webnovel

Kesialan Bertubi-tubi Simon

Maserati Levante berhenti di sebuah parkiran basement setelah si pengemudi menginjak kuat-kuat rem. Bukan karena menghindari kecelakaan, hanya saja pemuda di balik kemudi tengah melampiaskan kekesalan pada bagian mobil tak bersalah. Setelah kendaraan mahal tersebut berhenti secara mendadak, membuat tubuh si pengemudi agak tersentak ke depan. Lalu..

'DUUKK!!'

Suara keras terdengar akibat pertemuan dahi dan setir mobil. Karma terlalu cepat terjadi.

Simon —si pengemudi mobil— mengelus-elus dahinya sembari meringis tanpa suara. Dahinya pasti sudah memerah sekarang, karena dia mulai merasa sakit yang menjurus ke arah pusing. Sebenarnya Simon bukanlah orang yang tidak sabaran, dia cenderung tak terlalu peduli dengan hal di sekitarnya. Misal, seperti antrian panjangnya di terobos oleh orang tak dikenal, sehelai rambut ditemukan dalam makanannya, ban kempes tiba-tiba, atau air mati saat dia masih dalam keadaan rambut berbusa. Simon lebih memilih mencari jalan lain, memecahkan masalah dengan kepala dingin.

Tapi sekarang, untuk pertama kali dia merasa kesal dan berapi-api. Mungkin karena kesialannya terjadi berkali-kali selama satu hari. Apa yang dikatakan Jacob ternyata sama sekali tidak benar, helaan nafas bukannya membuang kesialan malah mendatangkan kesialan. Ingatkan Simon untuk tak menghela nafas lagi.

Aroma kopi memenuhi seisi mobil, sangat pekat, karena Simon memakai kembali pakaiannya yang telah ternodai oleh siraman kopi di sore hari. Bekas kecoklatan masih tercetak jelas di beberapa bagian baju, membuatnya teringat pada si pelaku penumpah cairan kopi, si pemuda tinggi besar -Simon tak pernah mengingat-ingat nama orang yang menurutnya tak penting, apalagi pengganggu semacam itu.

Simon rasa dia harus segera mendinginkan kepala. Pintu Maserati levante terbuka dan ditutup sangat kencang —terkesan membantingnya— Simon berjalan dengan langkah panjang-panjang, memaksakan kakinya yang cukup kecil untuk ukuran pria hingga sampai di lift basement. Menekan tombol lalu menunggu hingga pintu terbuka. Simon menggerakan kakinya tak santai, berjalan mondar-mandir sembari sesekali melirik ke arah layar yang menunjukan panah mengarah ke bawah. Siapa orang yang dengan kurang ajarnya membuat lift terlambat turun ke bawah? Simon berkali-kali menekan tombol sampai jarinya mulai kebas. Aroma kopi membuat pikirannya menjadi tumpul. Awalnya dia tak suka kopi, hanya sekedar tak suka rasa pahit, tapi berkat si pemuda bodoh mengesalkan telah merubah pandangannya menjadi benci.

Karena kopi dan aroma sialannya membuat Simon langsung memikirkan si pemuda tinggi.

Simon mendongak, layar di atas lift masih menunjukan gambaran panah bergerak turun. Gedung apartemen ini memang memiki setidaknya dua puluh lantai ditambah lantai basement yang berjumlah tiga, tapi Simon sudah cukup lama tinggal di sini, menunggu lift tak pernah membuatnya naik darah seperti sekarang.

"Permisi Tuan?"

Simon menoleh ke belakang, tepatnya pada seorang petugas kebersihan, tampaknya baru saja membuang sampah -dilihat dari tong sampah yang sedang dia dorong- lalu menunjuk ke arah lift.

"Liftnya sedang dalam perbaikan. Anda bisa menggunakan Lift di lantai 3," ujarnya dengan suara serak khas pria tua.

"Liftnya... Rusak?" Suara Simon terdengar tercekat di pangkal tenggorokan, dia sudah kehilagan kata-kata untuk mengekspresikan kekesalannya, namun kentara sekali di wajah. Bagaimana bola matanya membesar dua kali lipat serta urat-urat yang menonjol disekitaran leher dan dahi.

"Iya, beberapa jam lalu gedung ini mati lampu karena kosleting listrik. Lalu, saat menyala liftnya mendadak rusak," jelas si petugas kebersihan.

Ternyata itu alasan kenapa tak ada papan peringatan di depan pintu lift.

Si petugas kebersihan kemudian berlalu meninggalkan Simon yang masih dalam keadaan syok. Lengkap sudah penderitaannya dalam satu hari. Setelah ini, apalagi yang akan terjadi? Apakah dia akan secara tak sengaja tersandung ketika meniti anak tangga lalu membuatnya tak bisa berjalan selama satu bulan?

