webnovel

CRYING

Sudah seminggu Makoto tidur di Rumah sakit. Menjaga dan merawat Naoki, sebagian pekerjaannya ia bawa dan ia kerjakan seadanya di ruang inap Naoki. 2 hari sekali sang nenek datang menjenguk. Menanti sang cucu terbangun dan akan langsung memboyongnya ke Kumamoto.

Lalu hari itu tiba, hari yang dinanti dan ditakutkan Makoto. Naoki terbangun.

***

Pukul 17.15 sore

Makoto sibuk menyiapkan air dan kain basah untuk menyeka badan Naoki, seperti biasanya. Sudah rutinitasnya, setiap pukul 6 pagi sebelum berangkat dan jam 5 sore saat pulang kerja. saat ini merawat Naoki sudah jadi prioritasnya. Ia bahkan tak terlalu sering datang mengunjungi kamar inap adiknya.

Makoto keluar dari toilet dengan wadah air di tangan kanannya dan kain bersih di tangan kirinya, matanya membulat saat ruang pandangannya menangkap sosok Naoki. Tangannya diam terpaku. Naoki sudah terduduk diatas ranjangnya, wajahnya menghadap jendela, membelakangi Makoto. Sosoknya saat itu seperti langit kosong.. tenang, sebelum badai besar datang.

Naoki menoleh kearah Makoto, wajahnya pucat tanpa ekspresi. Ya Tuhan.

Makoto mendekat dan mendekapnya, Naoki terdiam sesaat. Lalu bahunya berguncang, tangisnya pecah. Miyuki-san sudah di kremasi sejak seminggu yang lalu, hasil visum tim forensik menyatakan bahwa penyebab kematian Miyuki-san adalah kehabisan darah, pisau itu dangkal dan tak melukai organ vitalnya. Dokter itu menjelaskannya dengan rinci, dengan lantang dikamar ini, di dekat Naoki terbaring. Sial!

Suara tangis Naoki terdengar menyayat hati Makoto. "Dengar Naoki, kau harus tegarkan hatimu!" jeritan itu masih belum berhenti, terus menggaung. Lalu kalimat itu terucap begitu saja "Tidak ada duka yang abadi NAOKI!" Naoki terdiam. Makoto melepaskan pelukannya.

"Sensei tahu. Semua ini terjadi karena aku", kepala Naoki tertunduk dalam, rambutnya yang mulai panjang menutupi wajahnya. Yang pasti airmata itu masih terus terjun dari sana, mata indahnya yang kini kosong tanpa cahaya.

"Apa maksudmu?"

"Jika saja, aku berlari saat pulang pada hari itu. Mama masih akan tertolong. Jika saja, aku tidak pergi ke sekolah saat ujian dan mengerjakannya dirumah seperti yang Makoto katakan, mama tidak akan melakukan hal itu. Jika saja aku menurut untuk tinggal dirumah nenek mama takkan datang kerumah, jika saja aku ... tidak ada..."

"Ap-"

"Jika saja aku tidak egois, JIKA SAJA AKU TIDAK ADA, SEMUA AKAN BAIK-BAIK SAJA!! JIKA SAJA AKU TIDAK MEMILIH AKU TIDAK AKAN KEHILANGAN MAMA!! JIKA SAJA AKU.. jika saja aku..." Naoki menggertakkan giginya dan mencabut selang infus dari lengannya. Dan beranjak dari ranjangnya.

"Apa yang kau lakukan Naoki?"

"Pergilah!"

"Naoki-"

"Aku bilang pergi!!!" tangannya mencengkram selimut dan melemparnya pada Makoto "PERGILAH!!" ia melempar baki berisi jarum suntik dan beberapa botol serum obat ke arah Makoto. Makoto hanya bisa melindungi kepalanya dengan lengan kanannya, semuanya kini berhamburan di lantai

"Kenapa harus aku sensei?! Kenapa harus aku yang merasakan semua ini?!" entah tenaga dari mana ia membalikan lemari kabinet yang ada disisi ranjang, membuat isinya berserakan kemana-mana. Kini tumpukan kertas tugas Makoto yang teronggok di meja menjadi sasaran. Seisi kamar berantakan persis seperti hati Naoki saat ini. Ruangan ini bisa dibereskan kembali, tapi hati Naoki?

"Aku ingin lenyap saja.." suara Naoki parau, kehabisan tenaga.

"Naoki tenangkan dirimu" Makoto mendekat dan mencoba lebih dekat lagi.

"Pergilah!" Naoki meringkuk di lantai. Hanya bahunya yang bergetar, suara teriakan sudah tak ada lagi.

Makoto terduduk didepan Naoki yang masih menangis. "Kalau aku pergi, apa kau akan baik-baik saja?" suara Makoto begitu lirih bagai angin. Naoki masih meringkuk, lalu perlahan menggeleng. Makoto memeluknya.

