webnovel

Rintik Ketiga

Di musim hujan, katanya kafe menjadi tempat favorit bagi anak-anak muda.

Kata siapa? Teori perihal ini bisa Rin bantah bila mengobservasi sekelilingnya. Meski ruangan telah dipasang musik sehangat mungkin dengan lagu Song Request dari Lee Sora, namun perhatikan keadaan kafe Luxury Lushーtempatnya bekerjaーsekarang.

Hampa.

Cuma ada cekikikan ringan dari pasangan muda di sudut ruangan dekat jendela. Si cowok menuturkan rayuan yang membuat wanitanya tersipu malu. Mereka saling memadu kasih di tengah keadaan Rin yang butuh diapresiasi.

Badan mungil Rin terus mematung dari siang sampai jam tujuh malam kini demi mengemban titel sebagai kasir, pelayan kafe. Meski jengah, namun seulas senyum ramah wajib terpatri demi mengoles citra baik pada kafe.

Tanpa diketahui siapa pun salah satu tapak sepatu Rin mencuri celah untuk menggosok-gosok betisnya yang lain. Kaki Rin pegal-pegal. Dia cuma perlu duduk sekarang, beri waktu setidaknya satu menit. Ya Tuhan, mengapa dunia ini kejam pada mereka si penggali sebongkah berlian.

Lonceng pintu masuk kafe tiba-tiba bergemirincing, sontak menegakkan kembali tubuh Rin. Karena gemerincing lonceng di sana menandakan bahwa ada seseorang datang mengunjungi kafe.

Rupa satu orang bersurai kecokelatan hadir mendekati Rin seraya mengedarkan atensi, menelaah sekilas pemandangan interior di sana.

Tepat ketika itu sigapnya Rin lenyap. Semangatnya runtuh saat menemui formasi wajah di hadapannya begitu mewarnai kusutnya pikiran Rin satu kali tatap. Garis wajah itu masih jelas terbentuk dalam memori Rin.

"Kafe ini masih sepi. Hei, menurutmu..." Akhirnya, sepasang biji mata berwarna hazel kelam terhenti pada muka naif Rin yang hilang akal sementara. "..ohー"

Pemuda itu ikut meneguk ludah tak kasat mata. Dahinya mengerut, alis yang cukup tebal saling merajut tanya dan permintaan kepastian. Satu kesimpulan tak kunjung terilhami dari dua figur ini yang masing-masing ditelan gagasan tersendiri. Udara di sekitar mereka senyap.

Rin mengenal pelanggan laki-laki ini sebagai wujud yang baru saja kemarin lusa menghantarkan deja vu dan sakit kepala hebat sampai tak kukuh Rin menampiknya. Seseorang yang bersikap kasar pada wanita yang mungkin memiliki hubungan erat dengannya. Masih terjerat dalam ingatan Rin perlakuan dia terakhir kali menepis payung pemberian si wanita. Bahkan masih terngiang di benak Rin senyum getir yang mendekorasi paras lembutnya. Hati Rin seolah tercabik-cabik.

"Halo, kau dengar aku? Aku mau pesan."

Sontak Rin kembali menargetkan fokus karena lambaian tangan pria yang sejak tadi buram akibat terlalu banyak meneroka memori. "Ya? Anda mau pesan apa, Tuan?"

"Hm, pelayan baru di sini?"

Rin mengangguk polos. Si pria turut manggut-manggut paham. Rin merasa tolol dilempari cibiran pemuda ini yang mengundang heran. Dia menarik sudut bibirnya setelah itu. Kedua sikunya menumpu pada meja pemesanan. Seraya mencondongkan wajah untuk mengikis jarak pada muka Rin, ia memasang senyum menggoda. "Kalau begitu, boleh aku pesan kamu saja?"

Plak!

Telapak tangan Rin bergerak spontan. Serangan dadakan ini membuat pria di sana sulit membungkam. Teman satu shift Rin hampir berjengit kaget. "Soo, Soorin, kau..."

Punggung tangan lelaki itu menghalau bekas tamparan Rin. Keningnya mengernyit bersama desahan rintihannya. Tapi, bibir itu masih merintis senyum congkak. "Ah, ayolah, aku cuma bercanda. Kenapa kau menganggap seserius ini, pelayan?"

Tatapan Rin menyalang. Bahwasannya ini datang pertama kali buat Rin. Jadi, tidak semudah itu menetapkan gurauan sebagai alasan.

"Aku tidak kenal siapa kamu. Ketahuilah, kafe ini bukan tempat bercanda. Lebih baik pergi atau kuanggap kau sebagai pengacau di sini."

"Baiklah, baiklah. Kalau begitu, aku pesan hotdog."

