Kota Tebing. Sesuai namanya kota kecil itu berada di atas ketinggian tebing karang dengan laut yang tenang. Kota Tebing sendiri sebenarnya sangatlah kecil, karena lebih dari separo wilayahnya adalah perkebunan yang sangat luas!
Penguasa wilayah itu adalah Datuk Majid, bangsawan besar seperti Datuk Laksamana dan memfokuskan perekonomian penduduknya pada pertanian. Tanahnya subur dan berbukit-bukit menjadi nilai lebih wilayah itu.
Datuk Laksamana selalu datang ke wilayah itu melalui jalur laut sesuai gelarnya. Laksamana. Menggunakan kapal patroli laut Kota Tebing, Datuk Laksamana meninggalkan kapal perangnya bersama Nahkoda Hamid, Tan dan Cil.
Jalan masuk satu-satunya ke Kota Tebing adalah melalui gua besar yang menembus langsung ke kota yang ada di atasnya. Gua itu dulunya sempit, terbentuk secara alami. Tapi pendahulu penguasa tanah itu membuka gua lebih besar, untuk memudahkan warganya dan warga pendatang yang ingin berdagang.
Begitu menginjakkan kaki di pelabuhan Kota Tebing, sebuah kereta kuda segera mendekat. Kereta kuda itu utusan Datuk Majid yang pasti melihat kedatangan kapal perang Datuk Laksamana, karena kastilnya berdiri tepat di atas tebing. Sama seperti kastil Datuk Laksamana.
Selain bisa mengawasi lalu lintas laut, posisi kastil juga sengaja di bangun di tebing. Karena datarannya lebih banyak batu-batuan, yang akan menyulitkan untuk mengolahnya menjadi lahan perkebunan. Datuk Majid tidak ingin memberatkan penduduknya yang rata-rata petani.
Datuk Majid adalah laki-laki tua, gendut dan bertubuh pendek. Ciri khas lain yang terkenal di antara para bangsawan adalah tawa riang dan sering memberikan teh terbaik dari perkebunannya sebagai oleh-oleh.
Datuk Majid mendapatkan bibit teh itu ketika masih muda dari seorang pedagang Persia. Mengatakan jika minuman dari olahan tanaman teh itu sangat nikmat dan banyak diminati.
Dan benar saja. Setelah ketekunan Datuk Majid memperbanyak tanaman teh, menjadikannya oleh-oleh pada setiap tamunya yang datang, akhirnya tehnya banyak diminati. Bahkan pedagang dari negeri lain tertarik membeli tehnya dalam jumlah banyak.
Hal itulah yang sedang di bahas Datuk Majid dan Datuk Laksamana. "Selama penjualan lancar, saya tidak terlalu peduli dengan pajak yang rencananya akan dinaikkan Sultan tak berpengaruh itu!"
"Datuk Majid tak takutkah akan ada mata-mata yang akan menyampaikan ke istana?"
"Buat apa saya takut Datuk! Jikalau Sultan berkehendak menjatuhkan saya, tak apa. Biar Sultan itu tahu rasanya kekurangan pasokan makanan untuk para prajurit! Betulkan?" Datuk Majid memperhatikan Nahkoda Hamid dan Datuk Laksamana bergantian.
Nahkoda Hamid mengangguk. "Betul Datuk."
Sementara Datuk Laksamana diam saja melihat betapa beraninya Datuk Majid.
"Saya tak sabar menunggunya dewasa!" Datuk Majid memperhatikan Cil yang sedang makan kue bersama Tan. "Rupanya sangat mirip almarhum Sultan."
"Ya, benar sekali." Sahut Datuk Laksamana.
Kedatangan Datuk Laksamana dengan membawa cucunya itu tentu saja bukan kunjungan biasa. Datuk Laksamana adalah bangsawan besar dan sangat berpengaruh. Pengaruhnya bahkan lebih kuat dari Sultan yang sekarang menjabat.
Datuk Laksamana hanya diam selama ini pada Sultan yang berkuasa karena terikat sumpah setia pada kerajaan. Tapi jika cucunya dewasa dan menginginkan kembali tahta miliknya, tidak ada pilihan lain selain mendukungnya. Karena cucunya adalah pewaris sah.
"Kapan kita jalan-jalannya pak cik?" rengek Cil saat Tan menyuapi makanan tetapi Cil menolak karena ingin jalan-jalan secepatnya.
