webnovel

Bukan Patah Hati

Seporsi ayam goreng sudah habis satu jam yang lalu. Kuisioner juga telah dikirimkan lewat email setelah lebih dulu di cek ulang tentunya. Rasa laparnya sudah terselesaikan berkat kiriman paket tidak terduga. Karena itu pula Simon mampu menuntaskan tugas tanpa terganggu bunyi perutnya yang mirip seperti sapi mengaum.

Pemuda itu merentangkan tangan, merenggangkan bagian belakang tubuhnya sampai terdengar bunyi 'Krek' dari tulang yang dipaksa bergeser. Terdengar menyeramkan memang, tetapi setelahnya lega luar biasa memuaskan menjalar ke seluruh tubuhnya. Menghilangkan rasa pegal.

Dia beralih pada satu gelas minuman berkafein yang tak lagi dingin. Suhu ruangan telah menetralkan temperatur cairan di dalam gelas plastik. Menyedot cairan berwarna coklat muda dengan bagian atas berwarna putih, sisa-sia cream yang belum menyatu dengan cairan di bawahnya. "Sllluuuurrrp...." Tetapi masih beruntung tak mengubah rasa di dalamnya. Manis bercampur creamy. Tak terlalu masam, dan masih memiliki rasa kopi yang jelas. Apa namanya tadi? Frappuccino?

"Lumayan juga rasanya."

Simon tak terlalu kekanakan untuk menjelek-jelekkan hal apapun yang berhubungan dengan orang yang tak dia sukai. Untuk apa mengatakan hal buruk untuk sesuatu yang baik? Dalam kasus sekarang adalah minuman berkafein yang sudah dia habiskan setengahnya.

Kadang orang-orang salah mengira tentang dirinya. Mempunyai kesan dingin bukan berarti tak menyukai hal-hal manis. Simon bisa dibilang sangat suka dengan apapun yang manis-manis. Musuh paling utamanya adalah kopi. Minuman hitam satu itu sering tak cocok untuk lidahnya. Seperti menuangkan bensin untuk menggoreng ayam, sangat aneh dan selalu tidak pas. Ini kali pertamanya bisa menghabiskan setengah gelas kopi. Rekor pertama yang akan Simon ingat seterusnya, suatu keajaiban. Tetapi, kalau dia mengingat momen bersejarah ini, secara tidak langsung dia juga akan mengingat si pemberi. Tak lain adalah pemuda raksasa yang namanya sudah dilupakan.

"Sepertinya mirip nama perempuan," gumam Simon. "Sangat tidak cocok dengan badannya. Orang pasti akan berpikir kalau dia tukang jagal atau perampok. Dia bisa saja menakut-nakuti seseorang hanya dengan bersin saja."

Gelas plastik berlabel nama sebuah Cafe masih tergenggam di tangannya, Frappuccino tinggal beberapa tenggak lagi, dan Simon tanpa sadar telah mendeskripsikan hal-hal yang menurutnya mirip dengan si pemuda tinggi. Misalnya membandingkan dengan atlet WWE semasa dia kecil, Brock Lesnar. Simon merupakan salah satu fanboy nya, dia selalu menghabiskan waktu dengan bermain game 'Smack Down' hanya untuk melihat bagaimana pegulat profesional itu mengalahkan para lawannya. Kenangan masa kecil khas anak lelaki. Sayangnya, tubuh Simon tak memiliki banyak otot.

Bisa dibilang, dia iri pada si adik tingkat -yang masih dia lupa namanya- karena memiliki postur badan yang sanggat dia idam-idamkan.

Dunia sangat tak adil bukan?

'Drrrttt...'

Simon menolehkan kepalanya, pandangannya teralihkan berkat notifikasi ponselnya. Benda persegi itu masih saja bergetar, seiring pesan-pesan yang bermunculan, lebih dari satu. Itu cukup mengherankan, mengingat tak akan ada orang yang berani mengirimkan pesan-pesan sebanyak itu terus menerus. Jack saja tak pernah melakukan itu, lantas siapa?

Daripada semakin bertanya-tanya di dalam pikiran, Simon segera meraih ponsel itu. Layarnya masih menyala, memperlihatkan sebuah pop-up dari sebuah nomor yang belum tersimpan dalam kontaknya. Alis Simon reflek terangkat, seingatnya, dia tak pernah memberikan nomornya pada orang lain. Begitu pula Jacob, meskipun memiliki kesan urakan, tetapi pemuda gondrong itu terbilang cukup menjaga privasinya.

