Cakrawala telah menutup seluruh sinarnya. Sinar yang mulai bias dan semakin meremang. Sela-sela batang pohon semakin hitam. Tanah tak tampak lagi strukturnya. Kita berdua tidak tahu akan melewati apa didepan. Hanya roda yang terus menderu meraba-raba.
Dalam kondisi seperti ini Pak Hadi masih tetap stabil menjaga keseimbangan motor. Wah sekali rasanya. Seperti sedang mengendarai offroad saja namun dalam keadaan buta. Cahaya motor saja yang akan setia kelak menemani perjalanan kami.
Seperti tahu kondisi jalan Pak Hadi seolah tahu dimana lubang-lubang dan kubbangan juga akar yang harus Ia hindari atau menurunkan kecepatannya.
Aku berpegangan semakin kuat pada hendel yang ada di samping jok motor. Tidak lupa kulafalkan semua doa yang kumengerti dalam hati. Di tempat mengerikan seperti ini bersama orang asing, Satu satunya yang aku butuh kan adalah perlindungan Tuhan. Berusaha ku tenangkan diriku sendiri.
Beberapa waktu lalu kami melewati perkampungan. Memang sepi namun membuat hatiku sedikit tenang. Selang beberapa meter ternyata aku dikejutkan oleh jalan gelap lagi. Tiba-tiba rem motor berdecit dan motor pun berhenti dari perputarannya. Pak Hadi menoleh kepadaku. Meski gelap saya bisa tahu melalui siluetnya.
DEG...
Debar jantungku mencelus. Ada apa didepan sana. Kenapa Pak Hadi tiba-tiba menghentikan laju motornya.
"Mba Santi, mulai dari sini tolong jangan bersuara. Sampai nanti kita bertemu dengan gardu yang ada cahaya petromaksnya. "
Ahh Ya Tuhan. Aku kira ada hal yang menghalangi perjalanan kita. Ternyata Pak Hadi memperingatiku untuk mulai diam dari titik ini hingga ke depan sampai menemui sebuah gardu yang di hiasi cahaya petromaks. Tuturnya tadi.
Begitu Pak hadi selesai bicara. Lalu aku pun hanya menganggukkan kepala. Pak Hadi pun kembali dengan sikap fokusnya meraba jalan didepan.
Aku mengeratkan peganganku. Sekian menit lalu merasa lega bahwa kukira Pak Hadi akan melakukan hal aneh. Atau mungkin ada hal aneh yang tidak kuinginkan menghalangi perjalanan kami. Tapi detik saat motor melaju lagi aku mulai meresapi maksud wanti-wanti dari Pak Hadi.
Di perjalanan sebelumnya, Pak Hadi berusaha menghapus kecanggungan di antara kami. Dia berusaha mencari topik baru agar perjalanan tidak membosankan. Dia berusaha membuatku percaya bahwa Dia akan membawaku ke tempat aman.
Sekarang aku sudah tidak menemui keraguan lagi. Semua rasa itu sudah digantikan oleh kondisi yang mencekam ini. Kuserahkan nyawaku pada Tuhan melalui orang ini dan doa-doa perlindungan yang tidak putus.
Suara binatang malam bersahutan di sana sini. Yang membuatnya terdengar mengerikan adalah suara-suara tersebut menggema oleh keheningan malam belantara. Udara malam juga semakin tidak bersahabat. Ia memperburuk keadaan mencekam ini.
Menelusuri jalan di tengah pokok- pokok besar membuat mata yang memandang bergidik ngeri juga. Belum lagi Pak Hadi yang tampak tergesa gesa. Motor yang kami naiki seolah menderu ingin cepat sampai.
Aku bisa menebak bahwa ada hal yang Pak Hadi tidak sampaikan kepadaku. Mungkin tidak sempat atau mungkin takut membuat aku khawatir. Sudah terbaca jelas dari sikapnya.
Suara motor butut ini kian menderu. Membelah lautan pohon yang mungkin belum terjamah oleh tangan-tangan nakal pembabat hutan. Suara si butut inilah yang mendominasi perjalanan kami selain suara binatang malam. Terkadang angin juga menerpa dan membuat suara yang begitu aneh. Kayu-kayu bergesekan dan semakin membuat suasana menyeramkan.