Datuk Majid tertawa melihat betapa manjanya Cil. "Bahkan sifat manja masa kanak-kanaknya mirip betul. Sabar ya, sebentar lagi kita pergi ke kebun teh Atuk. Di sana ada kastil peristirahatan dan ada sumber air panas juga. Tuan pasti suka. Sekarang makan dulu, ya?"
"Baik atuk." Cil menurut dengan mudahnya setelah mendengar adanya sumber air panas. Karena Cil sangat suka mandi air panas. Selain itu Cil juga penasaran dengan perkebunan teh yang dikatakan Datuk Majid.
"Kenapa Datuk Majid turuti perkataannya? Datuk sama saja dengan Datuk Laksamana yang terlalu memanjakannya." Ucap Nahkoda Hamid.
Datuk Laksamana dan Datuk Majid saling pandang lalu berdehem. Baru teringat jika hari sudah sore dan butuh tiga jam lebih untuk mencapai kastil peristirahatan.
Karena tidak ingin kemalaman di jalan, ke dua Datuk itu pun langsung sibuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk menginap di kastil peristirahatan.
Nahkoda Hamid menghela nafas melihat hal itu.
***
Sebelum maghrib akhirnya rombongan kecil itu sampai di kastil peristirahatan. Datuk Majid dan Datuk Laksamana mengeluh pinggang mereka sedikit sakit naik kereta yang harus berjalan cepat ke tempat tujuan.
Selama dalam perjalanan memasuki kawasan perkebunan teh yang sangat luas, Cil banyak diam. Dalam pikirannya, anak itu merencanakan mengelilingi perkebunan.
Mencari jamur, buahan liar seperti murbei dan tentu saja mencari akar tanaman yang bagus untuk dijadikan obat.
Kebiasaan Cil yang satu itu tidak banyak yang tahu, kecuali Yunus sahabatnya di Temasek dan Madi yang masih sakit.
Jadi, ketika Datuk Laksamana dan Datuk Majid mengeluh sakit pinggang, Cil segera memikirkan untuk membuatkan obat untuk meringankan sakit pinggang.
Setelah sholat maghrib bersama, Datuk Majid membawa para tamunya untuk berendam di kolam pemandian air panas yang di alirkan ke dalam kolam yang ada di dalam kastil.
Ketika para orang dewasa hanya duduk bersama di pinggir kolam, Cil asik sendiri dengan berenang dan terkadang mengapungkan tubuhnya di atas permukaan air.
"Dari mana tuan Cil belajar hal seperti itu?" Nahkoda Hamid penasaran ketika melihat Cil mengapung di permukaan kolam.
"Dari Yunus, teman Cil di rumah atuk guru. Cil sering ke sungai kecil dekat rumah atuk guru setiap istirahat belajar. Cil sering terlambat pulang dan di hukum tambahan belajar satu jam, setiap satu kesalahan!" jawab Cil jujur.
"Pasti atuk gurumu tak tahu kamu pergi ke sungai?" tebak Datuk Laksamana.
Cil tertawa mendengar tebakan Datuk Laksamana yang sangat tepat. Kembali Cil mengapungkan dirinya.
Datuk Majid ikut tertawa lalu berkata. "Terbayangkan betapa kewalahannya Datuk Tumenggung Muar membesarkannya."
***
Pagi harinya setelah sholat subuh.
Cil mengeluarkan semua isi tasnya. Menyusun satu persatu 'harta karunnya' yang terdiri dari satu set permainan gasing, sebuah ketapel, satu gulung tali pancing lengkap dengan kailnya, buku catatannya plus alat tulis, sebuah batu kapur yang biasa digunakan untuk memberi tanda jika ke tempat baru sendirian, sebuah kantong kain besar tetapi dilipat menjadi sangat kecil dan sebuah pisau kecil milik Madi yang lupa di kembalikan setelah memakainya ketika terdampar karena badai.
Setelah memastikan semua lengkap, Cil membangunkan Datuk Laksamana untuk ke tiga kalinya. "Atuk... ayo kita jalan-jalan..."
"Setelah sarapan ya..." Datuk Laksamana menjawab dengan malas karena udara pagi yang dingin.