Rin terlampau geram. Giginya hampir menggeretak. "Kau bisa lihat di panel atas tidak ada menu seperti itu, Tuan."

Kerlingan mata Tuan Pelanggannya Rin yang tegas beralih ke panel sejenak, menerawang. Mana peduli, dia menggedikkan bahu. "Tinggal buatkan saja untukku."

"Cukup, Tuan. Lebih baik pergi sekarang. Benar-benar pengacau."

"Kenapa begitu susah hanya untuk membuat sebuah hotdog? Toh, akan kubayar juga. Hitung-hitung menyelamatkan kafe yang sepi ini, huh. Cepatlah," lolong pemuda itu menitah Rin sembarangan. Dia satu kali berdecak. Tanpa memberi luang Rin untuk membalas, ia telah melengos. Sorot matanya mencari-cari. "Baiklah, aku akan cari tempat duduk ternyaman."

Dia salah. Benar-benar salah. Seharusnya Rin yang berdecak. Gadis itu hanya membuang napas kasar. Bahunya tegang menahan amarah. Teman di sampingnya berupaya menenangkan. "Rin, percayalah itu..."

"Diamlah. Tolong jangan mengajakku bicara," bentak Rin sekonyong-konyongnya. Bahkan ia tak sadar telah meninggikan intonasi. Sebodo, dia langsung beringsut ke dapur kafe. Rasanya ingin sekali bercerita panjang lebar tentang ini pada Jimin sewaktu pulang nanti.

Memakan waktu agak lama, lantas piring yang menyajikan sebuah hotdog hangat diletakkan di atas meja.

Oke, rasa muak Rin kali ini telah menjalar hingga ujung rambutnya. Terlebih memastikan cara duduk pemuda ini yang semena-mena. Dia memilih bangku yang istimewa dengan posisi meja yang cukup rendah. Di sana ia menyandarkan punggungnya dengan tambahan kedua kaki yang terjulur mantap di atas meja. Dirinya sibuk menggeluti ponsel tak menggubris kedatangan Rin.

"Oh, Tuan, sepertinya aku lupa menambahkan saus." Rin mulai menjalankan aksi isengnya yang cukup nyeleneh. Botol saus mulai melayang di udara, naik turun menyemprot bagian hotdog beringas. Banyak dan menumpuk. Rin terlanjur kesal.

"Siapa yang menyuruhmu menaruh saus? Aku tidak suka saus. Ganti yang baru." Lirikan tajam dari mata sayup pemuda di sana berhasil membuat Rin membeku. Dia tidak paham mengapa di satu sisi pria ini punya aura begitu menyeramkan. Rin baru akan menghardik, namun lelaki ini membungkam Rin satu kali dia menghempaskan ponselnya ke permukaan meja.

"Kubilang ganti yang baru! Kau tuli?"

Gadis itu mengerjapkan mata berkali-kali menyaring hardikan lebih dulu pelanggannya. Sesaat lalu, Rin masih diboyong perasaan jengkel. Tapi sekarang, entah ini tiba-tiba terasa begitu mengoyak hati Rin dengan sembilu. Suara parau hujan di luar kafe jadi sangat lantang memberi kepedihan untuk hati Rin, tanpa ia tahu sebabnya. "Ap, apa..."

"Maaf, Tuan. Ini akan kuganti dengan yang baru." Teman Rin buru-buru menghampiri dan mengangkat piring berlumuran saus. Ia membungkukkan badan ke arah pelanggan laki-laki ini berkali-kali, berupaya meredakan suasana. Untung kafe sedang sepi pengunjung. Jadi, ini tidak begitu merenggut pasang mata. Sebelum beranjak, temannya berbisik pada Rin. "Kenapa kau tak beri celah sejak tadi untukku bicara? Dia pemilik bisnis kafe ini, Kim Taehyung."

Satu tetes air hujan yang jatuh ke permukaan bumi di luar sana seolah terdengar amat nyaring di telinga Rin tiba-tiba. Tubuh Rin terpaku. Pupil matanya mengecil, nyalinya kecut seketika.

Kim Taehyung menajamkan sorot mata sampai ke tagar nama yang bertengger penuh sigap di saku seragam pelayan kafe yang Rin kenakan. Benda tidak bersalah itu jadi terlibat akibat ini.

"Park Soorin, kau kupecat."

☂ ☂ ☂

To be continued.

Waduh, Kim Taehyung jahat banget ya. Gimana nih? Sejauh ini apa kalian suka ceritaku? Jangan lupa untuk cek wattpadku juga ya : mizzarella15. See you on the next chap asap!

mizzarella15_creators' thoughts
Next chapter