Aku masih duduk manis di depannya, melihat Taka yang sibuk dengan smoothies strawberry dan segelas Parfait, ia tampak girang mengucapkan kata 'enaknya' berkali-kali dengan nada manja.
Dia yang saat ini terlihat sangat kekanak-kanakan, seakan tidak pernah melakukan kekejaman terhadap bocah Owl beberapa jam lalu. Pandanganku berpindah darinya kearah pancake selai madu di hadapanku. Rasanya aku sudah tidak tertarik dengan makanan, jika mengingat kembali kejadian Owl cilik itu. Bahkan aku masih bisa mendengar suara saat kepala bocah itu hancur terngiang-ngiang di telingaku.
Pandanganku berpindah lagi pada kerah lengan jaketku. Jangan tanyakan soal pakaianku yang robek-robek parah dan sangat kotor, dengan magis pakaianku akan kembali seperti sedia kala, apalagi ada Taka di sekitarku. Kemampuannya membuat semua recovery berjalan lebih cepat 5 kali lipat.
Yang menyita perhatianku sejak awal adalah Taka tidak sedikitpun terluka ataupun kotor.
"Kau tidak mau makan itu, Karasucchan?"
Suara Taka menarikku ke alam sadar, mata keemasannya yang cemerlang menatapku intens, "Aku tidak suka," jawabku cepat.
"Baiklah kalau begitu!" dengan cepat juga ia mengambil piring yang ada di hadapanku dan melahap isinya, tanpa meminta izin dariku. Yah.. aku tidak keberatan dia menghabiskan semua makanan ini tanpa menyisakan apapun untukku. Toh, ini semua hasil mencuri dan menipu.
Ya! Taka menipu. Dia memesan banyak makanan dan minuman, lalu setelah semua ia habiskan dengan segera ia akan menghilang. Kejahilan Taka ini, persis seperti apa yang aku lakukan pada bibi penjual ramen. Awalnya keisengan itu terasa menyenangkan, tapi sekarang.. aku tahu ini salah dan aku harus menegurnya!
"Taka, kau tahu? hal ini tidak baik!" aku masih canggung terhadapnya, masih menerka-nerka seberapa besar kesabaran yang dimiliki oleh orang gila ini.
"Aku tahu!" semua makanan dan minuman sudah ludes, hanya menyisakan piring dan gelas kotor yang sudah ia susun.
Aku bersiul, sedikit heran sebenarnya. Aku kira dia hanya orang gila bar bar yang sedikit lebih kuat dari lainnya. Tapi ternyata dia mengerti manner meja makan.
"Kau tahu tapi tetap melakukannya. Bukankah aku di hukum juga karena alasan ini?"
"Kau menyadari kesalahanmu? akhirnya kau mengakuinya. Aku penasaran.. sebenarnya saat kau melakukan beberapa pelanggaran ini, apakah kau mengetahuinya? apakah kau sadar tentang hal-hal yang kau lakukan?"
"Yah.." aku mulai merasa jengkel.
"Lalu kenapa kau tetap melakukannya?"
"Entahlah!"
"Jika saja kau tidak meracau, aku tidak akan menjadi pengawasmu."
Tunggu dulu! dia melakukan ini semata-mata hanya ingin menegurku?! aku rasa tidak! aku yakin dia juga adalah orang yang lebih mementingkan rasa penasarannya ketimbang sebuah peraturan tidak tertulis, yang bahkan tidak ia ketahui siapa pembuatnya.
Lalu, oh Tuhan! aku tebak dia membaca pikiranku yang terus mengeluh karena berurusan dengannya.
"Jadi kau tersinggung?" tanyaku dengan hati-hati. Takut-takut kalau nanti dia mengamuk dan mengeluarkan kemampuan anehnya, melemparku jauh-jauh dan menghancurkan cafe ini.
"Tentu saja. Tapi tenang saja, aku tidak akan marah padamu karena kau begitu manis. Aku hanya sedang menunggu pertarunganmu dengan Owl selanjutnya. Aku tidak sabar ketika berpikir akan sebabakbelur apa dirimu. Ataukah akan ada lagi bagian tubuhmu yang terpotong? aku akan memungutnya dan mengoleksinya."
"Dasar sinting!" aku beranjak bangun dan pergi secepat mungkin, merasa muak dengan tawanya yang kalau dipikir-pikir cukup menakutkan untukku.
"Mau kemana?"
"Apakah aku harus mengatakan padamu kemana aku akan pergi, wahai Taka-Sama?"
"Akh! aku suka saat kau memanggilku begitu. lakukan lagi! Ayo lagi!"
"Tidak akan!!"