'Tubuh ini kecil, bahu ini rapuh .. sifat kekanakannya, tawanya, impiannya mudah sekali hancur. Kenapa beban bisa seberat ini untuknya?

Kenapa waktu sekejam ini padanya?'

***

Pintu ruangan Naoki terbuka, sang nenek datang dengan wajah bingung. Kamar begitu berantakan, banyak kertas berserakan dan beberapa pecahan botol yang masih belum dipunguti Makoto. Makoto sendiri sedang berjongkok membersihkan hal itu dibantu 2 perawat. Naoki .. hanya terduduk diatas ranjangnya, matanya hanya mengawasi awan-awan merah yang bergerak di langit sore dari balik jendela kamar. Selang infus sudah terpasang lagi di tempat yang berbeda, telapak tangan dan kakinya sudah diperban akibat beberapa luka pecahan botol serum tadi.

"Ano.. suster biar aku teruskan sendiri saja, silahkan kembali ketempat anda. Terimakasih banyak atas bantuannya" Makoto membungkuk. 2 perawat beberapa kali menolak dan ingin membantu, tapi Makoto sangat memaksa. Merekapun pergi dan membungkuk samar pada sang nenek lalu menutup pintu kamar.

"Naoki, syukurlah kau sudah sadar!" Naoki masih tidak bergeming. dia seperti tenggelam dalam dunianya sendiri, lalu yamada-san mendekat ke arah Makoto dan berjongkok dihadapannya. "Apa yang terjadi Futaba-sensei!?" sang nenek mencoba menbantu Makoto memunguti lembar demi lembar kertas.

"Ah! Yamada-san, anda datang lebih cepat hari ini" Makoto berbasa-basi, tersenyum sewajarnya.

"Futaba-sensei. Ada apa?" wajahnya mulai panik, tangganya mencengkram lengan baju Makoto.

Makoto menghela nafas panjang, dan dengan pelan melepaskan cengkraman tangan Yamada-san. "Naoki, mendengar semuanya" Makoto terus memunguti tanpa melihat air wajah sang nenek "Dia sangat kecewa.."

Yamada-san terdiam, matanya berkaca-kaca. ia menahan tangisnya sebisa mungkin. Kesedihan tiba-tiba meruntuhkannya, wanita yang sejak dulu tegas dan kokoh bagai dinding besi. Semburat wajah tuanya yang penuh duka terlukis kembali.

Dalam batinnya, ia menyalahkan nasib. Menyalahkan Tuhan. Tak cukupkah anaknya, hingga kini cucunya yang terus terkungkung duka dan nasib buruk? "Dia sudah sadar sekarang, besok aku akan bertanya pada Dokter tentang kepulanganya." Sang nenek tersadar lalu kembali membantu Makoto "Aku akan mempersiapkan kepulangan kami ke Kumamoto"

Makoto hanya diam, tidak ingin menyetujui keputusan itu. Tapi, ia juga tak bisa membantah hal itu, siapalah Makoto ini? bagi mereka ia hanya orang asing. Hanya guru wali murid Naoki.

"Terimakasih atas segalanya Futaba-sensei, aku tidak tahu harus membalas dengan apa", beberapa menit mereka terdiam, hanya suara kertas dan kehampaan..

"Anda ingin membalas kebaikan saya?" Suara Makoto tiba-tiba, memecah keheningan, "kalau begitu biarkan saya yang menjaga Naoki"

"Kenapa anda harus merasa bertanggung jawab begitu besar terhadap Naoki? Dia adalah cucuku sensei. Dan hanya siswa bimbingan bagimu."

Ya, seharusnya memang hanya itu. Entah sejak kapan Naoki menjadi prioritas utama bagi Makoto. Bahkan melebihi Sagiri sang adik. Entah bagaimana ia menjelaskan bahwa semua itu hanya demi egosentrinya saja. Sejak dulu. sejak kecil, saat ia menemukan sesuatu yang berharga untuknya. Makoto akan sangat menjaganya dan tak akan melepaskannya. Dia tak akan melepaskan Naoki, tidak juga dengan adiknya. Egosentrinya, tidak tertolong.

Makoto tidak menjawab pertanyaan mutlak yamada-san, ia bahkan tidak sedikitpun memiliki jawabannya. "Biarkan Naoki yang memilihnya, sebelum itu berikan waktu untuknya. Karena saat ini Naoki sedang menata hatinya"

Sang nenek tidak menjawab, ia masih dengan wajah keheranan yang luar biasa. Hanya Makoto seorang, yang mampu membuatnya tidak lagi menuntut sebuah jawaban dari pertanyaan yang ia ajukan.

Hanya Makoto. seorang guru wali murid.

***

Next chapter