Namaku Emily. Tahun ini usiaku tepat menginjak 14 tahun dan sekarang aku duduk di bangku junior high school. Hal yang sedang aku lakukan sekarang adalah memandangi seseorang yang sedang tertidur di mejanya. Seorang pria yang berpenampilan cukup mencolok di kelas kami karena dia memiliki paras yang tampan, sehingga banyak gadis bukan hanya di kelasku saja, tapi bahkan gadis di kelas lain pun menaruh perhatian padanya. Entah harus merasa senang atau sedih, karena pria yang cukup populer ini sangat dekat denganku. Semenjak bersahabat dengannya, aku sering dikerjai oleh para gadis yang tertarik padanya dan terkadang mereka selalu menatapku dengan tatapan yang dipenuhi kebencian. Jujur aku merasa terganggu dengan tingkah mereka dan aku benar-benar tidak menyukai ini. Kadang aku berpikir, apakah pria ini menyadari atau tidak tatapan benci para gadis itu padaku disebabkan karena dia yang dekat denganku? Di sisi lain, aku merasa senang dan sedikit bangga karena bisa dekat dengannya dan membuat gadis-gadis itu iri padaku.
"Hei, Emily, apa yang kau pikirkan? Senyum-senyum sendiri sambil memandangi Elliot yang sedang tertidur tanpa berkedip?"
Suara itu benar-benar mengagetkanku, suara yang berasal dari seorang gadis bernama Alice. Dia sahabat baikku di kelas, selain Elliot. Sepertinya hanya dia gadis yang benar-benar mau bersahabat denganku di sekolah ini.
"Ti ... ti-tidak kok, memangnya siapa yang sedang memandang Elliot?" Aku cepat-cepat membantah perkataan Alice padaku tadi.
Alice tiba-tiba tertawa lantang membuatku memicing tak suka. "Hahaha ... sekeras apa pun aku memojokkanmu, kau tidak akan pernah mengaku, Emily."
Aku memutar bola mata, "Huuh, sudahlah jangan menggodaku seperti ini!"
Perasaan malu dan kesal pada Alice bercampur menjadi satu di dalam diriku. Melihat ekspresiku yang mungkin terlihat jelas sedang menahan malu, Alice kembali tertawa.
"Hahaha ... iya, iya, maaf. Aku hanya bercanda. Oh, iya. Aku ingin memberikanmu ini." Alice merogoh sesuatu dari saku roknya, mengeluarkan sebuah amplop yang kuyakini di dalamnya ada sebuah surat lalu memberikannya padaku.
"Apa ini??" tanyaku sembari membolak-balik amplop yang kini sudah berada di tanganku.
"Seseorang memintaku untuk menyerahkan ini padamu."
"Siapa??"
"Kau baca saja sendiri surat itu, nanti juga kau akan tahu." Alice berkata seperti itu sambil mengedipkan sebelah mata disertai senyuman nakal membuatku semakin penasaran siapa gerangan yang memberikan surat ini.
***
Saat ini aku sedang duduk termenung di kamar sambil memandangi tiap kata dari isi surat yang sedang aku baca. Aku memang sedang membaca surat yang tadi diberikan Alice padaku. Aku sangat terkejut setelah mengetahui isi surat itu, isinya adalah sebuah ajakan kencan dari seorang pria bernama Rico. Aku tahu siapa pria itu, dia adalah kakak kelas sekaligus wakil ketua OSIS di sekolahku. Aku benar-benar terkejut dan bingung dengan apa yang harus aku lakukan. Haruskah aku menerima ajakan kencan ini? Aku berpikir harus meminta pendapat orang lain dalam situasi seperti ini. Tapi aku hanya punya dua sahabat baik di sekolah yaitu Alice dan Elliot. Aku sempat berpikir untuk meminta pendapat Alice, tapi mengingat dia tertawa dan menggodaku tadi, membuatku mengurungkan niat. Lalu pikiranku beralih pada Elliot, sepertinya hanya dia satu-satunya orang yang bisa aku mintai tolong untuk memberiku masukan akan kebimbanganku ini.
Tetapi, seketika itu juga aku membayangkan, kira-kira apa yang akan Elliot katakan padaku jika mengetahui ada seorang pria yang mengirimkan surat dan mengajakku pergi berkencan? Mungkinkah dia akan merasa terganggu dengan hal ini? Karena aku meminta bantuannya untuk memberiku saran tentang ajakan kencan dari pria lain. Seandainya dia memiliki perasaan khusus padaku, mungkinkah dia akan merasa terganggu dengan hal ini? Cepat-cepat aku menggelengkan kepala dan membuang jauh-jauh pikiran itu. Tapi bagaimana bisa aku memiliki pikiran seperti ini? Aku merasa sangat bodoh sekarang.