Tapi aku hanya diam sekalipun takut setengah mati. Aku tidak mau kepanikanku malah membuat bencana untuk kita berdua. Aku menuruti perintah Pak Hadi dengan cermat. Aku tidak akan melanggarnya sekalipun tidak sengaja.
Perjalanan yang terasa lebih lama bahkan jika dibandingkan perjalananku dari Jawa menuju pelabuhan. Suasana mencekam memperburuk segalanya.
Sampai akhirnya motor yang kami naiki menabrak sesuatu. Kami pun tumbang. Aku berteriak dan melanggar ultimatum Pak Hadi. Aku ketakutan setengah mati. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku bahkan tidak merasakan sakit lagi. Seluruh tubuhku bergetar hebat.
Aku melupakan doa-doa yang kurapal sejak tadi. Aku menangis. Lalu sebuah tangan meraihku. Aku menjerit, beruntung itu adalah tangan Pak Hadi. Dia berusaha menenangkanku namun kukira gagal. Dia menyembunyikan Aku di belakan tubuhnya dari segerombol orang yang kukira adalah begal malam.
Tiba-tiba tawa bergema dari mereka. Sebuah benda panjang di todongkan kepada Pak Hadi. Aku semakin tidak karuan. Pak Hadi tetap memegang erat tanganku.
"HAHAHAHAHA...."
Tawa dari salah satu kelompok itu bergema. Aku yakin mereka berhasil menunjukkan sisi superior kelompok mereka. Aku semakin ketakutan setengah mati. Namun Pak Hadi tampak tak gentar sekalipun kalah jumlah. Dalam keadaan seperti ini kami dirugikan dalam segala hal.
Seperti yang dikatakan Pak Hadi beberapa waktu lalu dipinggir Sungai Musi tatkala kita pertama bertemu. Bahwa seseorang yang dibegal dan mati mayatnya akan dibuang ke Sungai Musi dan tidak akan mereka tinggalkan jejak apa pun. Aku takut hal itu terjadi pada kami.
Si ketua begal itu tampak mendekat. Bunyi daun kering diinjaknya tampak jelas bahwa penyamun itu mendekat ke arah Pak Hadi. Aku gemetar bukan main. Namun Pak Hadi menggeram, bukti bahwa Ia melawan.
Srek srek srek
Aku yakin jarak kami tak terpaut jauh.
"Serahkan semua barang barangmu." Kata si Ketua Begal.
"Aku tidak akan menyerahkan apa pun sekalipun aku membawa barang berharga." Tegas Pak Hadi geram.
"Kau mau mati HAHH..!!" Dia menjambak rambut Pak Hadi hingga tubuhnya hampir terangkat.
"Aghh..." Teriak Pak Hadi kesakitan lalu Ia dilempar ke anggotanya.
Kemudian mereka menghampiriku yang tak terlindungi lagi oleh tubuh Pak Hadi.Begal itu berjalan selangkah lagi mendekatiku yang semakin membuat tubuhku gemetar hebat.
Di dunia ini katanya bahkan Tuhan mengabulkan doa orang kafir. Orang yang tidak mengimani-Nya. Di dunia laknat ini bahkan Tuhan mendengar jeritan para pelacur. Di dunia ini Tuhan digambarkan dengan rasa kasih-Nya yang tak ter tandingkan.
Karena itu, kupejamkan mata ini. Dan kukatakan pada-Nya dari dalam hati.
"Tuhan, beri aku hidup. Namun jika hari ini namaku ada di catatan salah satu malaikat penjemput MU. Maka kumohon kabulkan permintaanku. Kumohon pertemukan aku dengan ibuku terlebih dahulu. Sebelum aku dikebumikan."
Kukira seputus asa ini diriku. Kakiku yang gemetar tidak akan mampu membawaku lari. Pak Hadi yang aku percayai untuk melindungi sekarang terkapar di antara mereka. Aku hanya memasrahkan diri dengan berurai air mata.
Ketua Begal terasa sangat dekat di hadapanku. Meski hanya siluet yang kulihat. Nafas kasarnya terdengar menderu. Lalu ia mencengkeram rahangku dengan kuat.