Jemari kurus pucatnya mengetuk layar, membuka isi pesan dari si anonim. Simon sempat menduga barangkali si pengirim ini adalah dosennya, lalu isi pesan berupa kritik pada kuisioner yang telah dia jawab. Tapi ternyata dugaannya salah besar. Karena, pesan tersebut bukannya berisi sebuah kritik melainkan foto-foto dari seseorang yang dia kenal.

Emily, berada di kamar hotel, sedang mengenakan pakaiannya dengan rambut awut-awutan. Di pojok kanan bawah terdapat tanggal ketika foto itu diambil, yaitu kemarin. Saat dimana gadis itu meninggalkannya dengan alasan kerja kelompok bersama Jeffrey.

Simon tak cukup bodoh untuk bertanya 'siapa' pada si pengirim pesan. Tentu saja itu datang dari Jeffrey, pemuda yang terakhir terlihat bersama Emilly.

"Ku kira dia berbeda," gumam Simon. Lantas segera menghapus semua foto yang dikirimkan padanya, termasuk memblokir si pengirim.

Menyandarkan kepalanya pada sisi bawah sofa, kelopak mata dengan bulu halus lentik terpejam, desahan lemah terdengar kemudian. Simon pikir dia tak akan begini, perasaan kecewa tak berarti harusnya tak dia rasakan. Tetapi rupanya si iblis kecil sudah merasuk, kedalam sela hati, ke balik pikirannya. Padahal, kalau dipikir-pikir selama ini dia sama sekali tak memiliki perasaan khusus terhadap Emily. Sekedar tidak ingin sendirian saja. Gadis itu cukup berperan penting dalam mengisi hari-hari sepinya, meski cuma lewat pesan.

Barangkali itulah yang membuat Simon tak melepaskan Emily. Hubungan tak berlandaskan cinta, apalagi kalau bukan asas pemanfaatan? Dalam kasus Simon adalah dia tak mau ditinggalkan.

Kesendirian memang tidak buruk, tetapi kalau melampaui batas seperti ini sering kali pikiran negatif akan memanipulasi otaknya, menyuntikan sejenis zat kimia ke dalam sistem syaraf, membuat mereka tak bekerja secara benar.

Dan untuk mengatasi hal itu, cara terbaik adalah dengan rileks. Yang paling mudah dilakukan sekarang yaitu bersenang-senang. Kalau pun tidak bisa secara sukarela, pemaksaan pasti akan bekerja secara sempurna.

Maka tanpa berpikir dua kali, Simon meraih kembali ponselnya, mencari nama dalam daftar kontaknya lalu menekan tombol berwarna hijau di sebelah kontak tersebut.

Bunyi statis menyambutnya tepat setelah dia menempelkan ponsel ke telinga. Butuh beberapa detik, hampir satu menit sebelum orang di seberang sana menjawab.

"Kau senggang kan? Temani aku ke tempat biasa."

—Piiip.

Sambungan dimatikan secara sepihak oleh Simon. Bahkan sebelum orang yang dia hubungi tadi menjawab.

Tidak masalah. Hal seperti ini memang sering terjadi. Toh, nantinya Simon sendiri yang akan mengeluarkan biaya untuk mereka berdua.

.

.

.

.

.

"Si kampret!"

"Ada apa Senior?"

Ashley memasang wajah cemas -atau takut- setelah mendengar umpatan keluar secara mulus dari pria gondrong di depannya.

Jacob menghantukkan ponsel pada dahinya, tak peduli benda keras itu akan melukai kinerja otak. Malahan bagus kalau itu terjadi. Dia jadi punya alasan untuk menolak ajakan sahabat yang merangkap sebagai majikannya.

"Aku harus pergi," ujar Jack sembari menenggak sisa minuman berkafein yang lumayan banyak. Sampai membuatnya kesusahan. Tetapi dalam kamusnya, segala sesuatu yang gratis pantang untuk disia-siakan.

"Pergi? Sungguh?"

"Hey bocah, kau senang yah kalau aku pergi sekarang?" Pria gondrong itu menyipitkan mata.

"Tidak kok," sanggah Ashley, meskipun wajahnya benar memancarkan keceriaan setelah mendengar pemberitahuan dari Jacob. "Biar aku antar sampai pintu depan~" Sebenarnya Ashley tak bermaksud ingin terlihat sopan. Justru dia melakukan itu untuk memastikan bahwa senior -menyebalkan- ini memang benar akan pergi.

"Kau tak perlu melakukan itu," ujar Jacob. Sepertinya dia sudah tahu maksud si pemuda tinggi sebenarnya. "Tetapi sebagai gantinya, bisa berikan nomor kakakmu?"

Next chapter