Cil diam saja. Menyusun kembali isi tasnya lalu pergi ke kamar Nahkoda Hamid yang ada di samping kamarnya dengan Datuk Laksamana. "Atuk, ayo bangun. Kita jalan-jalan." Cil menggoyangkan pundak Nahkoda Hamid.
Nahkoda Hamid membuka mata dan menemukan anak kecil penuh semangat. "Tuan Cil..."
"Ayo kita jalan-jalan."
"Ini masih jam enam. Sebentar lagi, ya..." jawaban malas Nahkoda Hamid sambil membalik tubuh ke kiri. Membelakangi Cil. Menarik selimut hingga ke pundak dan tertidur lagi.
Cil membangunkan lagi dengan menggoyangkan pundak Nahkoda Hamid. "Atuk ayo bangun."
Nahkoda Hamid membalik badan lagi, menjadi telungkup. Merangkak selangkah keluar dari selimut lalu... Tertidur lagi.
Bahu Cil lemas melihat Nahkoda Hamid yang kalah berperang dengan kantuk dan hangatnya selimut di pagi yang dingin. Menyerah dengan Nahkoda Hamid, Cil berpindah ke kamar Tan yang berhadapan dengan kamar Nahkoda Hamid.
Seperti biasa Cil melompat ke atas perut Tan untuk membangunkannya. Tapi entah kenapa para orang dewasa susah sekali dibangunkan kali ini. Tan sama sekali tidak terbangun meski Cil sudah menarik selimutnya. Tan hanya terbangun sekali tanpa membuka mata untuk menarik selimut.
Benar-benar cocok kastil itu dijuluki kastil peristirahatan. Para tamunya lebih semangat untuk tidur di banding jalan-jalan menikmati pemandangan yang segar di luar.
Lelah membangunkan Tan yang tidak juga beringsut dari tempat tidur, akhirnya Cil keluar.
"Tuan Cil." Panggil seseorang dari belakang Cil yang baru keluar dari kamar Tan.
Cil membalik badan dengan cepat dan tersenyum lebar begitu melihat Puan Imah, istri Datuk Majid. "Uwan..."
"Tuan mau ke mana? Sudah rapi dan gagah!" Puan Imah berlutut di hadapan Cil, memegang ke dua pundak anak itu dan memperhatikan penampilan Cil.
"Cil mau jalan-jalan, bolehkah uwan?"
"Baiknya menunggu Datuk atau tuan Tan bangun."
"Cil sudah bangunkan semua! Tapi mereka asik betul tidurnya. Cil jalan-jalan sendiri bolehkah?"
"Tuan mau jalan-jalan ke mana sendirian?"
"Cil mau cari tanaman obat, untuk obat sakit pinggang atuk."
Puan Imah tersenyum lebar mendengar jawaban Cil. "Kalau begitu, tuan perlu membawa sedikit makanan biar tak lapar ketika sedang asik jalan-jalan."
Cil mengangguk penuh semangat. Akhirnya ia mendapatkan izin untuk jalan-jalan.
Di ruang makan, Puan Imah menyusun aneka kue hingga penuh ke dalam kotak kecil yang terbuat dari anyaman pandan. Setelah penuh dengan aneka kue, Puan Imah menutup dengan tutupnya yang juga terbuat dari anyaman pandan. Mengikat agar tidak mudah berserakan isinya, barulah memasukkan ke dalam tas serut Cil.
Ketika memasukkan kotak anyaman pandan berisi kue ke dalam tas, Puan Imah tahu jika Cil memiliki 'bekal' untuk menjaga diri.
"Baiklah. Sudah siap semua!" ucap Puan Imah sambil membalik badan Cil menghadapnya.
"Terimakasih uwan."
"Hati-hati, ya!"
"Iya, uwan."
"Nah, pergilah bersenang-senang!"
Cil tersenyum lebar. Menyalami Puan Imah yang mengusap rambutnya. Setelah itu Cil segera berlari penuh semangat keluar kastil.
Udara pagi yang masih sangat dingin segera menyambutnya begitu Cil berada di luar kastil. Cil menyusuri jalan setapak yang pada sore hari sebelumnya di lalui kereta kuda yang membawanya ke kastil peristirahatan itu.
Puan Imah memperhatikan dari pintu kastil ketika Cil berlari kecil keluar gerbang kastil. Prajurit yang berjaga di depan gerbang memberi hormat pada Cil ketika anak itu melintasi mereka.