webnovel

16. Sidang Yang Berbahagia

Mereka bertiga berisik sekali menjelaskan tentang permainan barunya. This is so amazing. Look at this Onty. Aku suka yang kulitnya hitam. Rambutnya lucu sekali. Bajunya bisa diganti-ganti. The doll and the dog is so cute. I love pink. We can play this all day long. Bla bla bla. Milly hanya bisa bilang : Ya ya ya. Oh waw. Oke. Dan ya lagi.

Jolly mengeluarkan salah satu boneka LOL dari rumahnya yang bertingkat dengan bagian depan yang terbuka, lalu menyerahkannya pada Milly. "Ini untuk Onty." Suara Jolly serak-serak basah.

"Thank you, Dear."

Kemudian Ririn mengajarkan sepupu-sepupunya untuk bermain rumah-rumahan dengan baik dan benar. Boneka yang ini harus disimpan di sini. Tasnya di situ. Anjing peliharaannya di sana. Ririn memang suka mengatur. Tapi kedua adik sepupunya menurut sekali.

Sejenak Milly jadi terlupakan. Jadi ia pergi menuju ke ruang keluarga dan menemukan kakak dan adiknya. Orang tuanya sedang pergi ke undangan tetangga.

Mereka senang sekali menyambut kedatangan Milly. Marshal memeluknya sekilas. Lalu Monty dan istrinya juga memeluknya. Melanie tidak, karena mereka bertemu hampir setiap hari. Suami Melanie, Armand, tidak ada karena sedang pergi menyervis mobilnya.

"Aku pikir kamu terlalu sibuk untuk datang ke sini," ujar Marshal.

"Maaf. Sebenarnya aku ingin sekali ke sini kemarin, tapi aku sibuk." Sibuk berkencan dengan Nick. Tidak benar-benar berkencan, toh ia juga bekerja. Tiba-tiba ia teringat untuk melihat ponselnya. Whatsapp-nya ke Nick masih juga ceklis satu. Baiklah. Mungkin Nick sedang berada di tempat yang kurang sinyal. Atau ponselnya kehabisan baterai.

"Ika bilang kamu sudah punya boyfriend," kata Melanie.

"Apa?" Tiba-tiba jantungnya berdebar kencang. Oh astaga. lni bukan acara kumpul keluarga, tapi acara interogasi keluarga.

"Iya. Kemarin ini aku bertemu dengan Ika di supermarket. Dia sedang bersama pacarnya. Siapa sih namanya? Wage?" Melanie menyebut nama Wage dengan ejaan Inggris. Bunyinya seperti : Weig.

"Wage. Waaa... Geee.. Itu nama orang Jawa. Jangan dirubah, Mel," ralat Milly. Monty tertawa.

"Ya ya. That is not the point. I don't really care. Wage atau Weig. Ika bilang kamu sedang dekat dengan seseorang. Who is he?" Melanie memelototinya seolah ia habis memecahkan piring dan memaksanya untuk mengaku.

"Aku..." Semua menunggunya. Milly tidak ingin menceritakannya dengan semua kakak dan adiknya. "Kalau memang sudah pasti, aku akan memberitahu kalian."

"Kemarin kalian berkencan ya!" tuduh Monty. Sialan Ika! Ia akan mencekiknya bila mereka bertemu.

"Apa kalian saling bergandengan tangan?" tanya Melanie.

"Apa cowok itu sudah menciummu?" tanya Monty.

Ugh! Pertanyaan macam apa itu? Rasanya ia tidak pernah menanyakan hal seperti itu pada Melanie atau Monty saat mereka sedang berpacaran. Sebenarnya ia tidak terlalu peduli dengan urusan semacam itu. Selama ini ia menghabiskan masa ABG-nya hingga kini, sebagai seorang jomlo legend.

"Ngomong-ngomong sejak kapan kalian jadi begitu peduli dengan urusan pribadiku?"

Monty mendesah. "Begini, Sis. Selama ini kami pikir kamu..."

"Jangan, Sayang," sergah Cen Fey, istri Monty, sambil menggelengkan kepalanya.

"Kenapa? Apa yang kalian sembunyikan dariku?" Milly mengerutkan dahinya, memandang tajam adiknya.

"Nothing." Melanie berpura-pura bersikap alim.

"We think that you're a lesbian," ujar Monty.

"Whaaaattt??" seru Milly. Suaranya seperti nenek-nenek yang mengamuk karena gigi palsunya dicuri.

