"Hai." Ze menyapaku.
"Hai." Aku membalas sapaannya, tapi tak membalas senyumannya.
"Apa yang terjadi?" Tanyanya dan kurasa aku mulai gila, aku menatap Zed an mataku mulai berkaca.
"Hei . . . apa ada hal buruk terjadi?" Tanyanya sambil menarikku ke belakang. Shift kami belum di mulai dan kami sedang bersiap.
"Entahlah, kurasa aku mulai gila."
"Kau kesulitan membayar biaya kuliahmu?" Tanya Ze.
"Tidak." Gelengku.
"Lalu apa yang membuatmu gila?" Dia mendesak tapi aku jelas tidak bisa mengatakan apa yang kurasakan, sudah terlalu banyak rahasia yang kusimpan dari Ze, dan aku tidak akan menyerah sekarang, karena rasanya akan janggal jika aku mengatakan semuanya. Ze mungkin berpikir bahwa aku menjual diriku pada Mr. Hudson, dan akan sangat buruk bagi Mr. Hudson jika kabar ini menyebar karena kecerobohanku.
"Entahlah, mungkin aku hanya masih harus membiasakan diri untuk kuliah sambil menjalani pekerjaanku." Kataku mengalihkan perhatian.
"Kau pasti bisa." Ze menyemangatiku, dan aku harus kembali menelan kenyataan ini untuk diriku sendiri.
***
Hari kamis, dan dua hari lagi aku bertekad untuk menyelesaikan sisa babku, tapi lewat tengah malam aku benar-benar buntu di bab empat puluh. Aku tidak lagi bisa menulis apapun, karena semua bab yang kubaca juga tidak ada yang bisa kucerna.
Aku membalik halaman demi halaman dengan cepat karena aku kesal, tapi tak kusangka aku menemukan sesuatu yang membuatku ternganga.
Ada foto seorang perempuan di sela antara halaman 723 dan 724. Kalian bisa bayangkan kan, buku ini tebalnya lebih dari seribu halaman.
Aku menarik foto itu, dan jelas itu bukan foto lama. Gadis ini mengenakan kaos berwarna putih, hotpant jeans dengan rambut di cepol dan tampak sedang memasak di dapur. Tubuhnya menghadap ke kompor sementara dia memutar wajahnya dan tersenyum ke arah kamera. Jantungku berhenti berdetak beberapa detik rasanya, aku menjadi begitu sesak nafas saat ini, saat otakku mencoba mendeskripsikan siapa gadis didalam foto itu, karena aku tahu betul itu adalah dapur di rumah mewah milik Christopher Hudson.
Dengan gemetaran aku menyelipkan lagi foto itu di sela kedua halaman dan menutup buku tebal itu. Beranjak dari kursi belajarku di dorm yang sangat kecil. Aku meringkuk di sisi jendela, diatas sofa kecil dengan selimut menutupi tubuhku.
"Christopher Hudson." Aku melafalkan nama itu dan wajahnya muncul di hadapanku seperti seorang penyihir yang mempunyai kemampuan untuk mendatangkan atau menolak sesuatu.
Oh, aku rasa aku mulai benar-benar gila sekarang. Aku mencintai orang yang tak akan pernah tahu bahwa aku menaruh seluruh hatiku untuknya hanya karena sebuah ciuman penuh nafsu darinya yang mungkin juga tidak dia sengaja, betapa naifnya aku. Dan aku cemburu pada semua wanita yang "suspect" memiliki kedekatan dengannya bahkan tanpa dia sadari.
Aku meraih ponselku dan melihatnya. Tidak ada pesan darinya satupun, bahkan setelah aku bertubi-tubi mengirim setiap bab. Dan sekitar lima menit yang lalu aku mengirim bab terakhirku malam ini.
Brrrttt Brrtttt
Ponselku bergetar, aku melihat ke arah layar. Tertulis Christoper Hudson memanggil. Aku ragu untuk bicara dengannya selarut ini, karena mungkin saja aku akan meracau, tapi seluruh jemariku ingin sekali menyentuh layar ponselku untuk menerima panggilannya.
"Halo." Akirnya aku menerima panggilannya.
"Aku baru saja membaca emailmu, kau belum tidur?" Tanyanya.
"Oh, aku pikir akan lebih baik jika menyelesaikan tugas anda secepatnya." Jawabku, aku bahkan terdengar sangat angkuh meski sejujurnya aku ingin mengatakan bahwa aku merindukannya.
"Kau masih meringkas?" Tanyanya dengan timbre suara yang selalu terasa sedang menghipnotisku untuk semakin jatuh hati pada pria ini.
"Tidak." Jawabku jujur.
"Lalu apa yang sedang kau lakukan?"
"Entahlah, aku hanya duduk di tepi jendela dan memandang keluar."
Kami terdiam untuk beberapa saat. "Aku tahu situasi di dorm mungkin kurang nyaman, jika kau mau, kau bisa menginap di rumahku setiap hari. Tidak perlu menunggu akhir pekan." Ujarnya, dan aku bisa membayangkan tatapan matanya jika dia mengatakannya langsung padaku.
"Aku akan menyelesaikan tugasku dalam dua hari Sir, jadi akhir pekan ini aku tidak akan datang ke rumah anda." Jawabku lirih, sejujurnya ini berat bagiku, tapi aku harus mengakhirinya.
"Kenapa kau terburu-buru?" Tanyanya.
"Aku ingin bisa terbebas darimu, dari semua bayanganku tentangmu yang menyiksaku seitap hari." Teriakku, dalam hati. Aku tidak bisa mengatakan semuanya.
"Aku tidak suka menunda pekerjaan." Itu yang keluar dari bibirku pada akhirnya.
"Ok jika itu maumu."
Dia benar-benar hanya memintaku mengerjakan pekerjaan ini professional. Aku menghela nafas, mungkin ini juga yang ku harapkan, apa lagi?
"Sudah sangat larut, tidurlah." Tutupnya.
"Kenapa anda belum tidur juga selarut ini?" Tiba-tiba kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirku. Aku benar-benar berharap bahwa aku bisa mengobrol lebih lama, tapi sepertinya sia-sia.
"Aku masih mengerjakan sesuatu." Tuturnya.
"Oh . . . aku mengerti."
"Good night." Tutupnya sekali lagi dan aku menyerah pada akhirnya.
"Night Mr. Hudson."
Dia mengakhiri panggilannya, dan aku meletakkan ponsel itu di sofa. Entah mengapa tiba-tiba aku menangis memeluk lututku. Aku ingin lari darinya tapi yang kulakukan justru sebaliknya.