webnovel

Hentikan insting sesatmu Lina!

Keesokan harinya,

Raflina dan Tama bersiap untuk kembali ke kota. Masa cuti yang singkat membuat mereka tidak bisa lama-lama tinggal di desa itu. Apalagi, Tama sudah di tunggu oleh klien untuk menangani komplain yang kemaren.

"Tolong, bantu aku bawain kardus ini ke mobil dong." pinta Raflina kepada Tama sambil menunjuk sebuah kardus air mineral yang diikat rapi di bawah kursi ruang tamu. Tama menaikkan satu alisnya.

"Ini apa sayang?" tukasnya ingin tahu. dia baru sadar kalau dibawah kursi kayu itu ada kardus.

"Itu bahan-bahan buat bikin jamu." Sahut Bu Lastri yang baru saja keluar dari ruang tengah. Melihat kedatangannya yang tiba-tiba, membuat Tama hampir melonjak karena terkejut. Tapi dia tidak menujukan rasa terkejutnya itu sebagai rasa hormat atas calon mertuanya itu.

"Bu, kamu berangkat dulu ya." kata Raflina sambil menyalami tangan ibunya. lalu di lanjut dengan Tama. Ketika Tama akan menjabat tangannya, wanita setengah baya itu malah menurunkan tangannya dengan pandangan judes. Dengan berat hati pria itu menurunkan tangannya.

"Kami Pamit Bu." lirih Tama. Namun Bu Lastri masih membuang wajahnya sambil bersedekap. Tama hanya tersenyum kecil karena tidak digubris. Perubahan sikap Bu Lastri karena dia tidak suka dengan kehadiran Tama di dekat Putri tunggalnya itu. Dia menganggap kalau Tama hanya akan menjadi penghalang untuk membalas dendam. Wanita setengah baya itu berniat untuk menyingkirnya, Namun ditahan oleh Raflina.

Tama sudah mengetahui hal itu. Akan tetapi dia lebih memilih diam dan bertahan. Meski dia tahu bahwa sekarang berada di sarang ular berbisa yang kapan saja bisa mengigit dirinya, Tapi dia yakin-seyakinnya Raflina tidak mungkin akan menyakiti dirinya. Apalagi membunuhnya dengan racun yang berbisa.

Tama menghela nafas. Lalu dengan setengah menunduk, dia mengambil kardus di bawah meja dan membawanya ke dalam mobil. Di sana, Raflina sudah menunggu di dalam mobil.

Tama yang sudah menaruh kardus itu di jok tengah, beralih ke kursi kemudi. Dia menyalakan mobilnya, memanaskannya sejenak. Sebelum melaju meninggalkan pelataran rumah itu, dia melirik ke arah Bu Lastri yang menatapnya dengan sorot mata yang tajam menusuk. Tama mengalihkan pandangannya ke depan. Dia tidak mau membalas pandangan kebencian ibu mertuanya.

Raflina menoleh ke arah Tama yang tampak tersungut-sungut. Dia bisa merasakan suasana hati dari tunangannya itu tidak enak karena sikap ibunya tadi. Tapi dia sangat salut dengan Tama yang mampu menahan emosinya demi bisa bertahan dengannya. Tanpa Tama sadari, Raflina tengah tersenyum tipis sembari melihatnya.

"Jangan diambil hati ya sikap ibu tadi." ucap Raflina sambil memegang lengan pria itu. seketika pria itu menoleh. Suasanya hatinya yang keruh mendadak bisa ternetralisir oleh sentuhan lembut gadis itu. Terlebih, senyum yang terukir di wajahnya membuatnya seperti mendapatkan doorprize mobil.

Tangan kanan Tama mengelus-elus punggung tangan gadis itu sambil menampilkan senyum termanisnya. Senyum yang hanya dia berikan kepada Raflina seorang.

"Apapun akan kulakukan untukmu Sayang."

Suasanya yang semula beku menjadi cair. Tama sudah bisa melupakan perlakuan yang tidak enak calon mertuanya tadi. Itu sama sekali tidak membebaninya, selama Raflina ada di sampingnya.

"Kita nanti mampir dulu ke rumah Temenku ya." Tukas Raflina.

"Emang rumahnya dimana Sayang?"

"Masih di desa ini kok, aku arahin ya." Tuturnya.

Beberapa saat kemudian, mereka sampai ke sebuah rumah sederhana. Terlihat ibu-ibu yang sedang mengerubuti gerobak tukang sayur tepat berada di dekat mereka.

