Seperti yang ibu Min bilang, tepat pukul delapan pagi dia sudah kembali. Bentor yang mengantarkannya hanya berhenti di depan gang, kemudian wanita paruh baya itu turun dan berjalan ke rumahnya. Sesampainya di depan rumah aku menyapanya,
"Dagangannya habis ya, Bu." Ucapku saat melihat dia hanya membawa tas kecil dan gulungan sak. Dia menyeka keringatnya sebentar dan tersenyum sumringah.
"Iya, Mbak. Alhamdulillah. Bapak gimana Mbak?"
"Istirahat di kamarnya Bu. Tadi aku juga sudah menyuapinya dengan bubur."
"Apa bapak Muntah?" ujarnya hati-hati. Agaknya dia enggak enak hati denganku.
"Enggak sama sekali, Bu. Justru habis makanannya." Tukasku. Memang, Pak Min sama sekali tidak memuntahkan makannya lagi. Meski, masih terbatuk-batuk. Kondisinya mulai membaik sekarang.
"Beneran Mbak? Ya ampun. Saya seneng sekali dengernya." Lalu wanita paruh baya itu beringsut ke dalam- ke dalam kamar. aku pun mengekorinya dari belakang.
"Pak, ibu pulang." Ujar Bu Min yang berhamburan di sisi Pak Min. Pak Min yang semula terpejam pun membuka mata dan menoleh. Seulas senyum terpampang disana.
"Ayang Beb, sudah pulang?" goda Pak Min. Aku menutup mulut menahan tawa. Ternyata, masih bisa beliau memanggil mesra istrinya, walaupun kondisinya sedang tidak baik.
Sejenak, Bu Min melirik ke arah mangkok bekas bubur yang habisa tidak tersisa. Rona wajahnya tampak bahagia sekali.
"Bapak Makannya habis?" Ucap Bu Min. Pak Min mengangguk semangat. Kebahagiaan yang sederhana dengan melihat perkembangan kesehatan dari orang tersayang, sekecil apapun itu.
"Iya sayang. Semua ini berkat anak kita." Pak Min menggerakan dagunya ke arahku yang berdiri di belakang Bu Min.
"Anak kita? Maksud bapak apa?"
"Iya, Bu. Mulai sekarang ibu manggil dia Nduk saja. karena dia sudah aku anggap sebagai anak sendiri. begitu sebaliknya. Bukan begitu Dina?"
Aku mengangguk sambil tersenyum. Bening mengumpul di sudut netra wanita paruh baya itu. dia yang semula duduk pun berdiri menghadapku. Tatapannya keibuan menusuk dalam kalbu.
"Nduk Dina."
"Iya Bu."
Langsung dia menubruk tubuhku. Memelukku dengan sangat erat. Rasa hangat ditubuhnya menjalar ditubuhku. Penuh kelembutan dan kasih sayang.
"Ibu, seneng banget Nduk. Beberapa tahun yang lalu anak kami meninggal. Kami merasa sangat kehilangan. Sekarang, kamu hadir, kami bisa merasakan kembali kehadiran seorang anak. Ya Tuhan, terimakasih, karena Engkau menghadirkan anak yang baik seperti Dina."
Petir seakan menyambar tepat di telingaku. Anak baik? Bukan ibu. Aku tidak sebaik yang ibu pikir. Aib yang menggunung yang sekarang masih tertutup, tinggal menunggu waktunya untuk terkuak. Lagi-lagi terlintas dibenakku wajah Anton. Pria licik yang kapan saja bisa menyalakan bom waktu, yang bisa meluluh lantakan hidupku.
Setelah cukup lama berpelukan, Bu Min merenggangkan pelukannya dan melepaskannya. Terlihat wajahnya yang kuyu oleh air mata pun tersenyum.
"Sudah Bu, jangan nangis." Segera aku mengambil tissue dari tas dan menyekanya.
"Terima kasih ya Mbak."
"Lha kok masih Mbak manggilnya." Celetuk Pak Min.
"Eh, maksud ibu. Terima Kasih Nduk."
"Ya sudah, kalau begitu Dina siap-siap mau berangkat kerja dulu ya Pak, Bu." Aku menyalami tangan Bu Min terlebih dahulu, lalu beralih ke Pak Min. Saat mencium tangannya, Pria Tua itu berbisik lirih, supaya tidak terdengar oleh Bu Min.
"Nduk, berjanjilah untuk menahan hasratmu." Mataku terbelalak. Namun, kemudian aku buru-buru pamit dari rumah itu dan pergi.
***
Perjalanan ke tempat Gym.
Setelah bersiap diri, aku pun bergegas meninggalkan rumahku. Aku tidak mau berlama-lama di sana. Bayang-bayang genderuwo itu selalu ada acapkali aku memasuki rumahku sendiri. walau sebenernya, hantu itu sudah dimusnahkan, tetap saja rasa parni itu masih ada.