"HAHAHA..." Dia tertawa lagi.
Sekejap kemudian tangannya berpindah dari rahangku menuju payudaraku. Aku terperanjat. Aku berteriak karena kaget. Aku yang tadi ketakutan menjadi geram.
"APA YANG KAMU MAU!"
Aku mundur selangkah dari raihannya. Kukatakan dengan lantang dan bergetar tanda bahwa aku tidak akan menyerahkan diri begitu saja.
"Ternyata kau perempuan. HAH! Ahahahahhahaha". Mereka kompak melecehkanku.
Tuhan tidak menjawab doaku secepat yang kuinginkan. Aku menjadi putus asa akan nasibku selanjutnya. Para Begal ini seolah menikmati rasa takutku. Tawa mereka bergemuruh seolah aku adalah mainan baru untuk mereka.
Salah satu begal itu mendekatiku lagi. Aku memalingkan muka. Meski tahu tak akan terlihat rupaku. Kupeluk erat tas yang telah kupindah dari punggungku ke depan dadaku.
"Hai nona.. jangan lah jual mahal... aku tahu kau juga ingin kan.... ahahahahaa..." Racau salah satu Begal. Yang aku yakini dialah ketuanya.
"APA MAKSUD MU!" Ketusku dan tak ingin memberikan celah apa pun.
"Ayolahhh... jangan pura pura tidak tahu... ayo kita sedikit bermain." Dia mulai menyentuh pundakku dan hendak melucuti kaosku.
"SIALAN!!!" Aku memukul se kenanya. Dan mengenai wajahnya. Nampak giginya meringis dan suara kesakitan.
CUIHHHH. Dia meludahiku kemudian menjambak rambutku. Aku merasa kesakitan.
"Sialan Kau JALANG! hidupmu ditanganku tapi kau berani menamparku! hah!!"
Kemudian dia hendak mencekikku. Nampak nya Dia kesal dengan perlawananku. Tangan kanannya menuju leherku. Dan sampailah Ia menyentuh titik yang bisa membunuhku detik itu juga.
Nadiku bergemuruh. Kupikir kejam sekali Tuhan jika Ia membuat sekenario hidupku seperti ini. Mati ditangan para begal dengan cara yang sangat tragis dalam perjalanan menjemput Ibuku.
Terlihat wajah ayah dan ibu waktu aku kecil dulu. Kita berjalan bersama menuju sawah garapan ayah. Ayah tersenyum dan sesekali menggodaku dalam gendongannya. Ibu membawa bakul nasi untuk makan siang kita kelak.
Suasana tanah kelahiranku yang tak akan kulupakan. Tempat di mana aku akan kembali ke mana pun jauhnya aku pergi. Tempat aku tumbuh bersama ketiga masku dan satu adikku.
Mas Mardi menggendongku dipunggungnya. Menyuapiku nasi jagung. Kita berlari lari tanpa beban. Mas Sardi dan Mas Kardi yang selalu bertengkar meski masalah kecil. Dan adik bungsuku Wisnu yang masih bayi.
Di tanah latar dengan rumah gubuk. Di bawah sinar purnama penuh. Keluargaku yang dulu sempurna sebelum ayah meninggalkan kita. Tanah hibah atau bengkok peninggalan kakek perlahan habis karena ibu tidak pandai mengelola sehingga mudah ditipu.
Aku yang masih terlalu kecil memahami keadaan itu. Kasih sayang seolah lenyap sepeninggal ayahku. Semuanya menjadi sibuk memikirkan hidup masing-masing. Aku dan adik kecilku hanya terumbang ambing di antara permasalan orang dewasa.
Masa lalu yang melintasi pikiranku. Seolah menjadi ucapan selamat tinggalku pada dunia. Untuk yang terakhir kali aku memohon pada Tuhan...
"Tuhan.. selamatkan aku...."
Mataku masih terpejam. Inikah akhirat?. Ternyata mati tidak sesakit yang kurasakan. Apa di akhirat juga bernafas? Kenapa aku masih bernafas seperti orang hidup?.
Lalu kuyakinkan untuk membuka mata. Perlahan lahan namun yang kutemui hanya gelap, gelap dan semakin terbuka semakin gelap. GUSTI!.