webnovel

Rencana Dua Buaya

"Jadi seperti itu Pak, Bu, Ceritanya." Pungkasku mengakhkiri cerita. Bu Min terlihat masih terbengong mendengar penuturanku. Sementara Pak Min tampak menghela nafas dalam. Gurat senja di wajahnya menandakan bahwa dia sudah kenyang dengan hal-hal yang diluar nalar manusia.

Hening. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. Terlihat Bu Min menguap beberapa kali. Sesekali terlihat kepalanya terkantuk menahan kantuk. aku menengok ke arah jam yang terpampang di ruang tamu. pukul satu pagi. Lantas, aku mempersilakan Bu Min untuk tidur di kamar tengah yang kosong.

"Bu Min, istirahat saja di kamar tengah. Mari saya antar." Tukasku. Dia mengangguk setuju karena rasa kantuk yang tidak tertahankan. Dia pun mengikutiku ke kamar tersebut. Tidak menunggu waktu lama, dia membaringkan diri dan tertidur dengan sangat lelap.

Kini hanya ada aku dan Pak Min di ruang tamu. dengan begini, aku bebas berbicara kepada Pak Min, karena sejujurnya aku merasa kurang nyaman jika bercerita di depan Bu Min, yang masih awam dengan hal mistis.

"Pak, bisa tolong bantu saya?"

"Bantu apa Mbak?"

"Bapak bisa melihat keberadaan ibu saya? Apakah benar mimpi saya tentang ibu itu benar Pak?"

Pak Min tidak segera menjawab. Malah dia duduk bersila di atas sofa sembari memejamkan mata. Tampak tenang. Deru nafas yang teratur. Aku tidak tahu persis apa yang dia lakukan. aku hanya bisa menunggu, berharap-harap cemas.

Huekkk!!!

Darah mendadak muncrat dari mulutnya. Aku yang panik langsung menghampiri pria tua itu.

"Pak Min kenapa?" tanyaku cemas. Dia yang sudah tersadar dari semedinya terbatuk batuk sembari memegang dadanya yang terasa sesak. Aku membantunya untuk terbaring di sofa, mencari posisi senyaman mungkin. Lantas, ku ambil beberapa tissue untuk mengelap darah yang tersisa di mulutnya

"Iya...Mbak, Uhuk.. ibumu...sedang... ditahan oleh mereka." tuturnya terbata-bata. aku membelalakan mata. Ternyata mimpiku itu benar adanya.

"Terus kenapa bapak terluka parah seperti ini?" kejarku yang penasaran. Setelah terbatuk sejenak, dia berujar.

"Mereka...uhuk, mereka menghadangku Mbak." Ucapnya dengan susah Payah. Aku pun tidak meneruskan untuk bertanya, karena tidak tega melihatnya.

"Aduh, ya sudah Pak, Bapak Istirahat saja. saya minta maaf karena telah membuat bapak celaka seperti ini. maafkan saya Pak." ujarku sembari mengusap-usap lengan Pak Min yang kurus.

Sepuluh menit berlalu, kondisi Pak Min sudah membaik. Aku cukup lega karena dia sudah tidak batuk-batuk seperti tadi, meski terlihat fisiknya yang masih lemas. Sejenak dia menoleh ke arahku. dia berbicara lirih.

"Ibumu tidak apa-apa Nduk, hanya saja. bangsa lelembut itu ingin supaya kamu pergi ke sana sendiri, mereka menginginkanmu Nduk!"

***

Pagi ini, aku mendatangi swalayan Toko Bangunan Milik Bu Wiwin. Biasanya dia selalu berada di sana kalau hari senin seperti ini.

Bukan tanpa alasan, kenapa aku datang kesana. Beberapa hari ini, terdapat beberapa panggilan dari beliau. Dan sebuah chat Wa yang cukup membuat mataku pedih.

[Dina kamu dimana! Udah empat hari kamu enggak masuk kerja! kata Farhan, kamu sakit. Tapi ketika aku mau datang ke rumahmu. Ternyata rumahmu kosong. Nomormu juga tidak aktif. Apa jangan-jangan kamu membohongi saya. Ingat Dina! kamu masih terikat kerja dengan saya. Jadi kamu tidak bisa seenaknya seperti ini!]

Aku begidik tatkala sudah sampai di depan pintu swalayan.

"Permisi Mbak, ada yang bisa saya bantu." Terlihat seorang satpam muda menghampiriku.

"Bu Wiwinnya ada? Boleh saya bertemu dengannya? Saya adalah penjaga tempat Gymnya." Cerocosku. Pemuda itu faham. Lalu. Dia melipir ke posnya sebentar. Tidak berapa lama, dia kembali.