"Oh ayolah! aku harus tau kemana kau pergi. aku harus selalu ada disisimu. Karena aku pengawasmu, ingat?"
Sial!
"Sial memang. mau bagaimana lagi kan?" Taka tersenyum penuh kemenangan.
Aku pergi tanpa memperdulikan panggilan darinya. Terus menjauh tanpa tujuan yang pasti. Dan aku yakinkan dia sudah tak ada di belakangku. Tiba-tiba teringat dengan Naoki, apa yang sedang ia lakukan ya? jika benar apa yang dikatakan Taka, bahwa keadaan Naoki akan membaik jika aku menjalani hukuman ini. Seharusnya ia sudah bisa bermain-main seperti remaja seusianya.
Aku memejamkan mata, menajamkan radarku. Mencari keberadaan Naoki sekarang. di dalam penglihatanku, Naoki sedang duduk, membaca dengan tekun sebuah novel di atas ranjangnya. Sebuah ruangan salah satu rumah sakit di daerah Mita.
Aku tidak perlu merasa khawatir dengan keadaannya, tapi yang tak bisa aku tahan adalah rasa ingin bertemu dengannya. meski hanya menyapa sebentar lalu pergi lagi. atau bahkan walau hanya melihatnya dari jarak 3 meter, melihatnya tersenyum padaku lalu melambai.
Ah! Aku akan pergi kesana!
Sedetik sebelum aku akan meninggalkan tempatku saat ini, sebuah tangan meraih tangan kananku. Sontak aku menoleh dan mendapati Taka menatapku dengan tajam.
"Kau ingin pergi kemana?"
"Tidak kemana-mana,"
"Kau lupa atau memang bodoh? aku ini bisa membaca pikiranmu." Dia melepaskan tanganku dan mendesah pelan, "jika Kelinci pirang itu yang akan kau temui maka aku tidak mengijinkannya!"
"Kenapa?!"
"Seharusnya kau mengerti. Dia adalah salah satu alasanmu di hukum, lagi pula tolong fokuslah menghabisi para Owl. yang pertama tadi akulah yang memusnahkannya."
Aku tidak bisa menjawab pernyataannya. Itu semua benar.
"Ayo, kembali berburu!" Taka menarik tanganku tanpa sedikitpun mengendorkannya. Dan aku sangat amat pasrah mengikutinya.
***
Sudah ratusan lembar halaman yang Naoki baca, tapi kantuk tak juga datang menyapa. Ia lagi dan lagi melirik jam dinding hitam yang terpasang mantap di sisi kiri ruangan. Tatapannya beralih pada jendela yang terbuka, mengantarkan angin masuk dan memainkan kain korden yang tipis.
Tokyo tower terlihat begitu anggun dengan lampu-lampu merahnya yang berkedip konsisten. Naoki mengingat samar-samar kalimat yang Makoto ucapkan tentang rekaman CCTV atau semacamnya. Nalarnya meraba, rekaman itu pasti berhubungan dengan kematian ibunya. Dan Makoto-sensei mengetahuinya.
Naoki ingin tahu faktanya, tapi kalaupun bertanya Makoto-sensei pasti tidak akan memberitahukannya.
Ia harus menahan diri.
Naoki menutup buku novelnya dengan pelan. Tatapan matanya kosong kearah jendela. Ia mendesah .. Jika nanti fakta itu ia ketahui, akankah ia bisa menerimanya? akankah ia sanggup menerimanya?
Awalnya ia berpikir, ibunya memilih mengakhiri hidup semua karena dia. Tak ada hidup yang menyedihkan dari melihat anak semata wayangnya menderita sakit, lalu meninggal terlebih dahulu daripada dirinya.
Tangan Naoki meraba dadanya, rasa sakit kembali terasa. hanya dengan mengingat nama ibunya, luka yang sudah sedikit demi sedikit kering itu seakan kembali terkoyak.
"Kenapa mama bodoh sekali!"
Air matanya yang hangat mengalir deras di pipi. Untuk saat ini.. Naoki, butuh seseorang. seorang saja untuk menepuk pundaknya, menyadarkannya bahwa ia diharapkan.
Suara pintu yang terbuka mengaggetkannya, Naoki berbaring cepat dan berpura-pura tidur. Ia tahu pasti bahwa yang datang tadi adalah Makoto-sensei.
"Sudah tidur?" Makoto meletakkan tas dan beberapa map berisi kertas ujian diatas meja. Langkahnya kian mendekat pada Naoki. Tangan dingin Makoto menyentuh dahi Naoki, menerka suhu tubuhnya. Lalu menarik selimut yang terbuka agar menutup tubuh Naoki.
"Setidaknya aku harap kau punya mimpi yang indah." Makoto berbisik.
***