webnovel

Mengenalmu Bukan Sebuah Kesalahan

Mengenalmu bukan sebuah kesalahan, aku tidak ingin melupakanmu dan meminta kepada orang yang akan mengisi hati ini tidak juga melupakanmu. Sebab mengenalmu bukan sebuah kesalahan melainkan pembelajaran yang berguna untuk masa depan.

Ini juga bukan tentang kesalahanmu ataupun kesalahanku ini tentang kesalahan kita berdua di masa itu.

Aku juga telah siap dengan hati yang baru, dengan orang yang bisa membimbingku lebih baik, ini bukan berarti kamu tidak baik sungguh bukan. Karena setiap orang memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing. Akankan lebih baik jika menerima kekurangan dan kelebihannya sebagai bonus tambahan.

Sindi kali ini mencoba membuka hatinya untuk Mail, menerimanya dengan apa adanya. Karena cuma Mail seorang yang mencintainya dengan tulus. Dan melupakan Onadio yang tidak mencintainya. Buat apa mengemis cinta kepadanya? Kalau disisi lain ada yang dengan tulus sama kita, lebih baik mencoba menerimanya.

Sindi dan Mail sudah seringkali jalan bersama, mulai jalan ke Mall, Cafe, dan kali ini Sindi menyuruh Mail untuk memotong rambut. Rambutnya yang sudah panjang, menurutnya tidak kelihatan rapi dan seperti orang yang nakal.

"Il lu potong rambut sana, udah kayak orang yang nakal saja" Tukas Sindi yang saat ini menuju parkiran sekolah

"Emang orang nakal identik dengan rambut panjang ya Sin?

"Kalo kata gue sih iya, mending lu potong saja. Botak juga gapapa" Sindi tertawa kecil dan memegang rambut Mail

"Semua pelaku koruptor rambutnya rapi Sin. Apa memandang dari fisik ya kebanyakan orang" Tukas Mail dingin

"Iya juga ya, tapi lu lebih baik potong saja Il, biar tambah Tampan. Kalo lu kayak gini keliatan kurus asli"

"Yaudah anterin gue potong rambut"

Deg, "Mail ternyata bisa membuatku nyaman juga kalo di jalani" Batin Sindi

"Eh malah diem, kesambet apa lu"

"Iya boleh, tapi nanti anterin gue pulang sekalian ya, ini udah sore belum potong rambutnya. Gue takut kalo pulang malem-malem ada begal"

"Iya begalnya gue, mau ngerebut hati lu" Tukas Mail

"Gombal ya gombal. Basi ah gombalannya. Ganti yang lain"

"Hemm apa ya" Mail kemudian memikirkan sesuatu, "Kamu tuh kayak tembaga plus teluriyum ya"

"Apa kok tembaga? Gue item ya!?

"Kan tembaga (Cu) plus teluriyum (Te) jadi cutee hahaa" Mail tertawa terbahak-bahak

Pipi Sindi langsung memerah mendengar jawaban dari Mail dan membuat Sindi diam di tempat.

"Udahh ayo naik" Mail melambai-lambaikan tangannga ke wajah Sindi, "Heloo anda masih sadar?"

"Gombalanmu berhasil membuatku terdiam, bisa-bisanya terpikir sampai kayak gitu"

"Gue pinter" Jawab Mail, "Ini mau ke potong rambut mana ya Sin?"

"Lah yang potong rambut elu, gue kan cewe ya ke salon kalo potong"

"Ada juga lhoo cowo yang ke salon, bahkan cowo yang skincare-an ada banyak. Cowo takut kotor, takut sinar matahari"

"Dih cowo macam apa tuh, cowo tuh ya berani kotor dan bisa bela diri. Untuk membela dirinya dan pasangannya. Idaman banget kalo bisa"

"Gue bisa" Jawab Mail dengan pede

"Iyaa-iya lu bisa jadi yang terbaik" Sindi kemudian naik ke montor milik Mail, "Yuk keburu malam"

"Ini yakin mau nemenin? Habis potong beli makan dulu yuk, mau Sin?"

"Boleh kalo nggak lebih dari jam 8"

Beruntung, tukang potong rambut sewaktu sore lagi sepi-sepinya. Pelanggan yang datang cuma Mail di temani dengan Sindi yang mengenakan jaket berwarna abu-abu dan sepatu adidas kesayangannya.

Mail membuka handphonenya, "Kayak gini bisa bang"

"Bisa easy" Jawabnya

"Botak-in aja bang" Sahut Sindi

Mail memilih gaya rambut kekinian, dengan garis di sampingnya. Kalau di sini menyebutnya jalan kutu. Mail ingin mengikuti tren yang sedang di goreng-goreng media yaitu rambut milik Criatiano Ronaldo juga ada jalan kutunya.

Lantunan musik lirih dari The Chainsmokers - Something Just Like This membuat suasana jadi semakin bahagia. Mail yang di temani Sindi, dan Sindi yang tak sabar melihat hasilnya.

Mail puas dengan potongan ini dan Sindi yang melihat Mail semakin keren membuatnya semakin terpesona. Pukul 4.00 sore mereka berdua menuju Cafe yang berada tak jauh dari rumah Sindi. Jalanan kota yang mancet, langit yang berwarna jingga membuat Sindi tersenyum sumringah melihatnya. Mail yang melihatnya dari spion tiba-tiba juga ikut merasakan bahagia.