Dasar kejam!! Sejak kapan ia punya adik sekejam itu? Milly merasa sakit hati. Selama ini ia selalu bersikap baik dan sopan kepada semua orang. Bagaimana bisa mereka berpikir bahwa ia lesbian? Sungguh keterlaluan.

Melanie menyeringai. Marshal menutup wajahnya dengan sebelah tangan. Cen Fey menggeplak bahu Monty cukup keras sambil melotot sebesar yang bisa ia lakukan dengan matanya yang sipit. "Montgomery!"

"Maaf, Sis," kata Melanie. "Selama ini kami khawatir padamu. Habis selama ini kamu tidak pernah terlihat bersama dengan seorang pria. Kamu selalu menghabiskan malam minggu dengan Ika atau Helen. Helen sudah punya pacar. Ika... dia... Yah aku kan baru tahu kalau dia ternyata sudah mau bertunangan dengan Wage."

"Lalu kenapa kalian tidak pernah menuduh Marshal gay?" tuntut Milly sambil menunjuk kakak pertamanya.

"Hei! Why me?" Marshal terperangah.

"Marshal sudah pernah berpacaran dengan banyak wanita," kata Monty. Adiknya benar (hanya dalam satu hal itu saja). Marshal sering bergonta-ganti pasangan. Dan mungkin tidur dengan beberapa di antaranya.

"Kalian keterlaluan!" Milly menggelengkan kepalanya, kecewa. "Aku tidak seburuk itu..."

"Maafkan kami, Milly." Melanie merangkulnya.

"Don't touch me!" Milly melepaskan tangan Melanie dengan kesal.

"Kami benar-benar senang sekali mendengar kalau ternyata kamu tidak seperti yang kami pikirkan. Sekarang ceritakan, siapa pria beruntung itu?"

Terdengar bunyi ting dari dapur. Aroma lezat memenuhi ruangan.

"Oh oh!" Cen Fey berlari menuju dapur. "Ayamnya sudah matang! Ayo kita makan siang!" Kemudian Cen Fey memanggil anak-anak. Ririn yang terlebih dahulu duduk di meja makan.

Melanie menyeringai, menatap Milly penuh penyesalan. Mulutnya berbisik membentuk kata : Sorry. Sementara Monty cuek-cuek saja.

Rombongan para jaksa penuntut alias penuduh, membubarkan diri dan mematuhi panggilan sang koki.

"Hei!" Marshal menepuk bahu Milly. "Jadi Ika sudah punya pacar?"

"Ya. Memangnya kenapa?"

"Ah, andai saja Ika mau denganku. Ika adalah gadis yang sangat cantik dan seksi."

"Lupakan saja, Bro. Ika dan Wage adalah pasangan yang sangat cocok."

"Memangnya aku dengan Ika tidak cocok?" Marshal menunjuk dirinya. Milly memutar bola matanya. "Selama janur kuning belum melambai, tidak ada salahnya untuk berharap."

Untung saja bukan bendera kuning yang melambai. Milly tidak dapat membayangkan jika Wage sampai meninggal.

Cen Fey telah memasak ayam panggang banyak sekali. Marshal dan Monty memang rakus. Belum lagi Ririn yang sedang dalam masa pertumbuhan.

Marshal mengajaknya untuk makan di teras belakang.

"Bagaimana liburanmu ke Semarang?" tanya Milly.

"Semarang, Jogja, Malang, Surabaya, Solo, Madura, dan Bali," ucap Marshal bangga.

"Ya terserah."

"Itu bukan sekedar liburan, tapi salah satu bentuk meditasi." Cara bicara Marshal sering kali memang penuh dramatisasi.

"Oh ya?" Milly mengangkat alisnya sebelah.

"Semua orang butuh waktu untuk menyegarkan otaknya sejenak dari kesibukan."

"Itu bukan sejenak! Tapi lama sekali!" Marshal berlibur keliling pulau Jawa selama hampir sebulan.

Milly mencabut paksa tulang paha bawah ayam dari paha atasnya. Kemudian mencolek sambal dengan menggunakan daging ayamnya.

"Kamu baik-baik saja, Mil?" tanya Marshal sambil meliriknya hati-hati.

"Baik!" jawab Milly, terlalu ketus. Padahal ia tidak bermaksud membentak kakaknya.

"Kamu pasti sangat merindukanku, ya kan?"

"Tidak!"