Raflina mendadak gusar saat melihat ibu-ibu itu. Sorot mata penuh kebencian terpancar di sana. Tama yang menangkap perubahan dari rona wajah Raflina pun segera menegurnya.

"Kamu tidak apa-apa sayang?"

Raflina menoleh ke arahnya sejenak dan berucap, "Tidak apa-apa." lalu dia kembali menatap para ibu tadi.

Tama menghela nafas sejenak. Dia mengelus-elus punggung Raflina sambil memandangnya dengan tatapan yang lembut.

"Ayo sayang, aku temenin."

Mereka pun turun dari mobil. Ibu-ibu yang semula sibuk ngerumpi berhenti sejenak. mereka menatap aneh ke arah Raflina. Tama tidak tahu apa yang terjadi diantara mereka. Tama juga tidak mau memaksakan tunangannya itu untuk bercerita.

Di depan rumah sederhana itu, Raflina mengetuk pintu dan memanggil nama seseorang.

Tok...tok...tok Dewi!

Tidak berselang lama, terdengar suara derap langkah kaki dari dalam. kemudia pintu terbuka, terlihat seorang wanita yang mungkin seumuran dengan Raflina. Cuma bedanya tubuhnya yang melebar kemana-mana dan menggunakan daster khas ibu-ibu pedesaan. Wanita itu terlihat sumringah atas kedatangan Raflina.

"Ya Ampun Lina? Apa kabar kamu?" seru wanita itu sambil memeluk Raflina dengan sangat erat. Agaknya mereka seperti sahabat lama yang sudah lama tidak bertemu.

"Baik, Dewi! Aku kangen banget sama kamu!" tutur Raflina yang sangat ekspresif sampai membuat Tama keheranan. Bisa-bisanya dia bilang kangen dengan seseorang bernama Dewi ini. Segitu dekatnya mereka sampai Raflina yang dingin itu berubah menjadi ceria kalau ketemu Dewi.

"Oh iya." Raflina melepas pelukannya. Lalu dia menoleh ke arahku. "Ini tunanganku namanya Tama. Tama ini teman Sdku namanya Dewi."

Dewi pun menjabat tangan Tama sambil memandangi parasnya yang tampan. Meski dewi adalah seorang wanita yang tergolong berkulit putih, tapi kulitnya Tama lebih putih darinya. Bahkan kontrasnya terlihat jelas ketika mereka bersalaman.

"Ganteng banget kamu. Sangat cocok dengan Raflina yang cantik." Celetuknya yang membuat rona wajah Raflina memerah.

"Terima kasih Mbak. Emang kita sudah ditakdirkan berjodoh mungkin." Selorohku yang membuat Raflina memalingkan wajahnya karena tersipu. Sementara Dewi hanya terkekeh.

Setelah berbasa-basi sejenak, terlihat raut wajah Raflina berubah menjadi serius. Dia menoleh ke arah Tama.

"Boleh 'kan aku bicara berdua saja dengan Dewi?"

Tama tertegun. Sekilas dia menoleh ke arah Dewi. Wanita itu memberikan isyarat untuk mengiyakan. Sepertinya akan terjadi perbincangan yang cukup intens diantara mereka, tentu tanpa melibatkannya.

"Boleh saja sayang." jawab Tama setelah terdiam. Kemudian, Raflina dan Dewi masuk ke dalam rumah dan menutup pintunya rapat, seolah perbincangan mereka tidak boleh diketahui siapapun. Hal itu justru memancing rasa tahu Tama. Tapi dia tidak bisa berbuat banyak.

Pria itu pun duduk di lincak. Pandangannya lurus ke arah ibu-ibu tadi yang masih mengerubuti gerobak tukang sayur. Terlihat mereka berbisik-bisik dengan raut wajah khas ibu-ibu yang suka menggibah dengan sesekali melihatnya. Tama tidak mengerti, apa mungkin mereka sedang membicarakan tentang Raflina? apa yang gadis itu yang telah perbuat sampai mereka terlihat begitu membencinya? Begitupun Raflina yang tidak bisa menyembunyikan kebenciannya ketika masih di dalam mobil tadi.

Tiba-tiba Tama dikagetkan oleh pekikan seseorang dari dalam. Itu suara dewi. Tama pun mendekatkan telinganya di jendela di dinding kayu itu. Sepatah kata yang berhasil dia tangkap.

"Hentikan perbuatan sesatmu Lina!"

Next chapter