Simon ingin berteriak rasanya, meluapkan segala emosi yang bertumpuk di dalam kepala. Tapi, semua itu tak akan berguna bukan? Malahan dia akan disangka sebagai orang gila yang berkeliaran di basement apartemen elit.

Maka dari itu, Simon mulai memantapkan hatinya pada sesuatu yang mungkin akan menimpanya. Entah hal sial apalagi, dia harus sudah siap dan tak terkejut.

Langkahnya terasa berat begitu menaiki satu pijakan anak tangga. Saking beratnya, Simon sampai harus berpegangan pada gagang besi yang menempel langsung di dindin sebelah kanan. Telapak tangannya terasa tersengat listrik bertegangan rendah ketika menyentuh permukaan besi pegangan yang dingin.

Satu persatu anak tangga berhasil Simon naiki hingga sampai di lantai tiga. Damn It! Simon tak pernah menyangka naik ke lantai tiga bisa menguras seluruh tenaganya. Kakinya bahkan sudah bergetar saking lemasnya berdiri, maka Simon mendudukan tubuhnya ke dinding sambil meluruskan batang kakinya yang kurus. Mengenaskan. Sekarang bau kopi sudah bercampur dengan keringat beroma masam busuk. Simon tak sabar untuk segera membersihkan diri hingga ke bagian terkecil, mungkin dia akan mengulangi ritual mandinya sebanyak tiga kali dengan beberapa sabun aroma terapi. Keringatnya telah berubah menjadi dingin berkat udara di dalam ruangan, Air Conditioner semakin membuatnya kedinginan. Simon merubah rencana mandinya, dia terpikirkan berendam air hangat dengan bathbomb beraroma terapi atau mungkin lemon? Hah~ memikirkannya saja sudah membuat tubuhnya sedikit rileks.

Benar, menghadapi masalah harus dengan kepala dingin.

Setelah tenaganya pulih, Simon memutuskan untuk menuju pintu lift yang jaraknya tak terlalu jauh dari tempat dia berdiri sekarang. Beberapa langkah dan belok ke kanan tepat di pertigaan, disitulah dia bisa menggunakan lift untuk menuju ke lantai sepuluh, letak unit apartemennya.

Untunglah kali ini tak ada kesialan yang terjadi padanya. Tak ada adegan tersandung tali sepatu atau tergelincir karena tak sengaja menginjak kulit pisang, lagipula tak ada sampah di lorong apartemen elit ini. Simon bisa bernafas lega, isi kepalanya juga tak lagi dipenuhi oleh pikiran negatif. Dan, akhirnya dia sampai dengan selamat di depan pintu kamar apartemen miliknya.

Dia mengeluarkan selembar kartu berwarna emas mengkilat dan menggesekkan pada mesin di sebelah gagang pintu. Secara otomatis, pintu besi dengan ukiran unik terbuka tanpa perlu ditarik lagi. Simon melangkah masuk dan pintu tersebut langsung tertutup secara otomatis. Keamanan dalam gedung ini sangat amat terjaga, tak pernah ada riwayat mengenai penguntit yang berhasil masuk setelah mengikuti salah satu penghuni. Kamera CCTV juga terpasang di setiap sudut-sudut dan jalan utama, itu salah satu alasan kenapa Simon memilih tinggal di sini.

"Alexa, perlihatkan keadaan di luar," ujar Simon sembari membuka satu persatu kancing bajunya.

"Baik."

Sebuah suara bernada datar menyahut dan seketika dinding-dinding kaca yang mengelilingi hampir separuh ruangan ini menjadi transparan. Alexa adalah salah satu AI yang akan menuruti segala permintaan Simon, termasuk dalam hal mengelola Smart-Home.

Simon berjalan mendekati dinding kaca transparan, memperhatikan pemandangan di luar yang sama sekali tak gelap meskipun malam sudah menggantikan siang. Kota metropolitan masih dalam keadaan sangat hidup, tak pernah mati, terlihat dari banyaknya cahaya di gedung-gedung pencakar langit maupun jalanan di bawahnya.

"Menyebalkan.." Simon bergumam.

Seorang manusia sudah sewajarnya tak pernah merasa puas, begitu juga dengan Simon.

Dia selalu merasa ada celah kecil dalam dirinya yang hilang. Sesuatu yang berhubungan dengan bagaimana cara melihat indahnya dunia. Karena selama ini, Simon hanya melihat kehampaan, semua yang dia miliki tak membantu mencapai sebuah kepuasan. Simon tak cukup bodoh untuk bertanya hal apa yang hilang, karena dia adalah satu-satunya orang paling paham tentang ini.

Hatinya sudah mati rasa. Entah sejak kapan. Bisa jadi sejak dia tahu bahwa cinta pertamanya tak akan pernah berhasil, atau sejak dia pertama kali bercinta dengan wanita. Tak pernah ada gairah dalam dirinya. Sensasi senang ataupun candu membara tak pernah sekalipun dia rasakan.

Next chapter