Marshal mendesah, seolah ia mengerti dan menemukan titik permasalahan dari sikap Milly yang berubah kasar. "Aku harap kamu tidak tersinggung. Mereka hanya khawatir padamu."

"Berlebihan."

"Memang." Marshal mengangguk perlahan. "Tapi sejujurnya aku tidak pernah menganggapmu lesbi." Dan sekarang Marshal membahas lagi tentang lesbi lesbi. Milly mengutuk Monty dalam hati.

"Kamu pernah menceritakan tentang cinta pertamamu padaku waktu SMP. Namanya... Um... Nicky? Nicko?"

"Nicholas," ralat Milly.

"Yeah."

Milly senang karena abangnya tidak ikut-ikutan menyerangnya tadi dan setidaknya menganggapnya bukan lesbi. Ugh! Menjijikan!

"Apa kamu akan menceritakan tentang pria yang sedang berkencan denganmu?"

"It's Nicholas."

"Ya, aku sudah mendengarnya. Cinta pertamamu kan. Maksudku, pria yang sedang berkencan denganmu sekarang."

"Yeah. It's Nicholas!" ulang Milly lebih jelas.

Marshal mengangkat alisnya sebelah. "How could it be?"

" I don't know. Well, minggu kemarin Nick menabrak mobilku."

"Oh jadi dia pelakunya? Mom meneleponku saat aku sedang berjalan-jalan di Desa Toyapakeh. Katanya kamu dan Ririn mengalami kecelakaan. Apa kamu baik-baik saja?"

"Menurutmu?" Milly sungguh dalam keadaan yang sangat sehat secara jasmani, tapi tidak secara kejiwaan.

"Aku sempat lihat foto mobilmu dari ponsel Melanie. Sepertinya Nick menabrakmu kencang sekali." Milly mengangguk.

Ya, sangat kencang bahkan sampai menembus jantungnya dan berhasil membebaskan sang naga yang haus dan lapar akan kasih sayang. Sesuatu bergelenyar di bawah perutnya, bukti keberadaan sang naga.

"Jadi sekarang kamu pakai mobil Dad?"

"Ya. Yang CRZ."

"Mobilmu jadi dijual? Laku berapa?"

"Entahlah. Dad yang menjualnya. Harganya sepertinya lumayan. Setelah mobil itu diperbaiki jadi tampak seperti baru lagi."

Piring Milly sudah kosong. Ia berjalan menuju dapur dan menambah lagi ayam dan kentang tumbuknya. Marshal mengikutinya, hanya saja kakaknya lebih suka makan nasi daripada kentang.

"Lalu apa yang terjadi setelah kecelakaan itu? Apa dia baik-baik saja?"

"Dia baik-baik saja," jawab Milly. Mulutnya penuh dengan kentang. "Aku bersama dengannya kemarin."

"Nah." Sebutir nasi melesat dari mulut Marshal.

"Dia menawarkan diri untuk mengantarku bekerja. Aku pikir tidak ada salahnya jika dia ikut." Milly mengedikkan bahunya.

"Kenapa kamu tidak cerita kalau kamu bersamanya kemarin?" Marshal meletakkan piringnya, lalu memandang Milly serius.

"Aku sedang bercerita."

"Ya ya," kata Marshal tidak sabar. "Maksudku kalau aku tahu lebih awal, mungkin aku akan menemanimu."

"What?" Ugh! Sikap Marshal khas para abang yang super protektif. Menyebalkan sekali. "Please, don't start."

"Aku pikir seharusnya kamu mendapatkan perlindungan."

"Dari apa? Ayolah Marshal, usiaku sudah lebih dari tiga puluh tahun."

"Ya tiga puluh lima tahun dan masih gadis." Marshal mengambil kembali piringnya lalu menyendok nasi.

"Tiga puluh dua!" bentak Milly.

Marshal memutar bola matanya, mengabaikan geraman Milly.

"Apa menurutmu dia bisa dipercaya?"

"Mungkin. Memangnya kenapa?" Milly melirik ponselnya untuk mengecek Whatsapp. Masih ceklis satu.

"Aku pikir, dulu dia lebih memilih temanmu daripada kamu."

"Itu kan dulu." Suara Milly tidak terdengar meyakinkan.

"Aku harap kamu tidak salah memilih." Marshal mengatakannya dengan sungguh-sungguh.

Lalu terdengar kehebohan di ruang makan. Suara Chloe yang cempreng terdengar paling keras. "Grandma! Grandpa!" Orang tuanya sudah pulang.

Next chapter