Tidak dapat kupungkiri, sebenarnya akulah yang memiliki perasaan khusus kepadanya, perasaan khusus yang lebih dari sekedar sahabat. Pikiranku menerawang dan aku teringat pertemuan pertamaku dengan Elliot. Ketika pertama kali aku bertemu dengannya, aku sama sekali tidak merasakan hal yang istimewa. Walaupun terkadang aku merasa risih dengan ocehan beberapa teman wanitaku yang terus membicarakannya. Di mataku dia hanyalah sesosok pria yang bersemangat, periang dan sepertinya suka menolong orang lain. Walaupun terkadang dia bersikap cuek terhadap masalah-masalah yang ada di sekelilingnya. Aku yakin dia tahu dan menyadari banyak gadis di sekolah kami yang mengincarnya, tapi dia seakan-akan tidak peduli sama sekali dengan hal itu. Walaupun kami sekelas tapi aku tidak pernah mendekatinya atau sekalipun mengajaknya berbicara. Hingga suatu hari sesuatu hal terjadi padaku yang membuat aku mengubah pandangan dan sikapku pada Elliot.
Hari itu sepulang sekolah, aku berjalan sendirian menuju rumah. Tiba-tiba dua orang pria menghadangku, dari penampilan mereka yang aku lihat, sepertinya mereka siswa senior high school. Mereka menggodaku bahkan dengan lancangnya mereka memegang tanganku dan membawaku ke tempat yang sangat sepi. Aku benar-benar ketakutan saat itu, tidak ada seorang pun di sana. Tidak ada seorang pun yang bisa aku mintai tolong. Ketika kedua pria itu mulai mendekat kepadaku, tiba-tiba sebuah suara terdengar.
"Maaf aku mengganggu kesenangan kalian, tapi bisakah kalian lepaskan gadis itu?" Mendengar suara yang tiba-tiba mengalun dari arah belakang, kedua pria itu terlihat sangat terkejut, lalu mereka memalingkan wajah ke arah sumber suara.
"Heh, bocah, mau apa kau kemari? Aku akan mengampunimu jika kau menyingkir dari hadapan kami sekarang juga!" Salah satu dari pria itu berkata demikian dengan ekspresi marah di wajahnya.
"Yaah, tentu saja aku akan pergi, tapi setelah kalian menyerahkan gadis itu padaku."
Aku penasaran ingin melihat sosok pria yang dengan berani menantang kedua pria ini. Sosoknya memang tidak terlihat karena terhalang pria yang berdiri menjulang tepat di depanku. Aku memiringkan kepala untuk mengintip ke belakang dan aku benar-benar tercengang, aku sangat mengenal pria itu. Dia adalah teman sekelasku, Elliot.
"Hoo, jadi kau mau menantang kami, Bocah!! Kalau begitu jangan salahkan kami jika kau terluka parah."
Kedua pria itu berjalan menghampiri Elliot dan melayangkan tinju mereka pada Elliot. Tapi sekali lagi aku tercengang, Elliot berhasil mengalahkan mereka dengan begitu mudah. Sepertinya dia memiliki kemampuan bela diri yang cukup bagus. Dia telah menyelamatkanku dan tanpa kuminta dia juga mengantarku pulang.
Sejak saat itu, aku mulai sering berbicara dengannya, ternyata dia benar-benar orang yang sangat baik dan menyenangkan. Semakin lama kami semakin dekat, kami sering pulang bersama karena ternyata rumah kami searah. Aku terkadang membuatkannya bekal makan siang dan dia pun terkadang meminta bantuanku untuk mengajarinya mengerjakan tugas sekolah yang tidak dia pahami. Kami mulai bersahabat, aku bahkan tidak merasa malu atau segan untuk menceritakan masalahku padanya atau untuk meminta bantuannya.
Aku memang sadar, semakin lama sebuah perasaan khusus tumbuh dari dalam hatiku untuknya. Tapi aku tidak pernah berpikiran macam-macam, aku yakin perasaan yang aku rasakan ini hanyalah perasaan sayang kepada sahabat baik. Itulah selama ini yang aku yakini tentang perasaanku padanya, hingga terjadilah tragedi itu. Sebuah tragedi yang membuatku sadar bahwa pikiranku selama ini salah, dan aku mulai mengakui perasaanku yang sebenarnya pada Elliot.