webnovel

Tak bisa mengabaikan

"Maafkan aku..." lirih Revan.

Sepasang manik mereka saling bertemu dan beradu pandang. Revan yang memasang wajah datar, dan Davina yang memasang raut wajah memelas menahan tangis.

"Kenapa kau menangis? Kau membuatku merasa bersalah," Revan langsung merangkul tubuh Davina dengan erat.

Tangis Davina kembali pecah. Wanita itu pun ikut merangkul tubuh Revan dan mengeratkan pelukannya.

Suara isakan dari Davina terdengar tidak nyaman di telinga Revan. Bukankah Revan berniat untuk mengabaikan Davina agar ia tidak jatuh cinta pada wanita lugu dan polos itu? Kenapa sekarang dia sangat luluh dan tidak tega melihat Davina menangis? Ini sungguh aneh bagi Revan.

Davina melepaskan pelukan nya dari tubuh Revan dan mundur beberapa langkah menjauhi suaminya itu.

"Aku tau kau marah padaku," Isak Davina.

Revan mengerutkan keningnya heran. Pria itu tidak paham apa yang di maksud oleh Davina.

"Kemarin memang aku bertemu dengan Dilan, tapi... Aku tidak sengaja bertemu dengannya, bukan sengaja mengajak nya bertemu," sambung Davina.

"Aku tidak tau kalau kau bertemu dengan Dilan," sahut Revan dingin.

Davina mendongakkan kepalanya. "Benarkah? Lalu, kenapa kau dingin padaku?" tanya nya pada Revan.

Mendengar pernyataan dari Davina, Revan hanya memalingkan wajahnya karena tidak harus menjawab apa.

"Kau marah? Katakan saja apa salahku, jika memang aku bersalah padamu... Aku minta maaf," lirih Davina yang tidak mendapatkan respon dari Revan.

Revan menghela nafas panjang. "Apa kau tau kalau yang kau lakukan itu salah?" tanya nya kemudian.

Davina menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Bagaimana pun juga Davina tetap sadar bahwa salah jika ia menemui Dilan, walaupun secara tidak sengaja. Setidaknya Davina memang memiliki kewajiban untuk memberitahu Revan setelah ia bertemu dengan Dilan di swalayan kemarin.

"Apa dia masih mengganggu mu?" tanya Revan lagi memastikan.

Kali ini Davina menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku sudah memperingatkan di untuk tidak menganggu ku lagi. Bahkan aku melarangnya untuk menemui ku," jawabnya jujur.

"Apa kau masih mencintainya?"

Pertanyaan itu membuat Davina mendongakkan kepalanya menatap Revan dengan tatapan bingung. Pertanyaan yang benar-benar Davina hindari. Bagaimana Davina bisa menjawab pertanyaan seperti itu? Sudah tentu jawabannya bahwa sebenarnya Davina masih menyimpan perasaan pada Dilan.

Bukan tanpa sebab, namun hubungan yang terjalin selama 3 tahun itu bukanlah hubungan dengan waktu yang singkat. Terlebih itu adalah masa dimana Davina benar-benar penuh keterpurukan setelah meninggal nya ayah kandung nya.

Davina benar-benar tidak bisa menjawab pertanyaan Revan yang satu ini. Ia hanya bisa terdiam dan kembali menundukkan kepalanya tak sanggup menatap Revan. Ia yakin Revan sudah tau jawabannya.

Sementara Revan yang melihat ekspresi Davina juga sudah bisa mengetahui apa jawaban dari pertanyaan yang baru saja ia lontarkan pada istrinya itu.

Dengan kesal Revan langsung membuang muka enggan melihat Davina. Entah apa yang di rasakan oleh Revan, namun dalam hatinya kecil nya ada sesuatu yang benar-benar menyesakkan dada.

"Lupakan saja. Aku harus segera berangkat ke kantor," sahut Revan yang tetap enggan menatap Davina.

Pria tampan itu pun langsung berjalan cepat keluar rumah menuju garasi mobil untuk berangkat ke kantor. Sementara Davina masih terdiam memandangi punggung suaminya yang sudah menghilang dari balik pintu.

"Maafkan aku. Aku benar-benar belum bisa melupakan Dilan sepenuhnya. Meski bibirku mengatakan bahwa aku sudah tidak memiliki perasaan padanya, namun hatiku berkata lain. Aku masih mencintainya, tapi aku benar-benar sedang berusaha untuk melupakannya dan berusaha menerimamu. Tolong, jangan buat aku merasa ragu untuk menaruh hati padamu... Revan." gumam Davina.

Wanita cantik itu menghapus jejak air matanya dengan kasar. Ia pun segera melangkahkan kakinya untuk kembali masuk ke dalam kamarnya, dan kemudian kembali menangis karena mengahadapi kebimbangan yang sedang melanda hatinya.

