webnovel

9. Veronica Florist

Milly adalah wanita pertama yang Nick bonceng di motor sport barunya. Bahkan ibunya saja belum pernah menyentuh motornya. Milly benar-benar wanita yang sangat menarik. Di balik perkataannya yang kadang-kadang tajam, seolah tersimpan sesuatu yang sangat misterius. Hal itu membuat Nick semakin penasaran pada Milly.

Veronica Florist masih tutup. Mereka datang setengah jam lebih awal. Jadi Nick mengajak Milly untuk duduk di kursi taman depan toko. Milly mengeluarkan ponselnya, menggeser-geser layarnya dengan jarinya yang panjang dan putih.

"Apa kepalamu pusing?" tanya Nick. Milly menoleh.

"Hah? Em... sedikit." Milly memasukkan ponselnya ke dalam tas.

"Apa aku perlu membelikanmu obat?"

"Apa? Tidak usah. Aku baik-baik saja." Pipi Milly merona.

Lalu mereka berdua terdiam beberapa saat. Nick terus saja memperhatikan wajah Milly. Hidungnya yang mancung begitu menggoda untuk disentuh. Matanya sungguh sangat hijau, apalagi saat terkena sinar matahari, tampak seperti batu zambrud yang berkilauan.

"Apa benar kamu tidak tidur semalaman? Kamu terlalu tegang untuk bertemu denganku ya?" goda Nick. Reaksi Milly agak berlebihan. Wanita itu terkejut bukan main. Alisnya mengerut dan mulutnya menganga sedikit seolah tersinggung dengan perkataan Nick.

"Tidak! Kenapa aku harus tegang?" Milly menyadari bahwa suaranya terlalu tinggi. Ia menggigit bibirnya tampak menyesal. "Aku... Em... Semalam Ika ke rumah. Kami mengobrol sampai pagi."

"Ika? Kartika Wicaksono?"

"Ya benar. Bagaimana kamu tahu nama panjangnya?"

"Nama Kartika sama seperti nama ibuku. Jadi untuk teman yang bernama Kartika aku pasti tidak akan pernah lupa."

"Oh."

"Bagaimana kabar Kartika sekarang? Apa dia sudah menikah?"

"Belum. Tapi sebentar lagi dia akan bertunangan dengan Wage. Mereka dijodohkan."

Nick mengangkat alisnya. "Dijodohkan? Memang masih jaman ya?"

"Ya mungkin. Keluarganya di Semarang terus menerus mempertanyakan tentang kapan dia akan menikah. Jadi untuk mempermudah Ika, orang tuanya saja yang mencarikan jodoh. Sepertinya mereka cocok. Wage orang yang sangat baik."

Mempermudah Ika? Lucu sekali. Memangnya sesulit itu untuk mencari jodoh? Nicholas ingin sekali tertawa, tapi ia tidak ingin membuat Milly tersinggung. Dirinya juga sampai sekarang belum memiliki kekasih. Mungkin tidak ada salahnya jika orang tuanya menjodohkannya dengan seseorang.

Tapi sepertinya tidak perlu. Jodohnya sudah ada di depan mata. Ia hanya tinggal perlu melangkah sedikit lebih jauh lagi. Dan yes. Ia akan segera memiliki Milly sebagai calon istrinya.

"Kalau orang tua kamu, apa mereka suka menanyakan kapan kamu menikah?" tanya Nick.

"Tentu saja tidak. Di keluargaku tidak pernah ada pertanyaan seperti itu. Kakak pertamaku saja sampai sekarang tidak menikah. Orang tuaku tidak pernah protes. Bagi kami, pertanyaan seperti itu terlalu pribadi. Orang tuaku tidak banyak menyinggung tentang kehidupan pribadi masing-masing anaknya."

Nick menganggung. "Bagus kalau begitu. Kamu beruntung bisa memiliki orang tua yang sangat pengertian."

Memang pola pikir orang Indonesia dengan Inggris sangat berbeda. Orang tua di Indonesia mungkin lebih banyak mengatur tentang kehidupan cinta anak-anaknya. Bahkan terlalu banyak anak-anak muda yang masih belum cukup matang untuk dinikahkan.

Usianya yang sekarang menginjak tiga puluh dua tahun saja masih belum bisa dikategorikan mapan dan dewasa. Meskipun ia mandiri secara finansial, tapi ia juga masih belum berani untuk benar-benar lepas dari kedua orang tuanya. Tinggal di Malaysia hanyalah sekadar tugas pekerjaannya. Batam masih tetap menjadi rumah ternyamannya.

Tapi mungkin jika ia bisa mendapatkan hati Milly, mau tidak mau, ia harus siap untuk hidup mandiri seutuhnya.

