan itu, Dewi kembali sesegukan. Tama yang sudah sangat ingin tahu, menahannya. Dia tidak mau memaksakan kehendaknya terhadap orang yang sedang kalut.

"Bu Lastri difitnah merampok dan membunuh keluarga Sapri, Tama." Tukasnya setelah cukup lama tersedu-sedu."Dia di bakar hidup-hidup dan mayatnya di buang di pinggir hutan." Lanjutnya.

Tama menegakkan badannya yang tadi agak sedikit menekuk karena fokus dengan apa yang dibicarakan oleh Dewi. Dia terhenyak mendengar fakta perlakuan yang tidak manusiawi yang dialami oleh Bu Lastri. Sungguh dia sangat mengutuk siapapun yang telah menfitnahnya. Sangat biadap.

"Padahal Bu Lastri itu orang yang sangat baik. Hanya saja perlakuan warga yang selama ini mengucilkannya membuatnya menjadi orang yang dingin. Aku ingat ketika dulu orang tuaku dulu mengalami penyakit kulit yang membuat sekujur tubuhnya dipenuhi luka yang bernanah, sehingga bau busuk memenuhi rumah. tidak ada seorang pun warga desa yang sudi untuk menjenguk atau membantuku, kecuali Bu Lastri. Dia dengan senang hati datang secara diam-diam untuk merawat orang tuaku sampai luka mereka sembuh. Dia juga merawatku yang pada masih kecil pada saat itu. aku juga dijauhi banyak teman karena penyakit orang tuaku itu. Untung Ada Raflina yang tidak segan untuk berteman denganku tanpa rasa jijik sedikit pun."

"Keluarga mereka banyak membantu keluarga kami. Sehingga hubungan kami menjadi sangat akrab sampai kedua orang tuaku meninggal dunia. Mereka berpesan untuk selalu ingat dengan jasa Bu Lastri dan Ningsih terhadap keluarga ini." pungkas Dewi mengenang masa lalu.

Tama tercenung. Begitu dalamnya ikatan persaudaraan Dewi dan keluarga Raflina itu sampai-sampai dia berlinang air mata. Tama sangat menyakini bahwa sejatinya Bu Lastri dan Raflina adalah wanita yang sangat baik hanya tertutup oleh Nafsu membabi buta untuk membalaskan dendam leluhurnya. Tapi siapa sangka seolah Tuhan telah memperingatkan mereka atas apa yang mereka lakukan selama ini.

"Raflina, kemana?" tanya Tama dengan hati-hati. Raflina adalah tujuan awalnya datang ke sini. Dia harus tahu keadaan tunangannya yang sangat dicintainya itu. Meski polisi bilang kalau pembunuh dari ibunya adalah Raflina. Tapi batinnya menolak sangat keras. Dia sangat yakin kalau Raflina tidak mungkin melakukan hal yang paling menyakitkan baginya itu.

Dewi menjerit histeris, membuat Tama menjadi panik. Bagaimana kalau tetangga sampai datang ke sini dan menuduhnya yang berbuat macam-macam, mengingat di rumah itu mereka hanya berdua. Tama lantas duduk di sebelahnya sembari mengelus-elus pundaknya, berusaha menenangkannya.

"Aduh, Mbak jangan nangis. Nanti takutnya Warga mengira saya ngapa-apain, Mbak." tutur Tama. Dewi berangsur menahan sesegukannya. Tama menunggunya sampai dia tenang. Tetapi sepertinya Lidah wanita itu kelu untuk berbicara.

"Dia... dia diperkosa ramai-ramai sama beberapa warga, Tama." Tuturnya dengan suara yang terbata-bata.

Hati Tama mencelos. Dia memegang dadanya yang terasa sesak seperti dihimpit oleh batu yang sangat besar. Kaget, marah, kecewa bercampur menjadi satu. Raflina, Wanita yang sangat dia jaga selama ini, direnggut paksa kesuciannya oleh orang-orang biadap itu.

Tama meremas rambutnya sendiri. Dia merasa kecolongan menjaga Raflina. Kenapa tunagannya itu harus mengalami kejadian yang sangar tragis sepertin ini.

Tiba-tiba dia teringat dengan pembicaraan sekelompok orang di warungn tadi. Dia sangat Yakin kalau mereka terlibat dalam kejadian ini. Terbayang raut wajah mereka yang seperti tanpa dosa. Ingin rasanya dia membunuh mereka satu persatu.

Tetapi, Tama bukan tipe orang yang bar-bar. Dia lebih bisa menjaga emosinya. Apalagi dia dianugrahi dengan otak yang encer. Sehingga dia ingin membalas mereka dengan cara yang lebih cerdas.

"Terus sekarang dimana, Raflina?" tanyanya.

Dewi menutup wajahnya. Tangis kembali timpa ruah, terlebih ketika dia membicarakan sesuatu yang seakan menikam telinganya. Sekaligus menikam batinnya dengan sangat dalam.

***

Dewi dan Tama berdiri di samping makam. Tama langsung bersimpuh dan menggenggam tanah kuburan yang masih basah itu. Tatapannya nanar memandang tanah yang sedang dia genggam. Lalu dia menghujam dadanya dengan kepalan tangannya itu. Batinnya sangat sakit sekali kehilangan orang yang sangat dicintainya itu.

"Kamu jangan seperti ini, Tama. Nanti Raflina sedih melihatmu seperti ini." nasehat Dewi sambil memegang pundak tegap Tama. Pria itu sama sekali belum bisa menerima semua ini. sudah cukup dia kehilangan ibunya, dan sekarang dia kembali kehilangan Wanita yang selalu menjadi Angannya di masa depan.

"Tapi, kenapa? Kenapa dia harus meninggal dengan cara seperti ini?" pekik Tama dengan emosinya yang meluap-luap. Sungguh kalau dihadapkan dengan kehilangan seseorang yang sangat dicintai, emosinya menjadi tidak terkontrol.

"Iklaskan dia. doakan yang terbaik." ujar Dewi. Tetapi lelaki itu justru merebahkan tubuhnya di tanah pekuburan itu. Dia tidak perduli dengan bajunya yang kotor. Dia sangat menyesali di detik-detik terakhir di dalam hidup Raflina, mereka harus bertengkar hebat karena sebuah kesalah fahamnnya. Dan sekarang dia meninggal dengan cara sangat Tragis.

Sementara tidak jauh dari mereka, di balik pohon. Terlihat seorang wanita yang tampak sesegukan tetapi matanya nyalang penuh dendam.

Next chapter