"Silakan Mbak, mari saya antar." Ujarnya sopan.

Mall itu sangat besar. Baru masuk saja sudah disambut dengan tumpukan keramik dan granit yang sudah ditata sedemikian rupa, sehingga menarik pelanggan. Begitupun peralatan lain yang masih berhubungan dengan rumah. Hampir semuanya ada disana. Tertata rapi dan elegant. Tempatnya juga sangat bersih dan sedap dipandang.

"Tok..tokk.. permisi Bu wiwin." Kata sekuriti muda itu sembari mengetuk pintu yang terbuka.

"Masuk." Sahutnya singkat penuh wibawa. Perasaanku menjadi tidak enak ketika memasuki ruangan yang didominasi warna putih tulang itu. terlebih sikap Bu Wiwin yang dingin, lebih sibuk berkutat dengan komputer di depannya.

"Ini Mbak Dina Bu..."

"Baik, Makasih Joko. Kamu boleh kembali bekerja." Bu Wiwin memotong perkataan pegawainya tersebut. Security itu pun menunduk sejenak dan keluar dari ruangan. Sikapnya yang arogan membuat pegawainya sangat segan dengannya.

Kini hanya ada aku dan Bu wiwin.

Aku menginjakkan kaki ke lantai sebal. Sudah lebih dari sepuluh menit, dia membiarkanku berdiri. Wanita itu masih tampak serius berkutat dengan laptopnya, atau jangan-jangan dia lupa kalau aku ada di sana.

"Kemana kamu beberapa hari ini?" akhirnya terdengar kata yang terlontar dari mulutnya. Singkat namun seakan mengintimidasiku. Aku meneguk ludah. Dari rumah aku sudah mempersiapkan mental untuk bertemu dengan harimau betina ini.

"saya pulang kampung Bu."

Tangannya seketika berhenti mengetik. Dia menhembuskan nafas sejenak, dari balik kacamatanya dia melirik tajam ke arahku.

"Pembohong kamu Dina!" ujarnya seakan menohokku.

"Maafkan saya Bu, saya terpaksa melakukannya karena ibu saya menyuruh saya pulang. Sudah setahun saya tidak pulang kampung. Bu." Ujarku lugas. Aku sudah tidak perduli dengan reaksinya lagi.

Dia berdiri sembari menggebrak meja, aku melonjak kaget.

"Lancang sekali kamu Dina! dengar ya! Kalau bukan karena Farhan yang meminta kepada saya untuk memberikan izin kepada kamu, saya enggak bakal sudi memberikanmu izin. Sudah cukup banyak cuti yang saya berikan. Tetapi kamu malah menyalahgunakan kebijaksanaan saya dengan pulang kampung seenaknya. Ingat dina..." kata-katanya terpotong.

"Kenapa? Ibu mau bilang kalau saya masih terikat kontrak gitu! Senjata lama itu bu! Saya memang seperti ini adanya, kalau ibu gak suka dengan saya. pecat saja saya, gampang kan?" hardikku tidak kalah meninggi. Sekarang aku tidak punya alasan lagi untuk ikut dengan pengusaha yang semena-mena dengan pegawainya.

"Kamu.." ujarnya tertahan. Giginya merapat. Kontrak di atas materai cukup jelas, jika aku mengundurkan diri sebelum waktunya, aku diwajibkan untuk membayar uang sebanyak dua puluh juta. Tetapi beda ceritanya kalau dia yang memecatku, aku sama sekali tidak membayar uang denda, malah mendapatkan pesangon.

Wanita itu kembali duduk. Pundaknya terlihat naik turun. menahan amarah. Dia meraih segelas air putih dan meminumnya. Terlihat dia sedang menata emosinya kembali.

"Baik, sepertinya tidak ada gunanya saya mempertahankan pekerja yang malas sepertimu. Pergi dari sini sekarang!" dia mengacungkan telunjuk ke arah pintu. Aku tidak serta merta menurutinya, justru semakin mendekatinya.

"Mana ijasah saya?" Aku membuka telapak tangan kanan di depannya.

"Saya bakar." Ujarnya singkat namun sangat menjengkelkan. Aku kembali menarik tanganku dan mendengkus pelan. Geregetan sekali dengan tingkah bosku itu. Setelah menghentakkan kaki keras, aku berlalu di depannya. Di saat bersamaan, terlihat seseorang yang muncul dari balik pintu.

"Halo, cantik mau kemana kamu!" Sapanya dengan senyum menjijikkan. Tidak berapa lama muncul lagi di belakangnya, orang yang menjadi biang kerok atas kejadian di rumahku, Anton. Dia tampak tersenyum miring ke arahku.

Bersambung.

Next chapter