Keesokan harinya, Rara menemui Aisyah di kediamannya. Kebetulan Ganjar sedang tidak ada di rumah seperti biasa Ganjar sedang beraktivitas di perkebunan memantau para pekerja yang sedang memanen jagung.
Turun dari mobil, Rara langsung melangkah menuju ke arah pintu rumah tersebut. Rara tampak ragu ketika mau mengetuk pintu. "Bismillahirrahmanirrahim," ucap Rara.
Kemudian, ia langsung mengetuk pintu dan mengucapkan kalimat salam dengan lirihnya, "Tok, tok, tok, Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam," jawab Marni bergegas membuka pintu.
"Eh, Neng Rara. Silahkan masuk, Neng!" Marni menyambut kehadiran Rara dengan sikap ramahnya.
Rara tersenyum dan langsung melangkah masuk ke dalam rumah. "Silahkan duduk, Neng!" kata Marni mempersilahkan Rara untuk duduk.
"Iya, Teh. Terima kasih," jawab Marni lirih.
"Sebentar, Neng. Teteh mau panggilkan Neng Aisyah dulu!" Marni bergegas melangkah menuju ke samping rumah, untuk memberitahu Aisyah yang saat itu sedang duduk santai di samping rumah tersebut. "Ada Rara, Neng," terang Marni lirih.
"Iya, Teh." Aisyah bangkit dan langsung berjalan bersama Marni menuju ke ruang tengah untuk menemui Rara.
Rara bangkit, kemudian mengucapkan salam kepada Aisyah. "Assalamu'alaikum, Ay." Rara tampak gugup saat berhadapan dengan Aisyah saat itu.
"Wa'alikum salam," jawab Aisyah menghampiri Rara dan memeluk erat tubuh sahabatnya itu. "Kamu sudah sehat, Ra?" sambung Aisyah lirih.
Rara tampak bersedih menghadapi sikap ramah sahabat yang sudah ia khianati itu. "Sehat, Ay. Maafkan aku yah!" jawab Rara berlinang air mata.
Aisyah tersenyum memandang wajah Rara. "Lupakan saja. Yang penting kamu sudah sehat!" ujar Aisyah langsung duduk bersebelahan dengan calon madunya itu.
"Aku sudah menyiapkan pakaian untuk acara pernikahan kamu dengan Aa," sambung Aisyah lirih.
Mendengar apa yang diucapkan Aisyah kesedihan dalam diri Rara semakin bertambah, ia sangat terharu dan kagum dengan kebaikan Aisyah yang tidak pernah merasa dendam terhadap dirinya. Meskipun, selama ini ia selalu menjadi momok dalam kehidupan rumah tangga Aisyah dengan Ganjar.
"Iya, Ay," jawab Rara tertunduk menahan rasa haru yang menyelimuti jiwa dan pikirannya saat itu.
Tidak lama kemudian, Marni datang dengan membawa secangkir teh hangat untuk Rara. "Ini teh hangatnya, Neng!" Marni meletakkan cangkir tersebut di atas meja yang ada di hadapan Rara.
"Terima kasih, Teh," jawab Rara melontar senyum ke arah Marni.
Marni menganggukkan kepala dan balas tersenyum dan langsung berlalu dari hadapan Rara dan Aisyah. "Kamu tidak keberatan, kalau A Ganjar menikahiku?"
"Jangan bahas itu. Ingat, ini semua sudah takdir hidup kita!" jawab Aisyah lembut.
Aisyah mempersilahkan Rara untuk meminum teh yang sudah disuguhkan oleh Marni. Setelah itu, Aisyah bangkit dan langsung melangkah menuju kamar untuk mengambil baju yang akan dipakai Rara di hari pernikahannya dengan Ganjar. "Maafkan aku, Ya Allah," bisik Rara.
Aisyah kembali menghampiri calon madunya itu dan langsung menyerahkan baju yang sudah ia siapkan beberapa hari yang lalu untuk dipakai oleh Rara di acara hari pernikahannya dengan Ganjar.
"Aku yakin baju ini pas di badan kamu," kata Aisyah.
"Terima kasih, Ay." Rara tersenyum dan meraih sebuah dus yang berisi baju untuk acara pernikahannya yang sudah dipilihkan oleh Aisyah. Setelah itu, Aisyah langsung mengajak Rara untuk masuk ke dalam kamarnya untuk mencoba baju tersebut. Ternyata baju yang sudah dipilihkan oleh Aisyah itu, ukurannya sangat pas dengan badan Rara. "Alhamdulillah, bajunya pas," kata Aisyah tersenyum dan merasa bahagia melihat baju yang ia pilihkan untuk Rara ternyata ukurannya sangat pas sekali dengan ukuran badan Rara.
Rara tampak terharu, bibirnya kelu pandangannya redup terhalang bulir bening yang terus menetes dari kelopak matanya. Tak ada yang bisa ia ungkapkan di hadapan Aisyah selain kata terima kasih dan memeluk erat tubuh sahabatnya itu yang sebentar lagi akan menjadi madu dalam kehidupan rumah tangga barunya.
