webnovel

Diary berbahasa Belanda

Zayn terbangun tatkala mendengar suara piring jatuh. Dia terperanjat dengan posisi duduk. Pasti ini kerjaan dua begajulan itu, geramnya. Lalu, dia bangkit dari tempat tidur untuk memeriksanya.

Dahinya berkerut ketika melihat ke sekitar dapur. Dari sekian ruang di rumah kos itu hanya lampu dapur yang menyala, sehingga dia bisa melihat dengan jelas tempat dapur meski hanya disinari lampu yang remang-remang.

"Kok enggak ada yang pecah." Batinnya keheranan. Dia melangkah semakin dekat ke dapur untuk memastikan penglihatannya. Dan memang tidak ada bekas piring pecah atau apapun itu yang sana.

Dia menggosok-gosok keningnya kebingungan. Tiba-tiba tenggorokannya terasa kering. Dia pun mengambil air dari dispenser dan meminumnya. Tapi belum habis air itu ada yang menyenggolnya sampai air itu jatuh mengenai bajunya.

"Anjing!" pekiknya keras. dia berbalik arah dan tidak mendapati siapapun di sana. Dengan geram, dia melangkah menuju ruang tengah untuk mencari kedua temannya. Iya, dia sangat yakin itu kerjaan kedua temannya.

Pertama dia mendobrak kamar Rangga. Kamar itu terbuka dengan sangat mudah karena tidak dikunci. Namun, dia tidak menemukan sosok Rangga di dalam.

"Hah!" dia membulatkan mata. Emosi yang bergolak berubah menjadi keheranan. Dia pun melakukan hal yang sama dengan kamar Yuda. Hasilnya sama, dia tidak menemukan temannya yang bertubuh atletis itu.

"Stop ngerjain gua bangsat!" pekiknya. Kesadarannya yang belum sepenuhnya terkumpul karena bangun tidur mendadak, Di tambah kejadian ganjal yang menimpanya barusan membuat emosinya meluap-luap.

Dia pun menyalakan semua lampu. Suasana rumah yang semua gelap berubah menjadi terang benderang. Dengan tersungut-sungut dia mengedarkan pandangan ke sekitar. tatapannya berhenti di ruang depan dimana kedua motor Rangga dan Yuda tidak ada.

"Mereka tidak ada, lantas siapa yang mendorongku tadi!" gumamnya lirih. keparnoan kembali mencuat.

Zayn berjalan mundur sampai punggungnya mengenai tembok. Dia meremas rambutnya frustasi. Bisa-bisa dia menjadi gila kalau terus-terusan di teror seperti ini.

Samar-samar dia mendengar suara orang berbincang. Zayn pun berusaha menajamkan pendengarannya. Suaranya seperti dua sejoli yang bermesraan. Detik kemudian dia menyadari siapa pemilik suara si laki-lakinya adalah Rozak. Sementara yang satu lagi suara cewek yang terdengar mendesah dengan manja.

Perbincangan mereka terdengar sangat akrab. Walaupun bahasa yang mereka gunakan tidak familiar di telinganya. Seperti bahasa asing tapi bukan bahasa inggris.

Zayn hanya mematung. Tatapan matanya terus tertuju kepada pintu kamar Rozak yang terkunci rapat dengan kegelapan di dalamnya yang terlihat dari celah atas pintu. bahkan dia seperti menahan nafasnya karena takut suara desah nafasnya akan didengar oleh mahluk di dalam sana.

Semakin lama suara perbincangan itu semakin keras. Terlebih suara ceweknya yang terdengar melengking persis seperti kuntilanak. Zayn yang sudah tidak tahan dengan kondisi itu pun akhirnya berteriak.

"Diam!"

Tepat setelah Zayn berteriak. Suara itu terhenti. Hening. Hening yang sangat mencekam. Pemuda itu lantas komat-kamit mengucapkan doa yang dia tahu. Tapi keparnoan itu telah melemahkan mentalnya. Dengan terisak dia berkata lirih.

"Rozak! stop menerorku seperti ini! katakan apa maumu! Apa yang bisa kubantu. Bukankah selama ini kita berteman baik?"

Kriek!

Terdengar suara pintu yang engselnya sudah karatan itu terbuka sendiri. seketika Zayn menoleh ke sumber suara. Terlihat pintu kamar Rozak terbuka lebar, menampilkan kegelapan mencekam di dalamnya. Tiba-tiba sebuah buku terlempar tepat di depan pintu. Zayn tercenung sesaat. Itu kan buku diary milik Rozak!

Zayn mendekati buku itu dengan posisi merangkak. Pasti ada sesuatu yang ingin Rozak sampaikan lewat buku diarynya. Menguak misteri kenapa arwah Rozak terus menghantuinya.

Dia mengambil buku itu dengan tangan gemetar. Lalu, dia membuka lembar-lembar terakhir di dalam diary itu. Di sana terpampang jelas, deretan kalimat curahan hati rozak semasa hidup. seketika hati Zayn tercabik-cabik. Bukan karena terharu mengingat masa kelam almarhum temannya itu, tetapi dia tidak faham dengan bahasa belanda yang ditulis Rozak di buku diary itu.

Next chapter