Tak pernah terbayangkan oleh Mail akan mendapatkan hati Sindi, ternyata usaha dan cinta yang tulus bisa membuatnya tersadarkan. Usahanya selama ini tidak sia-sia.

"Lo, kenapa berhenti di supermarket?"

"Bentar, ada sesuatu yang mau gue beli" Jawab Mail dan langsung menuju pintu Supermarket, "Kamu tunggu di sini saja ya"

"Iya hati-hati"

Sindi yang melamun melihat jalanan di kagetkan oleh Mail dengan sekantong tas kresek, "Nih ambil"

"Apa ini?"

"Buka aja"

Sindi membuka dan melihat ada keripik kesukaannya dan sebuah vitamin-c, "Lo kok ada vitamin juga il?"

"Iya biar lu gak gampang sakit, biar fisik lu kuat. Kalo hati lo sih kayaknya sudah kuat"

"Makasih yaaa" Jawab Sindi dan memberikan 1 tablet vitamin, "Sebaiknya lu juga minum aja deh, biar sama-sama sehat. Gak gue aja"

"Iya Sin nanti aja ya" Mail menghidupkan motornya dan melanjutkan perjalanan menuju Cafe yang kurang lebih kurang 1 KM lagi. Tujuan Mail mengajaknya ke sebuah Cafe untuk menanyakan keadaan keluarganya. Dengan duduk berdua mungkin Sindi akan cerita secara terbuka. Mail ingin membatu jika ia sanggup dan ingin lebih dekat dengan keluarga Sindi.

Mail melepas helmnya dan helm milik Sindi, "Tempatnya bagus juga yak"

"Iyalah bagus, deket rumah gue gitu loh di rumah lo ala ada ginian. Palingan juga warung kecil" Jawab Sindi dan tertawa kecil

"Banyak"

"Bercandaa Ismail, yaudah masuk aja kuy"

Setelah sampai di depan barista, Mail di bingungkan oleh menu-menu yang tersedia. Dia hanya mengetahui ice tea yang berarti eh teh.

"Sin lu apa?" Tukas Mail dengan kebingunan

"Gue ya. Gue red velvet saja kak. Lu apa il?"

"Samain aja lah" Ini merupakan jawaban paling aman ketika memesan di Coffe shop

Sindi berjalan menuju kursi yang berada di pojokkan berwarna cream dan di hiasi gambar tumbuhan, "Ngikutt aja lu"

"Hehe maklum orang desa yang kesasar di kota" Jawab Mail dengan melihatkan giginya lebar-lebar

"Ndesooo"

"Tapi di desa enak lo Sin, masih banyak sawah. Belum tercemar udaranya kayak di kota"

"Lain kali ajak dong ke desa tempat lu ya ya ya plis"

"Boleh, kabari aja ya" Jawab Mail

Barista mengantarkan pesanan mereka berdua. Mail yang kaget ternyata red velvet bentuknya kaya gini, warnanya juga kaya gini. Apakah rasanya enak? Sepertinya kayak minuman yang seribu di pinggir jalan tapi di sini harganya bisa naik 10x lipat.

"Sin, ini kayak minuman di pinggir jalan ya, warnanya sama"

"Ngawur aja, lebih enakan ini lah. Cobain"

Mail menyedot minumnya, "Emm kayak pernah minum rasa ini, tapi di mana ya"

"Ya di sinii Ismail astaga" Sindi yang mengetahui baru tau red velvet sontak membuatnya tertawa yang berlebihan. Membuat semua orang yang berada di Cafe tersebut melihat ke arahnya.

"Sin, noh liat. Lu di liatin banyak orang"

Sindi langsung terdiam dan merasa malu akan dirinya sendiri, "Eh iya, lu sih Il buat gue tertawa"

"Ya alhamdulillah dong daripada buat nangis?"

"Eh il gue sebenarnya mau cerita ke elu sih, kasih saran ke gue ya"

"Iyaa gue sial mendengarkan keluh kesahmu, ciehh" Tukas Mail

"Jadi gini Il, gue kalo malam tuh kerja di sebuah club malam. Tujuan gue kerja ya untuk menghidupi adek gue nenek kakek dan gue sendiri pastinya. Gue capek il sebenarnya pagi ke sekolah, malemnya kerja. Tapi mau gimana lagi"

"Apa nggak ada cara lain Sin? Gue ada ide sih. Gimana kalo lu bantuin ngerjain atau nulis tugas temen, dan lu akan di bayar. Jadi lu bisa di rumah lebih aman" Tukas Mail dia tersentuh dengam cerita Sindi dan mencoba membantunya

"Gue takut gak cukup il"

"Kalo emang gak cukup lo boleh pinjem uang di gue dulu. Keselamatan lo yang paling penting Sin untuk saat ini. Masa depan lo juga masih cerah, ntar bayar aja dengan kesuksesan lo"

"Gue pikir-pikir dulu ya il. Gue jadi gak enak"

Mail memegang tangan Sindi, "Udah kan gue yang minta sendiri, jadi gak masalah Sin. Selagi gue bisa gue akan bantuin lo"

Orang yang tulus memang akan melakukan segala cara untuk orang yang di cintainya merasa aman.

Next chapter