Dengan kecepatan sedang, aku mengendarai mobilku sembari memikirkan apa yang dibisikan Pak Min. Benar Dugaanku, ternyata dia sudah tahu. Diam-diam menerawang segala aktifitasku. Aku jadi insecure.
Apa perlu aku mengakui semuanya di depan beliau? Mengakui semua dosa-dosa yang kuperbuat? Dengan begitu, bebanku akan berkurang. Tapi, aku malu. Mau ditaruh mana mukaku di hadapan orang yang sudah mengangkatku sebagai anak itu?
Terus masalahku dengan Anton. Apa Pak Min bisa membantu? Aku menggigit bibir gelisah. Hal yang membuatku malas untuk bekerja di tempat gym itu. Seharusnya, aku sudah seperti burung yang terbebas dari sangkar. Tapi justru, malah kembali terperangkap, bersama dua bajingan Anton dan Pak Sugeng.
Konsentrasiku buyar sampai tidak sadar menambah kecepatan mobil. Tiba-tiba, ada seseorang yang melintasi jalan. Seketika aku langsung mengerem mendadak. Kulihat lampu lalu lintas yang merah. Ternyata, aku tidak terlalu memperhatikan jalan, sehingga hampir menerobos lampu merah, dan yang lebih parah nyaris menabrak seseorang!
Pria itu tampak shocked. Sejenak dari kaca mobil, aku memandanginya. Tetapi dia tidak bisa melihatku dari luar. Alih-alih mengomel karena mau tertabrak, malah dia berlalu cepat di hadapanku.
"Ardi." Desisku. Tidak salah lagi dia adalah Ardi, atau Lazuardi. Ngapain dia disini? ingin rasanya aku mengejarnya tetapi suara klakson di belakang membahana. Meminta untuk melajukan kendaraan karena lampu sudah hijau. Aku melongok ke arah Ardi pergi. Sosok itu sudah menghilang.
***
Setibanya di tempat gym, aku memarkirkan mobilku. Di saat yang bersamaan, datanglah mobil milik Pras. Seperti biasa, dia yang membuka tempat gym itu. Saat keluar dari mobil, kami bersitatap. Dia tersenyum sembari menghampiriku.
"Mbak Dina, apa kabar?" ucapnya wajar. Seolah tidak terjadi apa-apa. Apa dia tidak tahu tentang kejadian Ibunya yang marah besar tempo hari dan mau memecatku?
"Baik." Sahutku singkat.
"Tapi wajah Mbak pucat?"
Aku tidak menjawab. Pura-pura sibuk memainkan ponsel. terdengar dia menghela nafas, lalu berjalan mendahuluiku dan membuka tempat gym.
Setelah tempat gym terbuka, aku bergegas masuk dan mempersiapkan semuanya. Mulai dari menyalakan lampu dan menyapu. Pras sedari tadi memandangiku, seakan ada sesuatu yang ingin dia bicarakan. Tetapi aku cuek saja.
"Mbak Dina, enggak apa-apa?" tanyanya memastikan. Aku yang sedang menyapu pun menoleh kearahnya dengan segaris senyum yang melengkung ke atas. Berusaha menyembunyikan kegundahan yang menggelora.
"Sedari tadi aku lihat mbak tidak seperti biasanya. Mbak selalu energik dan penuh semangat. Tapi kenapa sekarang loyo seperti ini." ujarnya penuh perhatian. Memang, Pria yang umurnya terpaut dua tahun dibawahku ini sangat berbeda sekali dengan kedua orang tuanya. Ibunya yang tegas cenderung temperamental sementara bapaknya yang genitnya melebihi buaya. Tapi bagaimana bisa anaknya bisa sangat lembut dan peka dengan perasaan orang? Aku curiga jangan-jangan Pras ini bukan keturunan Bu Wiwin dan Pak Sugeng.
"Atau jangan-jangan ini berhubungan dengan Mbak yang tidak masuk beberpa hari itu? Pasti Mami memarah-marahi Mbak iya 'kan?" selidiknya gusar. Agaknya dia lebih berpihak kepadaku daripada mamanya. Ya iyalah, mamanya kayak dajal gitu, enggak usah di belain juga.
"Iya, Mas. Tapi itu semua memang salahku kok." Sengaja aku menekan suaraku serendah mungkin. Yang justru membuat Pras begitu berapi-api.
"Ya tidak bisa gitu Mbak. Mami sudah semena-mena dengan Mbak. Mbak tenang saja, biar saya yang bicara dengan Mami." dia beringsut dari tempat gym. Tapi buru-buru aku mencegahnya.
"Mas, jangan. Aku tidak mau sampai Mas bertengkar dengan Bu Wiwin." Aku merangkul tangannya.
"Jangan halangi saya Mbak. Sekali-kali Mami harus diperingatkan. Cukup sering dia melakukan hal yang sama dengan pegawai lainnya." Dia melepas peganganku. Dengan langkah yang lebar, dia berjalan ke mobilnya.
Aku tersenyum miring. Actingku berhasil.