Keikhlasan Aisyah ternyata mampu meluluhkan hati Rara, sehingga muncul dalam pikiran Rara untuk membatalkan acara pernikahannya dengan Ganjar.
"Aku senang melihat kamu bahagia dan sudah kembali pulih," ujar Aisyah memandang bias wajah Rara.
Rara memegang kedua tangan Aisyah. "Demi kebahagiaan kamu dan A Ganjar, aku putuskan untuk membatalkan pernikahanku ini," kata Rara sangat mengejutkan.
Sontak, Aisyah terperanjat dan merasa kaget dengan apa yang diucapkan oleh Rara saat itu. "Jangan, Ra. Hargai takdir!" cegah Aisyah dengan penuh kelembutan.
Aisyah terus memberikan dukungan terhadap Rara, meskipun itu tidak mudah baginya. Namun, karena kelapangan hati yang ia miliki. Perasaan sakit hati dan kecewa hilang berganti dengan rasa ikhlas dan kasih sayang terhadap Rara yang sebentar lagi akan menjadi istri kedua untuk suaminya itu.
Satu jam berlalu, Rara langsung pamit kepada Aisyah dengan membawa baju pengantin yang sudah diberikan oleh Aisyah untuk Rara. Menyaksikan hal seperti itu, Marni tampak kagum dan merasa bangga melihat sang Majikannya itu yang terkesan ikhlas dan tawakal dalam menghadapi berbagai permasalahan. "Jarang orang seperti Neng Aisyah," bisik Marni sembari terus memperhatikan Aisyah yang sedang berdiri di beranda rumah.
Aisyah tersenyum-senyum memandang Rata yang sudah berada di dalam mobil.
"Semoga Rara baik-baik saja, Ya Allah!" ucap Aisyah kembali melangkah masuk ke dalam rumah.
Aisyah duduk di sopa yang ada di ruang tengah, kemudian memanggil Marni untuk menemaninya. "Teh," panggil Aisyah.
"Iya, Neng." Marni bergegas menghampiri Aisyah.
Aisyah meminta Marni untuk duduk di sebelahnya, Marni tampak penasaran kemudian bertanya lirih kepada Aisyah, "Ada apa, Neng?"
"Tidak ada apa-apa, Teh. Temani aku ngobrol saja!" jawab Aisyah lirih.
Marni sedikit memberanikan diri, menanyakan prihal baju pengantin yang diberikan Aisyah kepada Rara beberapa saat yang lalu. Aisyah pun tersenyum dan menjelaskan alasannya, kenapa ia memilihkan baju khusus untuk acara pernikahan Rara dan kenapa bukan Ganjar yang memilihkannya.
"Kalau kita tawakal dan ikhlas, Insya Allah surga akan menjadi jaminan di akhir hayat nanti," terang Aisyah. "Dalam Islam, syarat diterimanya amalan ibadah adalah ikhlas dan mengikuti sunnah atau tuntunan Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam," sambung Aisyah mengarahkan pandangan ke wajah Marni yang duduk di sebelahnya.
Marni berdecak kagum mendengar penuturan dari Aisyah. "Jarang ada seorang istri seperti Neng Aisyah. Contohnya Teteh yang rela berpisah gara-gara suami Teteh minta nikah lagi," kata Marni penuh sanjungan.
***
Tingkat ikhlas yang tertinggi, yaitu saat seseorang mampu membersihkan perbuatan atau amalaanya dari perhatian manusia lain. Tingkatan kedua atau pertengahan, yaitu orang yang melakukan perbuatan karena Allah agar diberi bagian-bagian di kehidupan akhiratnya.
Tingkatan ketiga, yaitu orang yang melakukan perbuatan atau amalan karena Allah agar diberi bagian duniawi. Misalnya orang beribadah untuk mencari kelapangan rizki dan terhindar dari hal-hal yang menyakitkan.
Untuk menjadi ikhlas dalam melaksanakan berbagai amalan atau ibadah adalah hal yang gampang-gampang sulit.
Pasalnya, setan akan selalu menggoda hati manusia untuk memunculkan sifat riya' atau pamer dengan amalan. Dengan begitu, seseorang menjadi bersemangat saat amalannya dilihat yang orang lain.
Sebaliknya, setan juga menggoda agar seseorang menangguhkan diri untuk beramal dengan membisikkan ketakutan terhadap riya' saat beramal.
Ketika godaan itu berhasil, orang justru meninggalkan amalan salih gara-gara takut dikatakan riya'. Sebaiknya, amalan atau ibadah tetap dilaksanakan dan berusaha menjaga hati untuk tetap ikhlas sekuat tenaga
Hadiah anda adalah motivasi untuk kreasi saya. Beri aku lebih banyak motivasi!