"Tadi kamu sudah dengar 'kan dari siapa? Kenapa masih bertanya saja?" Alan justru menanyakan sesuatu hal, yang membuat harga diriku seolah terlempar keluar dari mobil ini.
Aku menjadi gugup seketika. Benar, memang sudah kudengar sejak tadi, tapi apa salahnya jawab saja apa yang sudah kutanyakan itu. Kenapa mesti bertanya balik seperti ini, seolah-olah berat saja untuk menjawabnya.
"Maksudku, Yani itu siapanya, Aa'?"
Waduh, kenapa aku malah bertanyanya semakin detail begini? Lebih baik sudahi saja, tidak usah diperpanjang, hah!
"Klien," jawabnya singkat.
Ya sudahlah, Yani cuma klien, kenapa harus dipikirkan?
Pada akhirnya perjalanan pulang ini pun berada dalam keheningan. Baik aku, ataupun dia, tak lagi ada bahan yang hendak dibicarakan.
*
Pagi ini, Alan membangunkanku setelah ia pulang dari masjid. Pengertian sekali ya, karena tahu aku sedang tidak salat, sehingga tak ia bangunkan sejak tadi.
"Kenapa, A'? Aa' butuh sesuatu?" tanyaku saat nyawa di badan telah terkumpul sepenuhnya.
"Nggak, saya membangunkan karena hari ini mau ngajak kamu pergi jalan-jalan."
Seketika aku langsung duduk, senyumku begitu mengembang di wajah ini. Akhirnya, dia mengajak jalan-jalan juga.
"Mau ke mana, A'? Kok nggak ngomong dari semalam. Tau gini, aku bakalan siap-siap lebih awal."
Dia tidak langsung menjawab, malah memberikanku senyuman semanis madu.
"Kamu maunya ke mana? Tapi, sebelumnya ke rumah Ambu dulu, ya. Mereka kangen sama kamu katanya." Alan berkata sambil berganti busana. Kali ini tak ia lakukan di kamar mandi seperti biasa, sudah tidak canggung lagi rupanya. Apa ini karena kemarin aku melakukan hal yang sama, di depannya? Ah, ya sudahlah, yang penting dia sudah tidak malu, artinya telah mulai membiasakan diri menganggapku istri. Ih, bicara apa sih?
"Oh iya, boleh A'. Aku juga mau berkunjung ke sana. Kangen juga sama Ambu, Bapak, dan Rena."
"Ya sudah, mandi sana."
Aku segera bangkit dan meluncur ke dalam kamar mandi.
Perjalanan ke rumah Ambu ternyata tak memakan waktu lama. Aku sempat berhenti di sebuah swalayan, hendak membelikan buah tangan untuk Ambu. Malu, masa iya datang ke rumah mertua dengan tangan kosong.
Pas sampai di tujuan. Kulihat ada mobil lain yang terparkir di luar. Apa ini mobil Bapak? Kata Alan, Bapak tidak bisa mengemudikan mobil. Lalu, punya siapa?
Ingin bertanya, tapi urung. Lihat Alan sudah siap-siap turun. Ya, aku juga turun sambil membawa buah-buahan dan kue yang tadi kubeli.
"Assalamualaikum," ucapku dan Alan serentak.
"Waalaikumsalam," jawab Ambu dari dalam.
Entah kenapa, aku merasa senyum Ambu terkesan agak canggung. Kulihat tamu tersebut seorang perempuan muda, cantik lagi. Siapa ya?
"Ambu, ini Nada bawakan buah sama kue," kuserahkan apa yang kubeli tadi pada Ambu. Ambu pun meraihnya, dan meletakkan di atas meja tamu.
"Hai, Lan," sapa wanita itu sambil melambaikan tangan pada Alan, hanya Alan. Ia sama sekali tak melirikku, padahal, jelas-jelas aku berdiri di sisi pria yang ia sapa tersebut.
"Hai. Yuk, Nad. Masuk ke dalam dulu." Setelah menjawab sapaan dari wanita itu, Alan kemudian menarikku untuk masuk ke ruang tengah.
"Kak Nada." Rena bersorak senang saat melihatku datang. Ia dengan tangkas memutar kursi rodanya.
Kasihan. Biar aku saja yang mendekat, lalu memeluk serta mencium puncak kepalanya dengan sayang. Jujur saja, kepada Rena aku memang sangat sayang, efek anak tunggal, tak punya adik.
"Lama nggak ketemu Kakak, kangen," katanya sembari membalas memelukku erat.
"Aa' nggak dipeluk juga nich." Alan menggoda adiknya itu. "Mentang-mentang udah ada Kak Nada, Aa' jadi terlupakan, sedihnya."
"Uu, nggak usah sedih. Itu, Teh Yani ngapain ke sini lagi. Udah lama 'kan Aa' putusin. Aneh aja, tiba-tiba datang."
***