***

Sementara itu, di kediaman keluarga Arsenio sedang melakukan kegiatan sarapan bersama seperti biasanya. Terlihat Dilan tidak nafsu dengan hidangan yang ada di hadapannya dan hanya mengaduk-aduk lauk yang ada di piringnya.

Melihat putra nya yang hanya melamun dan tidak mau memakan sarapannya, Kinan menghela nafas berat dan menggelengkan kepalanya pasrah.

"Ada apa dengan mu? Kenapa kau tidak makan? Apa hidangannya tidak sesuai dengan selera mu?" Kinan meletakkan sendok dan garpu yang ada di genggaman kedua tangannya.

Kini sepasang manik Kinan terfokus pada Dilan yang masih memasang wajah datar tanpa ekspresi.

"Aku lelah," jawab Dilan pasrah.

"Istirahat," sahut Kinan singkat.

"Bukan fisikku yang lelah, tapi batinku!" ketus Dilan sedikit kasar.

Kinan langsung membelalakkan mata nya sempurna. "Apa katamu?" bentaknya.

"Tidakkah Mama memikirkan perasaan ku sekali saja? Aku ragu jika Mama benar-benar ibu kandung ku," sinis Dilan sambil ber-sendekap santai dan membuang muka.

Mendengar pertengkaran antara Dilan dan Kinan, Bian sontak menggebrak meja makan dengan keras.

Brakk!!!

"Kenapa kalian tidak bisa tenang satu hari saja? Kenapa selalu bertengkar, bertengkar dan bertengkar? Apa hanya ini yang bisa kalian lakukan di rumahku?" cecar Bian bertubi-tubi.

Dilan berdiri dari duduknya dan mengambil tas kerja yang ada di samping tempat duduk nya.

"Aku berangkat," pamit Dilan tanpa memperdulikan amarah dari sang Papa.

"Duduk. Papa tidak mengizinkan mu pergi begitu saja!" ucap Bian dengan tegas.

Mendengar hal itu, Dilan hanya bisa pasrah dan kembali duduk dengan malas. Mau tidak mau kali ini ia harus mendengarkan ocehan dari Papa nya lagi. Dilan sebenarnya sudah muak dengan sikap kedua orangtuanya yang selalu bertindak sesuka hati mereka tanpa memikirkan bagaimana perasaan Dilan.

Namun, Dilan masih mencoba untuk menerima segalanya mengingat Bian dan Kinan adalah orangtua kandung nya. Jika bukan karena kasih sayang orangtua Dilan yang selama ini Dilan rasakan, mungkin Dilan benar-benar sudah berontak dan tidak mau mengikuti apa yang di inginkan oleh kedua orangtuanya itu.

"Apa kau masih ragu untuk menikah dengan Adelia? Apa kau masih marah dengan perjodohan ini?" tanya Bian pada putra nya itu.

Dilan memutar kedua bola matanya malas. "Seharusnya papa yang lebih tau tentang hal ini," sahutnya.

"Lalu, kenapa kau menyetujui nya jika kau sendiri sebenarnya tidak berniat untuk menikah dengan Adelia?" geram Bian yang sudah tidak sanggup menahan amarahnya lagi.

Kinan yang duduk di sampingnya itu mulai mengelus lembut punggung suaminya untuk memberikan sedikit ketenangan.

Sementara Dilan tersenyum miring dan menaikkan sebelah alisnya. "Bukankah menyenangkan jika menyiksa seseorang yang tidak bersalah?" Ucapnya dengan santai.

"DILAN!!!" bentak Kinan lantang.

"Kenapa? Apa Mama tidak terima dengan apa yang ingin ku lakukan? Maka... Coba batalkan rencana pernikahan ini, atau... Kalian lihat saja permainan apa yang bisa aku lakukan!" sahut Dilan dengan tegas.

Pemuda itu langsung beranjak dari duduknya dan segera pergi meninggalkan ruang makan untuk berangkat ke kantor. Sementara Bian dan Kinan hanya bisa diam mematung mendengar ancaman dari putra kesayangan mereka itu.

Kinan melihat Bian yang terlihat sangat kacau. "Apa yang harus kita lakukan? Bagaimana jika Dilan berbuat macam-macam pada Adelia?" tanya nya kemudian.

"Memangnya aku bisa apa? Membatalkan pernikahan ini, lalu semua investasi dari perusahaan Leo akan di tarik dan menjadi bangkrut? Iya?" sahut Bian yang sudah sangat frustasi.

"Anak itu benar-benar menyusahkan!" geram Kinan kesal.

***

Next chapter