Milly yang cantik, begitu mandiri dan sangat dewasa. Penampilannya begitu sederhana, tidak mencolok. Milly tidak menyadari betapa tubuhnya terlihat sangat langsing dan indah meskipun hanya berbalut kaus polos model v-neck berwarna kuning dan celana jeans panjang berwarna biru yang juga polos.

Ingin sekali Nick menarik lepas cardigan putih itu, agar ia bisa melihat bentuk tubuh Milly dengan lebih jelas. Tapi sudah pasti benda itu ada fungsinya. Sama seperti segala apa yang Milly miliki dan ia pakai, haruslah ada fungsinya.

Sungguh wanita yang sangat menarik. Mengapa ia baru menyadarinya sekarang?

Mereka dikejutkan oleh suara garasi toko yang baru ditarik ke atas. Akhirnya toko bunganya buka.

Milly mengajak Nick untuk masuk. Aroma bunga langsung menguar. Segar sekali.

"Hai Millicent! Apa kabar?"

"Hai Yani! Kabar baik."

Mereka berdua saling menempelkan pipi kiri kanan. Yani bertubuh pendek dan kecil, berbeda jauh dengan Milly yang tinggi bagai jerapah.

"Pagi sekali kamu sudah datang. Apa kamu mau mengecek pesanan Darius?"

"Ya betul. Maaf ya aku pagi-pagi ke sini. Nanti sebentar lagi aku ada lagi meeting dengan klien. Jadi supaya menghemat waktu, aku ke sini dulu nomor satu."

"Tidak apa-apa. Tidak perlu bilang maaf. Aku tahu kamu pasti sibuk sekali. Ngomong-ngomong kamu ke sini dengan siapa?" Yani menoleh ke arah Nick.

"Itu..."

"Kenalkan namaku Nicholas." Nick mengulurkan tangan untuk berjabat dengan Yani.

"Hai. Namaku Yani." Senyum mengembang di wajah Yani. "Mil, kenapa kamu tidak cerita kalau kamu sudah punya pacar?"

Mata Milly membelalak, ia menatap Yani tidak percaya, lalu ia menggelengkan kepalanya. "Nooo. Dia bukan pacarku." Milly melirik Nick sekilas. Wajah cantik itu kembali merona.

"Oh." Yani terkikik sambil menutup mulutnya. "Ya sudah. Tunggu sebentar ya."

Kemudian Yani masuk ke dalam dan kembali sambil membawa beberapa contoh desain rangkaian bunga. Mereka berdiskusi cukup lama tentang perubahan desain dan jenis bunga. Dan kemudian Milly bernegosiasi soal harga.

Yani kembali ke dalam untuk mengambil beberapa contoh bunga mawar segar. Milly memilih beberapa bunga, menelitinya, mencium aromanya, memastikan bahwa bunga yang dipegangnya benar-benar asli dan wangi.

Nick hanya bisa menunggu. Milly mungkin benar. Ia bisa jadi bosan menemani Milly bekerja seharian. Ini masih pagi. Perjalanan masih panjang.

Jadi untuk menyegarkan mata, ia melihat-lihat bunga dan kemudian memilih beberapa tangkai untuk dirangkai menjadi buket bunga. Ngomong-ngomong ia sudah lama tidak pernah ke makam ibunya. Semenjak tinggal di Malaysia, ia melewatkan setiap peringatan kematian ibunya, ulang tahun, dan hari ibu untuk nyekar.

Tidak ada salahnya jika ia mampir dulu sejenak hanya untuk menaruh karangan bunga di makam ibunya dan kemudian langsung pergi.

Tak lama kemudian urusan Milly dengan Yani telah selesai. Desain dan harga telah cocok. Nick menghampiri mereka. Milly menatap curiga pada bunga yang dipegang Nick.

Ia tersenyum pada Yani. "Aku mau membeli bunga ini. Tolong dibuat jadi rangkaian bunga ya."

"Boleh." Yani menerima bunga dari tangan Nick, lalu mengambil karet untuk mengikatnya. "Kamu pilih sendiri bunganya?"

"Ya. Apa ada yang salah?"

"Tidak. Perpaduan bunga mawar, anyelir, dan lili sangat indah. Apa kamu mau ditambah dengan daun dan baby breath?"

"Oh. Oke terserah. Atur saja. Aku yakin kamu tahu yang terbaik."

Yani terkekeh. "Baiklah." Ia menepuk bahu Milly sambil tersenyum genit. Nick berbalik untuk kembali melihat-lihat bunga.

Dari samping ia bisa merasakan Yani sedang berbisik sesuatu pada Milly. Entah apa yang sedang mereka bicarakan.

Next chapter